Langit tampak cerah setelah sebelumnya hujan yang cukup lebat turun di kawasan Pandu Raya yang ada di Kota Bogor ini. Aku—Hana Antariksa—dan sahabatku Tara tengah menepi karena sebelumnya tidak bawa payung.
Maksudku, hanya aku yang membawa sementara gadis menyebalkan di sebelahku inilah yang tidak bawa. Tentunya, hal itulah yang membuat perjalanan kami terhambat setelah sebelumnya mau mendatangi salah satu toko buku di daerah Pajajaran.
"Kenapa masih diem aja, hah?" suara Tara terdengar menohok ke dalam dadaku. "Kapan kelarnya kalau lo mingkem sambil meluk gengsi setinggi langit."
Aku kini menghunuskan pandangan tajam setajam pedang yang ada di kisah fantasi pada Tara. Oke, abaikan, aku tahu kalau ucapanku berlebihan. Tapi ya, apa yang dijelaskan oleh Tara barusan itu sangat menyebalkan.
Lagi pula, entah kenapa sejak tadi bahasan kami tidak berubah juga. Meski pada awalnya aku yang tidak sengaja memancing dan pada akhirnya membuat gadis itu seolah tengah menginterogasiku.
"Gue enggak akan kepengaruh sama tatapan lo yang sok itu. Aslinya ciut kayak anak kucing juga sok—"
Aku buru-buru memotong, "Lo emang nyebelin. Gak tau aja ada di posisi sama kepribadian gue kayak gimana."
Kini, aku mendengar gadis itu menghela napasnya panjang. Oke, di sini aku yang tampak berada dalam posisi yang salah.
"Justru karena gue tau, Dodol!" tukasnya sambil menunjukkan ujung jari telunjuknya ke hadapan wajahku.
Sepertinya memang aku yang sudah keterlaluan sampai-sampai kesabaran seorang Tara habis. Lagi pula, mau bagaimana lagi? Aku juga bingun dengan keadaan diriku sendiri.
"Gue bingung habisnya, Ra," jawabku pelan diiringi tatapan sisni dari Tara. Halah, ia tidak punya rasa kasihan sedikit apa dengan sahabatnya ini.
Lagi, Tara menghembuskan napasnya. Kali ini lebih panjang dan lebih kasar. Oke, aku siap disemprot oleh kata-kata mautnya. Lagi pula sudah bia—
"Sekarang gue tanya." Suara Tara terdengar tenang.
Aku masih tidak percaya. Biasanya ia akan langsung berkata tanpa ampun.
"Lo mau ketemu dia, 'kan?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Buru-buru mengalihkan pandanganku dari iris cokelat Tara sebelum ekspresi dalam wajahku tertangkap olehnya.
"Bu—bukan gitu juga. Gue cuma—"
Tara tiba-tiba terbangun dari tempat duduknya. Menggaet tas yang sebelumnya ada di atas kursi, kemudian ....
"Maafin gue enggak bisa bantu banyak," kata Tara sambil tersenyum.
Senyum yang entah mengapa terasa menyakitkan.
"Padahal lo cuma perlu jujur sama diri sendiri."
Secepat itu Tara berkata, secepat itu pula sesuatu membuat tubuhku mengigil. Masih di saat itu juga, ia pergi meninggalkanku.
Aku ... menyebalkan.
***
Pada akhirnya, aku langsung pulang ke rumah sesaat setelah Tara pergi. Ia belum menghubungiku lagi. Mungkin ia masih kesal. Ya, tentu saja, aku tak dapat mengelak hal itu seperti halnya aku mengelak enggan bertemu dengan sosok yang menjadi bahasan Tara denganku tadi.
Aku jadi kesal dengan diri sendiri.
Kini, sambil mendekap guling, aku duduk di lantai berlapiskan karpet berwarna cokelt susu yang terhampar di atas lantai. Memojokkan diri pada tepi ranjang paling ujung. Menyesal sebesar apa pun tidak ada gunanya.