"Dinda bangun! Udah jam berapa ini? Lo ngga mau sekolah apa?" Dini menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Dinda.
"5 menit lagi deh. Gue masih ngantuk nih. Hooooammm..." Dinda kembali menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Aha! Gue punya ide!" Dini pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamar Dinda dan kembali dengan membawa gayung yang berisikan air.
"Satu..."
"Dua..."
"Tiga..."
BYURR...
"Lo apa-apaan sih, Kak! Liat nih sepreinya kan jadi basah! Bangunin sih bangunin, tapi ngga gini juga kali!" Dinda langsung masuk ke dalam kamar mandi sedangkan Dini masih terkikik atas apa yang telah dilakukannya. Tidak ada rasa bersalah sama sekali di benaknya. Lagian siapa suruh susah dibangunin. Pikirnya begitu.
***
Dinda masih saja kesal atas apa yang telah kakaknya--Dini lakukan. Nindya bingung dengan sahabatnya yang satu ini. Moodnya susah ditebak! Terkadang tiba-tiba ia marah lalu sehabis itu ia sudah kembali tertawa. Terkadang ia sempat berpikir apakah sahabatnya ini mempunyai kepribadian ganda?
"Din, lo kenapa sih dari tadi pagi muka lo kecut amat?" tegur Nindya saat Dinda sedang asyiknya memakan bakso yang sudah habis 2 porsi itu.
"Bukan urusan lo!" ketus Dinda.
"Ini urusan gue Dinda! Dari pagi gue udah ngoceh sampe mulut gue berbusa tapi lo sama sekali ngga ngomong apa-apa sama gue. Sebenernya lo kenapa? Gue punya salah sama lo? Kalo ada masalah cerita, Din. Jangan jadiin orang lain sebagai pelampiasan kemarahan lo!" dari suara Nindya sudah dipastikan bahwa perempuan ini sedang marah. Beberapa pengunjung kantin pun sudah menatap mereka berdua dengan tatapan bingung.
"Udah ngomongnya? Udah ya gue capek berdebat sama lo. Kalo lo ngga mau pergi dari sini, gue aja yang pergi." Dinda segera berdiri dan meninggalkan Nindya yang masih termenung menatapnya tak percaya. Tak percaya bahwa ini bukanlah Dinda yang selama ini ia kenal.
"Dinda!"
"Apa lagi, sih? Masih kurang lo marahin gue, hah?" Dinda menatapnya dengan tatapan sinis.
"I--itu..."
"Itu apa?" Nindya segera menghampiri Dinda yang masih berdiri tak jauh dari mejanya.
"Lo bocor, Din." bisik Nindya. Dinda langsung menghadap ke belakang untuk membuktikan apakah yang Nindya katakan benar atau tidak. Dan ternyata...benar! Tanpa berpikir panjang, Dinda langsung berlari ke toilet sambil memegangi bagian rok belakangnya. Ia sampai menghiraukan panggilan Nindya. Nindya kini sadar apa yang telah membuat sahabatnya yang satu itu mendiamkannya sejak pagi.
***
Sesampainya di toilet, Dinda bisa bernapas lega. Tapi tunggu! Bila 'bocor' hal penting yang harus ia bawa adalah 'roti jepang'. Tapi, lihatlah. Dinda tidak membawa apa-apa saat ini. Dinda kini mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia tidak membeli 'roti jepang' dulu tadi? Ah tadi kan ia terburu-buru takut banyak orang yang melihatnya. Jadi pikirannya hanya tertuju pada toilet. Saat ini toilet perempuan tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ia mengintip keluar pun tidak ada siapa-siapa. Ia heran padahal biasanya tempat ini selalu ramai apabila waktu istirahat.
Tetapi, ia mendengar suara langkah seseorang. Ia berharap orang tersebut bisa membantu dirinya. Ketika ia mencoba mengintip, ternyata orang tersebut adalah Azhar. Ia sedang berjalan sendirian sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia bingung apakah ia akan meminta bantuan Azhar atau tidak. Ia melirik jam tangan miliknya. Oh tidak! 15 menit lagi waktu istirahat berakhir dan setelah istirahat ia ada pelajaran matematika di mana setiap murid tidak boleh telat masuk ke dalam kelas jika tidak mau mengerjakan 50 soal yang diberikan oleh Bu Ria selaku guru matematika. Sudah. Dinda tak punya pilihan lagi walaupun harus menanggung malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Photograph (On Going)
Teen FictionMenceritakan seorang gadis SMA yang menyukai kakak kelasnya. Lalu, apakah sang kakak kelas akan menyukainya balik? Ataukah sebaliknya? Lalu mengapa hubungan sang gadis dengan kakak perempuannya merenggang? Apakah ada masalah diantara keduanya? Masa...