Kidoku Through
Sebuah pop-up pesan tiba-tiba muncul di layar ponselmu. Namun, kau langsung menutupnya dengan cepat, lalu mematikan ponselmu. Meski demikian, pikiranmu mengenai pesan masuk itu belum juga hilang.Sudah beberapa hari ini, kau tidak membalas pesan-pesan yang masuk. Padahal kau tahu kalau beberapa di antaranya cukup penting. Yang pasti, ada seseorang yang tengah bercerita dan membutuhkan balasanmu. Tapi kau tidak bisa melakukannya.
Mungkin sama seperti yang pernah terjadi padamu dulu, ketika orang-orang mungkin sudah muak mendengar kisah yang sama, yang berulang kali keluar dari bibirmu. Sementara itu, kisah-kisah tersebut tak bisa menghilang dalam pikiranmu.
Sekarang kau sadar, kalau lama kelamaan mendengar kisah orang sementara kau sendiri tak bisa menyelesaikan kisahmu sendiri amat melelahkan. Jadi, kau memutuskan untuk menghindar dari orang-orang agar akhirnya kau tidak kebablasan bercerita tentang dirimu sendiri.
Ya, setidaknya itu hal lain yang mungkin terjadi. Dibanding mendengar dan memberi balasan yang bagus, pada akhirnya kau malah terpancing dan ikut bercerita. Jelas, tidak membantu sama sekali. Yang ada hanya beban mereka yang bercerita malah semakin berat karena mendengar dan ikut merasakan apa yang kau rasakan. Bahkan meski salah seorang dari mereka berkata siap mendengarnya kapan saja, tapi tetap saja itu tak boleh.
Kini, kau mulai menyadari kalau apa pun yang aku lakukan tidak berguna. Hanya saja, orang-orang itu mungkin tetap membutuhkan dirimu. Sedikit, sebuah senyuman terukir di sudut bibirmu. Berguna itu seperti apa, ya?
Pertanyaan yang terlontar itu pun seolah tak memiliki jawaban dalam benakmu. Yang ada, pertanyaannya malah bertambah, lantas menenggelamkan dirimu.
“Memangnya aku bisa apa?”
Jawabannya, jelas, Kau tidak bisa apa-apa. Kau tidak bisa apa-apa karena kau tidak melakukan apa-apa. Setidaknya, itu yang sepintas langsung melintas dalam benakmu. Jawaban yang entah dari mana.
Perlahan, kau menarik ponselmu. Lalu mengetikkan sesuatu.
Maaf ya, dari kemarin seolah menghindar. Saat ini aku belum bisa mendengarkan ceritamu dengan baik, lantas memberi balasan yang setidaknya tidak membuatmu terbebani. Jadi, kalau memang kau masih percaya, kau boleh menunggu balasanku. Kalau tidak, maaf karena aku belum bisa jadi pendengar yang baik.
Sebuah tarikan napas dan embusannya keluar dengan kasar dari dirimu. Bukan tulisan yang membuatmu puas, tapi setidaknya, kau mencoba untuk tidak melarikan diri—lagi.
***