Chapter 6 - Kencan (?)

86 9 1
                                    

"Baik. Pelajaran kita lanjut minggu depan. Kalian boleh istirahat." ujar Bu Siti, selaku guru ekonomi. Setelah itu, para murid berhamburan ke luar kelas, tak terkecuali Dinda.

Hari ini Nindya tidak masuk. Ia tak masuk karena ada acara keluarga. Maka dari itu, Dinda merasa kesepian hari ini. Sebenarnya, bisa saja ia gabung dengan teman-temannya yang lain, tetapi ia merasa canggung jika bergabung dengan mereka.

Suasana kantin saat ini sangat ramai. Bahkan kursi pun penuh tak ada yang tersisa. Sejenak, ia berpikir untuk memakan cemilannya di dalam kelas. Tetapi, hal itu diurungkan karena tiba-tiba ada seseorang berdiri di samping Dinda.

"Kursinya penuh semua, ya?" ujar seorang laki-laki seraya memegang satu bungkus makanan ringan.

"Iya, Kak." sahut Dinda.

Orang itu menoleh ke arah Dinda, "Yaudah. Ikut gue, yuk!"

"Ke mana?"

"Ke taman. Di sana kan ada bangku, nah kita bisa makan di sana. Gue yakin di sana pasti nggak serame di sini." jawab orang tersebut. Dinda hanya mengangguk. Lalu mereka segera menuju taman.

Di taman SMP Pancasila, terdapat beberapa bangku. Di sana juga terdapat beberapa tanaman hijau yang memberi kesan sejuk orang yang berada di sana. Selain bangku, terdapat juga sebuah gazebo di tengah taman. Gazebo ini cukup untuk menampung sekitar 20 murid. Para murid biasanya menggunakan gazebo ini untuk mengerjakan tugas kelompok. Taman ini sangat dijaga kebersihannya. Selain terdapat petugas yang memang dikhususkan merawat taman, para murid juga ikut serta merawat taman ini.

Mereka--Azhar dan Dinda--sudah sampai di taman. Mereka memilih bangku yang terdapat di sudut kiri taman. Sejenak, tak ada yang memulai pembicaraan.

"Hmm, Kak." panggil Dinda.

Yang dipanggil pun menoleh ke arah Dinda. "Ya?"

"Lo kenapa ngambil jurusan IPA?" tanya Dinda.

"Karena gue pengen jadi pilot. Kalo gue jadi pilot, nggak mungkin gue ngambil IPS, kan?" jawab Azhar sesudah mengunyah makanannya. Sedangkan Dinda hanya mengangguk-angguk saja.

"Kalo lo sendiri kenapa ngambil IPS?" tanya Azhar balik.

Dinda melirik Azhar sekilas. "Gue nggak tau."

Azhar menatap Dinda dengan tatapan bertanya. "Kok nggak tau?"

"Hahaha.. Gue juga nggak tau kenapa gue ngambil IPS. Yang pasti gue itu nggak suka hitung-hitungan." jelas Dinda.

"Tapi hitung-hitungan kan seru, Din. Lebih menantang. Daripada hafalan mulu. Gue malah nggak suka sama apapun yang berhubungan dengan hafalan" Azhar membuang bungkus cemilannya di tempat sampah samping bangku yang sedang ia dan Dinda duduki.

"Justru dengan hafalan itu yang ngelatih memori kita, Kak. Daya ingatnya jadi tambah kuat. Hehe.." Dinda terkekeh pelan.

"Emang cita-cita lo jadi apa?" Azhar kembali duduk disamping Dinda.

"Nggak tau."

"Kayaknya lo itu nggak punya tujuan hidup, ya? Daritadi gue tanyain nggak tau mulu jawabannya." ketus Azhar.

Dinda menghela napas panjang. "Gue bukannya nggak punya tujuan hidup. Tapi emang gue belum memutuskan mau jadi apa gue nanti."

"Harus dipikirin dari sekarang, Din. Karena masa depan lo, lo sendiri yang nentuin. Nggak mungkin orang lain. Dan yang pasti, harus dipersiapkan dari sekarang. " ujar Azhar.

Dinda hanya diam merenungi ucapan Azhar. Sejujurnya, ia ingin menjadi seorang psikolog. Ya, dia menyukai pekerjaan itu sejak salah satu teman mamanya yang berprofesi sebagai psikolog main ke rumahnya. Pada saat itu Dinda sedang ada masalah. Teman mamanya yang melihatnya pun langsung bertanya ada apa dengan dirinya. Akhirnya, Dinda menceritakan masalahnya kepada beliau. Dan dengan sabarnya ia memberikan beberapa nasihat dan saran untuk Dinda. Dan sejak saat itulah Dinda ingin sekali berprofesi sebagai psikolog.

Photograph (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang