9. Pelarian

344 78 29
                                        

Sepuluh tahun yang lalu ....


"Sayapmu indah."

Di depanku, seorang pria berjubah hitam berdiri tegak. Ia tampak menjulang jauh di atas kepalaku. Rambut hitamnya tersisir rapi ke belakang. Irisnya yang gelap menatapku tajam. Aku tidak menyukai sorot matanya, apalagi senyumnya yang seolah-olah siap menyantapku.

Di atas sana, langit senja berwarna lembayung yang dihiasi kemilau jingga ternoda gumpalan awan mendung. Merinding sekujur tubuhku karena situasi ini.

Seharusnya, aku tidak merasa curiga pada pria yang mengaku sebagai keluargaku ini. Apalagi ia menyentuh sayapku tanpa rasa takut. Namun entah mengapa aku merasa ia seperti vampir yang akan menghisap darahku. Bukankah vampir itu memang keluar saat senja.

Ia membungkukkan badannya hingga kami sejajar. Sekuat tenaga aku tetap bertahan di tempatku. Tangannya beralih pada leherku. Tubuhku seakan membeku di bawah sentuhannya yang hampir sedingin es beku.

Aku hendak membuka mulut, tetapi pria itu menumpukan dagunya di bahuku. Terkesiap, aku hanya mampu bergeming dengan kaki gemetar. Sekonyong-konyong ada sesuatu yang terasa menusuk lalu menembus kulit leherku. Pedih dan rasa terbakar menyebar, mula-mula tak seberapa tetapi lama kelamaan semakin membuatku tersiksa. Aku bisa merasakan darahku perlahan meninggalkan pembuluhnya.

"AAAAAAAAA!!!!"

Sekuat tenaga aku memekik, berharap rasa sakit ini memudar. Sesuai harapanku, kegelapan pekat datang menyambut. Menawarkan obat untuk mengusir siksaan. Untuk terakhir kalinya aku mendengar seseorang memanggil namaku penuh kecemasan.

Master, Anda sudah pulang?

—PS—

Tidak ada rasa sakit.

Aku mencium bau obat-obatan menguar keras. Kucoba mengangkat kelopak mataku yang terasa pegal. Seketika aku disambut cahaya terang benderang. Butuh beberapa detik sebelum aku bisa membiasakan diri dengan silaunya cahaya itu.

Sekuat tenaga aku mencoba bangkit duduk, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Betapa terkejutnya aku. Ternyata aku terbaring di laboratorium kerja ayahku. Anehnya, penerangan ruangan ini terasa lebih menyilaukan dari biasanya.

Ekor mataku menangkap sebuah benda berkilauan di meja samping tempat tidur. Aku meraihnya. Ternyata itu kartu ucapan berwarna emas dengan tulisan dari tinta hitam. Aku mengenalinya sebagai tulisan ayahku, Master Ferryn.

Don't call me Daddy
Sayounara, Wiglitth

~Verryn~

Kartu itu langsung terlepas dari tanganku. Aku memacu langkahku berlari keluar dari laboratorium, naik turun tangga demi menjelajahi semua ruangan. Seisi rumah lengang dan sunyi sepi. Beberapa kali aku mendengar angin malam membisikkan kata-kata yang semakin membuatku berdebar karena ketakutan tak terhingga.

Pintu lemari pakaian di kamar Master yang terbuka berayun tertiup angin, memperlihatkan isinya yang kosong melompong. Lemari berkas Master yang biasa terkunci terbuka dalam keadaan yang sama. Begitu pun laci-laci, dan semua tempat penyimpanan barang milik Master. Kucoba mencari petunjuk. Nihil.

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang