5. Dongeng Sebelum Tidur

1.1K 104 45
                                    

Anak-anak berjalan bergandengan tangan dengan orang tua mereka. Semuanya dipenuhi canda tawa yang riang gembira. Mereka menyusuri jalan utama kota mengikuti parade. Nanti parade itu akan berhenti di tepi pantai lalu dimulailah festival musim panas yang dihiasi kembang api. Inilah ritual tahunan di kotaku setiap pertengahan malam musim panas.


Aku mengintip parade itu dari jendela kamarku yang menghadap ke jalan utama. Perasaan iri dan dengki menggelegak di dalam dadaku ketika melihat anak-anak itu. Aku menutup tirai dengan kasar dan segera berlari ke perpustakaan.

"Master! Master!" panggilku.

Aku mendapati Master Ferryn sedang duduk di balik meja kerjanya di perpustakaan, membaca buku-buku yang saking tebalnya tak lagi mirip buku. Aku langsung menghambur ke pangkuannya dan bergelayut manja pada tangannya. Tampaknya dia terusik, tapi tidak marah dan malah membelai wajahku.

"Kenapa kamu seperti ingin menangis?" tanyanya penuh perhatian.

"Aku ingin pergi ke festival," rajukku.

"Lho? Waktu itu kamu bilang tidak mau pergi karena pasti dikerjai anak-anak nakal itu."

Aku diam, masih sambil cemberut. Wajahku pasti jelek sekali. Ini salah Master, karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan.

"Peri Senja, ayolah, jangan menggangguku seperti ini," ujarnya.

"Jangan panggil aku begitu!"

Master Ferryn mengernyit. Dia memang sangat lembut dan baik hati, tapi hampir tak pernah bisa memahami perasaanku kalau aku tak mengatakannya. Tiba-tiba aku menyesal sudah berteriak padanya. Walaupun ditutupinya, aku bisa melihat sorot mata Master yang terluka.

"Kenapa aku tidak punya nama seperti anak-anak lain, Master?" tanyaku hampir menangis. Master tertegun. "Kenapa aku tidak punya orang tua yang akan menggandeng tanganku?" tanyaku lagi, teringat bagaimana anak-anak lain bergandengan tangan dengan ayah dan ibu mereka.

Master Ferryn menatapku lekat. Tiba-tiba, dia merengkuhku ke dalam pelukannya. "Aku ini orang tuamu dan aku akan selalu menggandeng tanganmu sampai kelak kamu sudah mandiri. Jadi, jangan lagi merajuk, ya?"

Gaya bicaranya benar-benar mirip cara tetangga kami membujuk putrinya. Aku menangkap perasaan sayang pada nada suara Master Ferryn.

"Tapi bukankah Master adalah penciptaku?"

Master mengangguk. "Setelah berusaha selama lebih dari lima belas tahun, akhirnya aku berhasil menciptakanmu. Benar, kamu adalah hasil percobaanku yang sukses. Karena itulah kamu sudah seperti putriku sendiri. Putriku tersayang."

Aku tak begitu memperhatikan kata-katanya, kecuali kalimat yang terakhir. Ingin sekali aku mengecup pipi Master dan mengucapkan sayang padanya, pada ayahku!

Lalu aku teringat satu keinginanku belum terpenuhi. "Bagaimana dengan namaku? Peri Senja itu hanya nama panggilan, bukan nama asliku." aku masih merajuk. Anak-anak tetangga sering mengejekku, bukan hanya karena aku peri, tapi juga karena namaku aneh, seperti hanya julukan.

Master Ferryn tampak berpikir sesaat. "Hm.... Peri Senja, ya. Senja... twilight... witlight... Wiglitth...!" Dia menatapku dengan mata berbinar. "Wiglitth! Ya! Aku akan memanggilmu begitu mulai sekarang!"

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang