13. Dentang Kematian

123 35 29
                                    

Dalam sekejap, suasana di lapangan berubah drastis. Kepanikan melanda menimbulkan kekacauan. Orang-orang berhamburan mencoba melarikan diri. Sedangkan sang vampir gila berlari mengejar mencari mangsa. Dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya.

Tanganku masih terikat di ujung lapangan yang semakin sepi. Menonton kekacauan itu tanpa bisa melakukan apa pun. Seandainya saja ada seseorang yang berbaik hati mau melepaskan tali ini dariku.

"Amankan semua penduduk! Buat barikade untuk mengisolasi lapangan ini! Kita akan tangani vampir itu!" Licht sibuk berteriak memberikan instruksi yang segera dilaksanakan barisan anak buahnya.

Percuma. Vladio mampu menghindari semua serangan dengan mudah. Tampaknya bertarung adalah keahlian yang sangat dikuasainya. Atau mungkin gila semakin meningkatkan naluri alamiahnya. Jangankan mengalahkan Vladio, menghentikan aksinya saja para polisi itu tidak bisa. Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk melindungi orang-orang yang belum berhasil meninggalkan area.

Seandainya saja aku bisa bergerak, batinku.

Tampaknya keinginanku itu segera terkabul. Licht berlari terburu-buru ke arahku.

"Aku akan membebaskanmu, Wiglitth!" serunya seraya mencoba memotong tali yang mengikatku dengan pisau tajam. Tangannya bergetar karena tegang, semakin membuatnya kesulitan.

"Cepatlah!" bisikku tak sabaran sementara mataku mengawasi orang-orang. Hampir semua rakyat sipil sudah meninggalkan lapangan, kecuali satu orang.

Di kejauhan, Ruffilovge terus menolak meski ibunya menariknya untuk lari. Lehernya masih terluka. Anak itu menoleh padaku. Meski pandanganku kabur, tetapi aku tahu kalau dia tengah menatapku.

Aku tahu mengapa dia melakukan ini. Ruffi pasti melihat apa yang kulakukan tadi. Namun dia lebih memilih mengorbankan dirinya.

Dasar anak itu. Seharusnya yang dia khawatirkan adalah dirinya sendiri! Bagaimana bisa dia memancing vampir haus darah tanpa rencana sama sekali.

Aku tercekat. Vladio sudah sampai di depan Ruffi. Para petugas dan ibu Ruffi berusaha menghalanginya. Ruffi melangkah mundur perlahan, tetapi sorot matanya menunjukkan kalau ia pantang untuk lari. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi begitu saja.

Licht menggoreskan pisau untuk terakhir kali. Aku bebas.

Begitu beranjak, aku langsung melesat terbang menuju Ruffilovge. Tak kupedulikan panggilan khawatir Licht. Terus mengepakkan sayapku dengan lebih cepat sampai udara di sekitarku terasa menipis. Aku tidak peduli. Yang ada di pikiranku hanya Ruffilovge seorang.

"Takkan kubiarkan kamu menyentuhnya seujung jari pun, Vladio!" seruku ketika menurunkan tubuhku di depan Ruffilovge dan ibunya. Wajah Vladio tepat beberapa senti di depanku.

Bersamaan dengan teriakan Ruffi dan Licht memanggil namaku, kupejamkan mata kuat-kuat. Pasrah apabila maut datang menjemput. Bagaimanapun juga, kematian bagaikan bayangan yang selalu mengejarku ke mana pun aku pergi. Tidak apa seadainya beginilah akhir yang ditakdirkan untukku. Setidaknya aku berhasil melindungi orang yang berharga untukku.

Kutunggu taring yang tajam itu menembus kulit leherku. Rasa sakit yang tak tergambarkan dan darah yang terus membanjir keluar seperti sepuluh tahun yang lalu.

Anehnya, penantian akan kepedihan itu seakan tidak pernah berakhir. Sebagai gantinya adalah kesunyian yang senyap. Mungkinkah kematian sedamai dan setenang ini? Tidak mungkin sekarat rasanya tidak sakit.

Kubuka mata, hanya untuk menjawab keherananku. Namun apa yang terlihat di depan adalah situasi yang sulit kucerna. Master Ferryn duduk tenang memeluk Vladio yang meminum darahnya dengan rakus.

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang