15. Cinta Seorang Ayah

87 20 1
                                    

Angin berdesir lembut meniup serbuk dandelion menuju kaki cakrawala yang keemasan. Rerumputan menari tetapi nisan di hadapanku tetap bergeming. Dengan lembut, kutelusuri pinggiran batu berukir nama Master itu.

Dadaku sesak oleh gumpalan cerita yang ingin kuungkapkan. Mungkin Master sudah menduga apa yang terjadi padaku. Hanya saja, aku ingin memberitahunya supaya ia merasa lega.

"Sulit dipercaya bukan?" ucapku, tanpa sadar tersenyum mengenang keputusan kota untukku. "Mereka begitu pengertian pada rasa laparku. Seberat apa dosa dalam diriku, aku diberi kesempatan untuk menebusnya."

Waktu itu, Licht mati-matian membelaku. Begitu pula Ruffi. Setidaknya berkat insiden Vladio mata masyarakat terbuka. Setelah melaporkannya pada pusat, pihak kehakiman memutuskan untuk menghukum sekaligus melindungiku dan dunia.

Aku harus bekerja sama dengan para ilmuwan untuk memastikan tidak akan ada lagi percobaan terhadap manusia. Mereka juga akan mengusahakan supaya aku terbebas dari gen yang selama ini menumpang dalam tubuhku. Dalam proses yang akan menghabiskan waktu bertahun-tahun itu, negara akan menyokongku.

Suara langkah kaki mendekat dari belakangku. Aku mengalihkan atensiku pada orang itu, Licht. Dia duduk di sampingku dan meletakkan karangan bunga di atas pusara. Diam-diam kulirik Licht yang menatap nisan tanpa emosi. Tetapi aku mendapat kesan dia tidak datang hanya untuk mengunjungi Master.

"Hei, Wiglitth," dia membuka percakapan. Mimiknya yang berubah serius memandangku membuatku bertanya-tanya ada apa gerangan. "Kamu tahu perasaan Master yang sebenarnya?"

Aku tertegun, tak mengerti mengapa ia bertanya seperti itu. Memang, setelah Master melindungiku waktu itu aku semakin merasa bingung. Hanya saja, memang apa yang akan berubah sekarang kalau aku tahu. Pada akhirnya, aku tidak memahami orang itu.

"Bukannya sudah jelas?" jawabku. "Dia membenciku."

Licht menyodorkan benda kenangan Master dulu padaku, yang kuserahkan padanya sebelum melarikan diri dulu. Kartu emas itu. Aku menerimanya dengan heran.

"Aku pernah bilang kalau tulisan di sana itu aneh, kan?"

"Ya," aku setuju. "Tapi apa hubungannya dengan ...."

"Itu kode," potong Licht. "Sebenarnya mudah sekali, karena kode itu ditunjukkan untukmu yang berusia delapan tahun. Coba kamu perhatikan hanya huruf-huruf yang tintanya tipis."

Don't call me Daddy
Sayounara, Wiglitth

~Verryn~

Licht memberikan pulpen padaku. Aku melingkari semua huruf yang bertinta tipis. "O-a-l-e-a-y-s-o-u-w-l-i-v-y," bacaku dalam hati. "Ini hanya huruf-huruf tanpa makna," kataku pada Licht.

"Ya, aku kira juga begitu awalnya,," aku Licht. "Tapi kalau disusun, itu akan membentuk kalimat. Walaupun kemungkinannya terlalu banyak, tetapi kita bisa memecahkannya dengan mudah memakai logika."

Percuma. Meski sudah mencoba memutar otakku, aku tidak menemukan petunjuknya. Kenapa Licht tidak memberitahuku langsung saja, sih. Ini benar-benar membuatku pusing.

"Pertama, kalau misalnya menyatakan perasaanmu pada seseorang, bagaimana bunyi subjeknya?"

Aku mengerutkan kening. "Err .... Karena ini perasaanku, tentu saja subjeknya 'aku', oh!" seruku menyadari sesuatu. Aku mencoret huruf i yang dilingkari. I berarti aku.

Peri Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang