6. Fragmen Kebenaran

437 89 33
                                    

Sinar mentari yang menyilaukan menyerangku tanpa ampun begitu aku membuka mata. Refleks, aku memejamkan mata kuat-kuat. Sejak sepuluh tahun yang lalu, bisa dibilang mataku lemah terhadap cahaya yang terlalu kuat. Aku tidak bisa melihat dengan jelas di siang hari. Benar-benar mirip makhluk nokturnal saja.

"Memang mirip makhluk nokturnal ya," ujar sebuah suara mengejutkanku.

Aku membuka mataku sedikit. Samar-samar, bisa kulihat sosok pemilik suara itu. Dia seorang pemuda yang menjulang tinggi di samping tempat tidurku. Dari jas putih panjangnya dan rambut keemasannya yang memantulkan sinar, aku bisa mengenali orang itu sebagai lelaki yang bersama Master tadi malam. Kalau tidak salah namanya Licht.

Dia mencondongkan tubuhnya supaya bisa menarik gorden jendela di sampingku hingga tertutup. Cahaya yang jadi musuhku beberapa saat yang lalu sirna. Kini aku bisa menatap pemuda itu dengan mata yang terbuka sempurna.

Matanya yang sebiru langit memandangku dalam diam. Dari ekspresinya, aku mendapat kesan dia orang yang tenang. Tampaknya dia sedang memikirkan sesuatu, tampak dari keningnya yang berkerut.

Lama, keheningan menguasai kami. Aku tidak tahu apa tujuannya datang kemari. Sikapnya tadi malam tidak bisa disebut ramah. Dia juga menyebutkan sesuatu tentang dendam orang-orang padaku. Itu sudah cukup menjadi alasan bagi tubuhku untuk menegang, dalam keadaan tetap berbaring.

Tiba-tiba saja dia menghela napas. "Tak perlu sewaspada itu," ujarnya.

Aku tersentak. Kutatap ia semakin tajam, membuat seulas senyum tersungging menghiasi wajah tampannya. Dia mengulurkan tangannya padaku, membuat kernyitan di dahiku semakin mengerut. Rasanya otakku kosong dan aku tak punya ide sama sekali apa maksud sikapnya itu.

"Duduk!" perintahnya membuat hatiku mencelos.

"Kau pikir aku anjing?" desisku. Bukan tanpa alasan aku bersikap seperti ini padanya, setelah sikap antipatinya padaku semalam.

Meski sekejap, aku bisa melihat senyum sinisnya. Dia menarik tanganku hingga aku terpaksa bangkit duduk. Aku menatapnya kesal, yang hanya dibalasnya dengan tatapan tenang yang sama.

"Kau itu bukan anjing, tapi vampir," katanya datar.

Geram hatiku dibuatnya. Tanpa sadar, aku mencengkeram seprei di sisi tubuhku. "Aku—bukan vampir," bantahku pelan. Sudut hatiku membantah, "Tapi semua orang—Master juga—menyebutku vampir."

"Lalu kau mengira dirimu peri? Setelah apa yang kamu lakukan pada Ruffilovge Finn kemarin sore ...." Licht menyangsikanku.

"Kalau bukan peri, lalu apa?! Kenapa aku harus meminum darah?! Kalau aku vampir, kenapa aku punya sayap?!" tanyaku bertubi-tubi dengan seluruh emosi yang ingin kulampiaskan.

Aku menunduk. Bisa kurasakan manik sebiru langit di pagi yang cerah itu menatapku dalam, seakan menembus kulitku dan mengintip isi hatiku langsung.

"Tidak tahu apa-apa, tetapi harus menanggung nasib yang menyedihkan. Kasihan sekali," ucapnya penuh simpati, bagaikan belati yang menghunjam ulu hatiku. Nada bicaranya sama seperti Ruffi tadi malam. Mereka mengasihaniku, membuat sebersit amarah bergejolak dalam diriku.

"Jangan mengasihaniku!"

Licht terkejut mendengar nada bicaraku. "Iya," katanya kemudian. "Aku hanya bilang 'kasihan sekali', tapi itu bukan berarti aku mengasihanimu, kan? Karena aku bahkan tidak bisa membayangkan kalau jadi dirimu, sebesar apa rasa sakit yang akan kurasakan ketika sadar tidak tahu apa-apa tentang diriku sendiri?"

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang