Suara violin menusuk indra pendengaranku. Di tengah temaram kamar yang tak terkena sorot sang mentari senja, seolah menyayatku yang kini tengah seorang diri.
Musik kini berganti. Suara orgel yang entah berasal dari anime mana terputar. Sesekali aku berpikir, sejak kapan musik-musik ballad itu memenuhi ponselku? Seingatku dulu, ponsel ini dipenuhi lagu-lagu penuh semangat yang membuatku selalu bangkit. Ah, atau perasaanku saja?
Musik terus mengalir, aku pun semakin terlarut dalam alunannya. Tanpa sadar, sedikit demi sedikit aku dibawa ke hari-hari itu. Hari-hari yang berlalu dan ... awal di mana musik-musik ini seolah jadi BGM dalam kehidupanku.
Sesuatu yang menyakitkan perlahan mencuat. Kemudian sudut dalam hatiku seolah berbicara. Bicara akan lukanya yang tak kunjung mereda. Kalau kau ingin tahu. Sejujurnya aku ingin tertawa kala mengingat hal itu. Luka bodoh yang sebenarnya aku yang memupuknya sendiri. Sehingga, sampai saat ini ia terus tumbuh dengan subur.
Perlahan, sosok seseorang datang dalam ingatanku. Berputar bak video yang kenyataannya adalah ingatanku. Ingatan yang seharusnya tak sedikitpun kuingat. Ingatan yang harusnya lenyap dengan perasaan-perasaan itu. Namun, kenapa aku mengingatnya? Seolah menghabiskan kepingan memori, semua itu terus saja berputar.
Sungguh, aku tak mengerti kenapa semua itu tersimpan dalam benakku. Harusnya semua itu tak boleh kuingat. Bukankah hal-hal yang menyakitkan itu harus kubuang? Sekali lagi, kenapa?
"Apa sebenarnya maumu?" gumamku yang tanpa sadar tengah memandang bayanganku sendiri. Bayangan yang terpantul di layar ponsel yang menggelap.
Wajah suram yang beberapa tahun ini aku kenal. Wajah yang selalu saja diliputi kebohongan. Mengumbar senyum palsu yang sungguh memalukan. Penipu ulung yang katanya disebut heroine dalam kehidupanku. Aku.
Tes.
Setetes air jatuh di atas pipiku. Tetes kristal penuh rasa sakit yang ingin sekali kulenyapkan keberadaannya. Sekarang, aku ingin tertawa. Tapi kenapa malah tawa pilu dan air mata yang keluar.
"Kenapa?" Aku bertanya pada diri sendiri. Alih-alih menjawab, aku malah mengeluarkan isakkan bodoh.
Memori-memori itu berputar seiring musik yang terus mengalir tanpa henti. Mendesak otak dan lubuk hatiku yang kian teriris. Aku sungguh membencinya. Aku benar-benar benci akan rasa sakit itu.
Nada violin yang tadi kudengar kini bertambah tinggi. Disusul dentingan orgel dan piano yang bertambah cepat. Bak sesuatu yang tajam. Nada-nada itu kian menyayat. Isakkanku kian mengeras di sisi lain tawa sumbangku berbunyi. Menyakitkan, sungguh menyakitkan.
Hari-hari yang berlalu dan tanpa kusadari telah merubah sosok yang dahulu sangat aku takuti dan aku hindari. Diriku yang terjatuh dan seolah tak akan bangkit kembali.
***