14. Warna Diri

173 28 1
                                    

Retha mengobati luka diwajah Ervan akibat pukulan Darel. Ini yang ia takutkan jika Darel dan Ervan bertemu. Retha menatap lekat-lekat wajah kekasihnya itu.

"Harusnya, kamu nggak ngomong kaya gitu tadi." Ucap Retha pelan.

"Kamu nyalahin aku?" Tanya Ervan.

Retha menggelengkan kepalanya pelan. "Aku nggak nyalahin kamu. Aku tau ini salahku." Ucapnya.

"Baguslah kalau kamu sadar." Ucap Ervan.

Deg.. entah kenapa hati Retha terasa sakit mendengar perkataan Ervan. Tangannya semakin erat menggenggam kotak p3k.

"Perkataanmu, itu menyakiti Darel. Darel nggak akan mukul kamu kalau kamu nggak bilang kaya gitu lagi." Ucap Retha dengan tenang dan pelan.

"Ck.. tuhkan, mulai kan. Belain aja terus cowok itu. Salahin aku. Aarghh." Ervan mengalihkan pandangannya.

"Aku nggak bermaksud nyalahin kamu. Aku juga nggak bela Darel. Aku sakit denger kamu ngomong kaya gitu." Ucap Retha dengan mata yang mulai memanas.

"Kenapa? Karna kamu suka sama dia?" Tanya Ervan dengan nada tinggi.

"Aku sakit liat pacar aku nyakitin orang lain dengan perkataannya." Jawab Retha.

"Aku cuma bicara fakta. Cowok kaya dia, udah pasti kaya gitu."

"Nggak!" Sanggah Retha dengan cepat. "Darel bukan cowok yang kaya gitu." Sambungnya.
"Tampilannya memang seperti itu, tapi, dia orang yang baik." Ucap Retha lagi.

"Bela aja terus dia. Harusnya kamu tuh makasih sama aku. Kalau aku biarin kamu ke kuburan sama dia, bisa aja kamu sama dia melakukan hal yang nggak-nggak." Ucap Ervan. "Kalau sampai kamu hamil, siapa yang tanggung jawab? Aku? Males banget harus nanggung anak orang." Lanjutnya.

Plakk... Retha menampar Ervan bersamaan dengan air matanya yang jatuh. Retha menundukkan kepalanya dan menangis. Menangis tanpa suara.

"Kamu, kamu sama aja ngerendahin harga diri aku." Ucap Retha terisak.

"Kamu marah? Kamu tersinggung? Aku berpikir kaya gitu juga karna kamu. Kenapa kamu mau tidur dirumah dia, jelas-jelas cuma ada dia." Omel Ervan.

"Berapa kali harus aku jelasin. Aku tidur disana karna ayahnya." Ucap Retha masih dengan air mata yang berderai.

"Ya walaupun karna ayahnya, harusnya kamu nolak dong. Kamu itu cewek, inget itu." Ucap Ervan.

Retha hanya bisa menangis. Ia akan selalu kalah setiap bertengkar dengan Ervan. Ervan selalu berhasil memojokkannya dengan perkataan-perkataannya. Apapun yang dikatakannya selalu dikembalikan oleh Ervan.

"Kenapa sih Van, sekarang kamu berubah." Ucap Retha.

"Berubah? Setiap orang pasti berubah. Saat dia tumbuh tanpa disadari dia akan berubah. Gimana sih. Sekolah nggak sih kamu?" Omel Ervan yang lagi-lagi melukai hati Retha.

"Ck.. mendingan aku pulang. Dari pada disini disalahin terus." Ucap Ervan penuh penekanan.

Retha tak bisa berhenti meneteskan air matanya. Ia ingin sehari saja tidak bertengkar dengan Ervan. Tapi rasanya itu sangatlah sulit. Retha menghapus air matanya dengan perlahan. Kepalanya mendongak saat mendengar suara motor Ervan. Semakin lama suara motor itu semakin jauh dan tak terdengar.

Retha menoleh kesamping saat merasakan pundaknya disentuh. Senyumnya terkembang saat melihat Verda, karyawan toko yang sudah seperti temannya ada didekatnya. Retha menyandarkan kepalanya dipundak Verda. Ia memang butuh sandaran saat ini.

"Sumpah ya, gue gedeg liat cowok lo. Ngomel-ngomel mulu." Kesal Verda.

Retha hanya menanggapi perkataan Verda dengan senyuman.

Semut & BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang