10. Paman Kelelawar

343 80 12
                                    

Dahan-dahan yang menari dalam siluet hitam serta bisikan dedaunan di malam hari bukanlah hal aneh bagiku. Aku sudah terbiasa dengan kegelapan di hutan seperti ini. Alam liar pada malam yang sepi adalah rumahku. Tapi, ada yang berbeda dengan hutan ini.

Ada cahaya di tengah hutan sana, seperti api unggun. Melihatnya, kewaspadaanku meningkat. Aku menukik turun, lantas mengamatinya dari balik pepohonan. Aneh, padahal Licht bilang ini adalah hutan yang terlarang untuk kemping dan berburu.

Tak mau ambil resiko, aku berniat memutar jalan dengan terbang untuk menjauhi api itu. Tapi rasa penasaran menggelitikku. Aku benar-benar ingin tahu siapa orang itu yang berani melanggar peraturan.

Dengan mengendap-endap di balik semak belukar, aku mendekati cahaya yang memikat itu. Rasanya seperti sedang jadi mata-mata. Adrenalinku terpacu karena ketegangan ini.

Saat aku sudah hampir mencapai tempat api unggun itu, tiba-tiba aku merasakan sesuatu menyentuh kepala belakangku. Aku menoleh dan terlonjak kaget hingga jatuh terduduk ke rerumputan. Refleks aku memekik.

Kuperhatikan lagi baik-baik apa yang barusan mengenai kepalaku. Kutarik napas lega. Itu hanya seekor kelelawar yang kini sedang tergantung terbalik pada dahan pohon. Matanya menatapku lekat.

"Kelelawar ...." gumamku teringat pada satu fakta. Aku juga kelelawar. Maksudku, aku manusia, tetapi aku punya gen yang persis sama dengannya. Meski yang ada dalam tubuhku adalah DNA kelelawar penghisap darah, bukan kelelawar biasa.

"Siapa itu?" tanya seseorang disertai suara langkah mendekat.

Kepanikan menyergapku. Gara-gara tadi kaget,  keberadaanku diketahui. Mungkin itu adalah orang yang menyalakan api unggun. Aku tak sempat untuk kabur karena langkah itu semakin mendekat.

Masih dengan posisi duduk, aku bersiap dan waspada. Ketika langkah itu berhenti, seseorang bermantel hitam berdiri di hadapanku. Aku mengangkat kepalaku supaya bisa melihat wajahnya. Dalam keremangan api dan pendar samar rembulan, aku melihat pria itu. Terkesiap, kemudian terpaku dan membisu.

Mata yang sama. Wajah yang sama meski tampak bertambah tua. Rambut hitam yang membingkainya tetap rapi dan sudah ditumbuhi sedikit uban. Dia ... orang yang mengaku sebagai pamanku!

Dia terkejut melihatku dan memerhatikanku seksama. Diturunkannya tubuhnya hingga setengah membungkuk. Matanya terbeliak menatapku seakan aku ini hantu.

"Wiglitth?!" serunya terkejut dan tampak bahagia. "Kau Wiglitth bukan?!"

"Kau ...." aku masih menatapnya tanpa berkedip. Apa yang terpantul di mataku masih sulit kupercaya.

Kilasan kenangan itu berputar cepat di memoriku. Semakin lama aku sadar pria itu bukan ilusi, semakin kuat ketakutan mencengkeramku.

"Paman ...."

Aku beringsut mundur, tetapi dia justru menarikku berdiri dengan paksa. Air mukanya yang tampak sangat bahagia sungguh membingungkanku. Itu adalah raut wajah seseorang yang gembira bisa bertemu orang yang ia sayangi lagi.

"Kamu baik-baik saja? Kenapa kamu bisa ada di sini? Malam-malam begini ...."

Pria itu mengitari tubuhku, memeriksa kondisiku. Kekhawatirannya tulus tetapi entah kenapa itu membangkitkan keresahanku.

"Jangan .... mendekatiku," lirihku ketakutan.

Rona wajanya sirna.

"Jangan mendekatiku!" pekikku seraya mengibaskan tangannya.

Ia terperanjat. Netraku yang diwarnai ketakutan bertemu sepasang maniknya yang menyiratkan kekosongan. Spontan, aku berbalik dan memacu langkahku untuk berlari menembus hutan gelap yang hitam. Berkali-kali aku menengok ke belakang, pada suara sayup-sayup yang terus memanggil namaku.

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang