Awal musim semi, tak ada seorangpun yang mampu menolak keindahan musim ini. Rasanya sangat menenangkan kala aroma hangat musim ini menyeruak ke dalam indra pembauanmu.
Ya, sejauh ini hal itu yang kurasakan. Namun, entah jikalau hari ini adalah upacara kelulusanmu dan kau memutuskan untuk mengungkapkan perasaanmu pada ... seseorang.
Aku duduk di salah satu meja yang ada di kelas. Tempat ini yang langsung menjadi tujuanku setelah upacara kelulusan selesai dilaksanakan. Mungkin saja kan kelas ini memberikanku dukungan untukku ... mengungkapkan hal itu.
Sesekali kumengingat memori yang telah berlalu di tempat ini. Tempat di mana aku bertemu dengannya. Klise, namun sangat manis bagiku.
"Aku pasti merindukan masa-masa ini, Akarin," kata seseorang yang duduk di sebelahku.
"Kau kira hanya kau saja yang akan seperti itu." Aku melirik jam yang ada di dinding. Sudah hampir jam setengah sebelas. Aku harus bergegas sebelum orang itu pergi dari sekolah.
Saat-saat terakhir yang mendebarkan.
"Sae-chan," panggilku pada gadis di sebelahku, "harus sekarang." Aku mengulas senyum. Dibalas senyuman juga olehnya.
"Kadang aku tak percaya kalau orang sepertimu bisa menyukai Kei," kata Sae-chan sambil menautkan kedua alisnya. "Apalagi kau tipe cuek sama cowok sejenis dia," tambahnya.
Aku turun dari meja, kemudian berjalan ke arah pintu diiringi Sae.
"Kadang apa yang dikatakan orang-orang memang benar," kataku, "aku terbiasa ada di ruang lingkupnya. Jadi secara alami aku mencintainya."
Sae tak merespon, mungkin bingung melihat sikapku yang mendadak seperti ini.
"Kau ... satu-satunya orang yang ia beri pandangan lain, Akarin."
"Itu yang kutakutkan, Sae." Aku tersenyum getir. "Aku takut mengulang kesalahanku lagi."
"Kau ingat Kira, ya?"
Lagi, senyuman tertoreh di bibirku. Bukan senyuman bahagia, tapi senyuman yang kau tahu kalau semua ini terasa menyakitkan.
"Setidaknya, Kei akan tetap menghargai perasaanmu."
***
Lapangan tengah yang kini ada di hadapanku tertutupi kelopak bunga yang mekarnya banyak itu. Kalau kata Akari dari anime Byousoku 5 centimeter, mirip dengan salju di musim semi. Aku mempercayai hal itu.
Dari arah utara lapangan, aku melihat sosok yang sangat kukenal. Ia dengan almamaternya yang biasa itu sedang tertawa bersama Haru--sahabatnya--yang kini berbelok ke arah aula. Tepatnya ke jalan di mana pintu gerbang sekolah berada. Sementara Kei ... ia berjalan ke arahku.
Ya Tuhan, ingin lari dari sini rasanya. Tapi, aku tak mungkin melakukan hal itu.
"Rin," panggilnya yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku.
Wajah kutundukkan, air mata mendadak mendesak ke luar mataku. Aku benci saat aku menyadari kelemahan ini. Katakan saja ini berlebihan. Tapi bukan berarti aku meminta belas kasihan dari orang yang ada di hadapanku sekarang.
"Cih, ini memalukan, bukan?" Bahasa sehari-hariku mulai keluar. Seorang Akarin yang tak ada anggun-anggunnya sedikitpun.
Belum berani mendongak. Aku mencoba menetralkan deak jantungku yang kian menggila. Tapi tidak bisa.
"Kauboleh tertawa saat ini, Kei," kataku.
"Apa?" Suara dinginnya entah kenapa malah muncul. Kenapa pula harus di saat seperti ini ia menunjukkan sisinya yang satu lagi.
"Aku serius," kataku mencoba membuatnya percaya. "Jangan anggap ini aprilmop karena ini bulan april."
Dia hanya diam. Aku malu. Kenapa jadinya seperti ini, sih?
"Cepat katakan apa maumu," titahnya.
"Kau bahkan seolah menganggapku lelucon kalau seperti ini." Aku tak mengerti kenapa emosiku berubah seperti ini.
Tunggu! Ini aku yang sebenarnya, bukan?
"Kenapa?"
Aku tak bisa menjawab. Aku malah terisak. Ah, bodoh! Aku benci diriku sendiri.
"Aku tak memintamu menangis, Nona."
Aku tak bisa menatapnya. Aku terlalu takut. Padahal rencananya hanya bilang suka, tapi malah jadi begini.
"Kei," aku merengut. "Maaf."
Aku bahkan tak sadar kalau ia tersenyum saat ini.
"Kau tak dapat menyalahkan perasaanmu, bukan?" katanya. Tanpa sadar aku mengangguk. Ia kembali berkata, "Kau suka padaku?"
Deg
Apa yang barusan ia katakan? Ulangi kumohon!
"Kau suka padaku, kan?" Ia benar-benar mengulangnya.
Aku mendengar suara kekehan. Dia ... dia tau? Bukannya aku belum bilang? Dia ... tau.
"Selemah itukah kau dengan cinta?" tanyanya.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menarik kepalaku. Dia mendekapku, dan aku tak bisa berkata apapun.
"Bukankah lebih baik aku yang bilang terlebih dulu?" katanya.
Hei, apa maksudnya?! Dia bilang terlebih dulu? Ya Tuhan, jangan cabut nyawaku saat ini.
"Aku menyukaimu, Rin."
Perkataan itu. Menusuk lembut ke dalam lubuk hatiku. Membuat beberapa organ menjalin suatu kesatuan. Hingga menyebabkan air mataku kembali mengalir. Dengan senyuman di bibirku.
"Aku ... juga, Kei."
***