PROLOG

1.5K 193 135
                                    

Sesak. Letih. Namun aku tak boleh berhenti berlari meski napasku serasa akan habis. Terdengar teriakan-teriakan dari belakangku diiringi tangisan dan sumpah serapah. Derap puluhan langkah kaki mengejarku, ikut berlari menyusuri lorong sempit ini.

Masih terasa di lidah rasa manis dan anyir dari cairan yang kuhisap beberapa saat yang lalu. Rasa nikmat dan nyaman perlahan menyebar ke sekujur tubuh, seakan rasa kelaparanku selama beberapa hari terakhir ini hanya mimpi belaka.

Semua itu harus dibayar dengan rasa perih dan panas di beberapa bagian tubuh, salah satu alasan aku tak sanggup lagi berlari. Butir-butir peluru itu benar-benar menyakitkan.

Kilas balik kehidupanku tampak seperti film yang diputar cepat dalam benak. Ketika aku bersama sosok itu, seseorang yang berharga untukku. Semua kenangan kami tertawa bersama menghapus sedikit rasa nyeri.

Lalu beralih pada seorang pria asing yang menggigitku, aku yang tertidur di meja operasi, dan orang yang kucintai meninggalkan aku sendiri. Kuraba saku blus hitam panjang yang kupakai. Benda itu masih di sana. Satu-satunya benda kenangan darinya.

Konon, saat kau akan mati semua kenanganmu akan diputar ulang. Mungkin itu yang terjadi denganku. Semua kenanganku berakhir pada kesendirian. Aku akan mati di sini, sendirian, tanpa orang yang kucintai di sisiku. Mati dengan terus menggenggam kata-kata terakhirnya di sakuku.

Air mataku mengalir tanpa kusadari. Semua suara di belakangku terasa sayup-sayup. Tiada lagi kenikmatan dari cairan itu. Tergantikan rasa sakit yang berkali lipat lebih pedih.

Haruskah aku mati di sini ... sekarang?

Langkahku semakin pelan. Samar-samar, telingaku menangkap seruan, "Jangan bunuh dia! Kita harus menangkapnya hidup-hidup!"

Mereka takkan membunuhku?

Dor!

"Argh!" erangku saat telat menghindar. Sebuah peluru menyerempet kaki kananku dari depan. Sensasi panas diikuti perih menyebar dari area yang terluka.

Lututku lemas sehingga kakiku goyah. Aku jatuh menabrak tanah. Tampaknya aku benar-benar tak bisa melarikan diri lagi dari pasukan yang kini sudah berhasil mengepungku. Aku terdesak.

"Bawa dia ke laboratorium!"

Aku panik, tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Berlari sudah tidak lagi memungkinkan. Sementara mereka semakin dekat, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling mencari celah untuk kabur. Sayangnya jalan di depan dan di belakangku sudah diblok pria-pria bersenjata itu. Sedangkan di kanan dan kiriku tembok tinggi menjulang.

Kesadaran itu seakan menamparku kala aku menengadah ke atas. Langit malam yang luas dan terasa jauh membentang di sana. Tersentak, aku merasa bodoh sekali karena selama ini hanya mengandalkan kakiku.

Perlahan, kuangkat tubuhku dan aku mengambil ancang-ancang untuk terbang. Kurentangkan sayapku yang terasa sangat perih, kemudian aku melesat naik melawan gravitasi. Tubuhku semakin melayang tinggi.

Mataku memandangi kerumunan pria yang semakin mengecil di bawah sana. Sementara tubuhku bisa dengan lincahnya menghindari rentetan tembakan yang ditujukan padaku. Orang-orang itu mencoba menguasai keterkejutannya karena tindakan tiba-tibaku dan menutupi kepanikannya.

"Hubungi regu angkatan udara! Kita harus menangkap Peri Senja!"

Miris hatiku mendengarnya. Mereka terus mencoba melukaiku hanya untuk ego mereka. Keingintahuan, sekaligus kemarahan dan kebencian. Aku dipaksa untuk menanggung semuanya, hanya karena beberapa tetes darah yang aku butuhkan untuk memenuhi laparku.

Sebelum regu angkatan udara itu tiba, aku memutuskan untuk terbang menjauh. Mengabaikan rasa sakit dan menuju suatu tempat di mana aku mungkin akan menemukan jawaban, tentang apa diriku sebenarnya.

-PS-

Wah wah wah .... Apakah diriku?

Jangan lupa vote dan comment-nya 😊

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang