Saat itu, kebahagiaan seolah meluap dan membuatku melupakan segalanya. Bahkan sosok yang biasa melengkapi keseharianku terlupakan. Aku meninggalkan rumah lamaku dan melupakan sosok itu begitu saja. Bahkan tidak sempat mengatakan selamat tinggal dan menanyakan nama lengkapnya.
***
"Teh Eli pulang dulu, ya!" Suara samar-samar terdengar oleh telingaku. Nama yang tidak asing berhasil kucerna lantas membuat mataku mengerjap perlahan-lahan. Bersama dengan pandanganku yang sudah tidak buram, gorden berwarna hijau yang tersorot sinar mentari berhasil kutangkap. Sudah hampir tengah hari dan aku masih berada di atas tempat tidurku. Bahkan Teh Eli—orang yang biasa membantu mama menyetrika sudah mau pulang lagi.
Apa lagi yang terjadi semalam? Batinku bertanya seraya merasakan sesuatu yang lengket di pipi. Jejak air mata yang sudah mengering entah kapan. Sepertinya semalam aku menangis lagi setelah pikiranku kembali membawa bekas perasaan dari masa lalu.
Sementara itu, masih dengan posisi mendekap bantal yang juga menjadi pengganjal kepaalaku, sebuah bayangan mulai melintas lagi. Kala itu aku tengah melangkah menyusuri jalanan penuh kerikil dengan santainya. Seraya memperhatikan rumah-rumah yang ada di sekelilingnya. Sampai, langkahku pun terhenti tepat di depan sebuah gerbang kayu bercat salem yang sudah cukup tua, sementara dalam khayalan membayangkan bagaimana gerbang itu dibuka dan mulai melangkah ke dalamnya. Tentu saja, itu hanya sebatas khayalan di dalam khayalan. Sudah lama sekali dan aku tidak mungkin masuk kembali ke rumah itu sekadar untuk bertemu sang empunya. Aku bahkan tidak tahu lagi di mana sosok itu bisa kutemukan.
Bahkan setelah obrolan kecilku kemarin dengan mama. Seandainya mama tahu tentang keberadaan orang itu pun, aku tetap tidak bisa bertanya padanya. Lagi pula, salah siapa pergi seenaknya tanpa mengucap selamat tinggal? Untungnya aku sadar kalau saat itu aku hanya seorang anak kecil yang antusias dengan rumah barunya. Lantas melupakan, meninggalkan, dan pergi seolah aku memang tidak akan mengingat kebersamaan dengan sosok itu dulu.
Tapi kenyataan berbicara lain. Aku tumbuh menjadi seseorang yang tanpa sadar selalu mengingat momen-momen yang harusnya bisa cepat dilupakan. Bahkan setelah 14 tahun berlalu, aku tak pernah benar-benar bisa melupakan orang itu.
Sejujurnya, aku juga tidak tahu kapan kisa kami dimulai. Kapan aku pertama bertemu dengannya. Semua itu benar-benar sudah lenyap dalam ingatanku. Hanya saja, aku masih ingat kebahagiaan kecil yang terjadi saat aku bersamanya. Ya, tidak hanya berdua saja, adikku juga biasa ikut. Bahkan mungkin mereka lebih dekat karena sama-sama laki-laki. Tapi, ia tidak pernah mengabaikanku.
Hanya saja, beberapa kali aku diingatkan oleh mama kalau kami tidak boleh terlalu sering main dengannya. Dulu, meski aku enggak mengerti mengapa, tapi ada hal yang cukup aku sadari. Ya, ia orang yang cukup berada pada masanya. Rumahnya yang aku tahu milik sendiri dengan halaman luas, kemudian mainan-mainan yang kupikir nggak banyak dimiliki oleh anak kebanyakn di lingkungan rumah kami ... serta mamanya yang selalu saj memberikanku es kacang hijau setiap kali main ke rumahnya. Kalu dipikir-pikir, ia memang orang yang berada, anak tunggal pula. Selain itu, papanya yang jarang berada di rumah mungkin memang menandakan kalau ia punya pekerjaan yang cukup tinggi. Tapi tetap saja, aku ingin bermain bersamanya.
Kalau dipikir, ada saat-saat ketika ia bermain dengan anak seumurannya dan cukup untuk membuat hariku jadi terasa biru. Ya, aku ingat perasaan itu dengan sangat jelas. Aku tidak suka, tapi karena kupikir ia lebih suka bermain dengan anak-anak seumurannya aku mebawa adikku pulang lagi ke rumah dan hanya berkata, "Jangan main sama A Ari dulu, ya, malu ada temennya."
Aku tidak mengerti kenapa aku mengatakan hal seperti itu. Tapi begitu mengingatnya, itu semua terasa menyakitkan. Dan nama yang kusebutkan itu, satu-satunya yang bisa kuingat dari dirinya. Alasan aku tak bisa menemukannya karena aku tidak pernah tahu nama panjangnya.
Dan pertanyaanku beberapa waktu lalu pada mama, "Terus, rumah yang di atas rumah Bu Eli. Rumahnya A Ari itu punya siapa?"
"Ya, punya Pak Bambang, bapaknya Ari," jawaban mama cukup membuatku terkejut tapi aku tidak bisa menanyakan apakah mama masih berkontak dengan mereka atau tidak.
"Sekarang pindahnya ke mana?" Kemudian, pertanyaan yang seolah tak berdasar itu terlempar dari mulutku. Sementara jantungku tanpa sadar berdegup kencang.
"Bantarjati, kan memang dulu asalnya dari sana."
Deg.
Masih di kota ini, bahkan tak jauh dari kampusku sekarang. Hanya saja, tempat sesempit itu pun bisa jadi amat luas ketika aku sadar kalau aku tidak tahu siapa sosok yang aku cari. Hanya nama depan yang kuingat. Jelas, itu saja tak akan bisa membuatku bertemu dengannya lagi.
Juga, sudah belasan tahun berlalu. Sosoknya pasti sudah berubah. Dulu, ia orang yang pandai menggambar dan suka dengan tokusatsu. Kalau saat ini masih seperti itu, mungkin kami bisa berteman baik karena punya hobi serupa. Tapi kalau di luar sosok seperti itu, aku tidak yakin bisa berteman lagi dengannya. Lantas, yang terpenting dari semua itu, apa dia masih mengingatku?
***
Bogor, 4 Mei 2020