Lima Belas

43 5 1
                                    

Leon pov

Dua bulan setelah ujian nasional.

Sore itu Leon pergi ke sebuah kafe kecil untuk melepas penat sesaat. Ia memesan sebuah capuccino hangat.

Ia ingin membuang pikiran jenuh setelah ujian. Leon mengamati keadaan sekitarnya. Mencari-cari sesuatu yang sedang ia rindukan. Tidak. Gadis itu tidak ada.

Belakangan empat bulan ini, Leon tidak melihat gadis itu. Sekarang, Leon sedang memandang ke arah pintu masuk kafe itu berharap seseorang yang ia rindukan mengunjungi kafe itu.

Tingg..

Ponsel Leon berbunyi. Satu pesan masuk dari Dr.Andi.

Dr.Andi: Leon kau dimana? Jaga kesehatanmu. Akhir pekan ini kau akan menjalani pengangkatan ginjalmu.

Leon: Aku tahu itu.

Aku sedikit malas untuk menjawab pesan dari Dr.Andi. Ia mengaturku seperti anak kecil yang tidak di ijinkan oleh sang ibu, tapi si anak berusaha untuk kabur.

Setelah ujian hari-hariku sangat membosankan. Rutinitasku hanya tidur, makan, ke rumah sakit, mandi dan tidur lagi.

Setelah mengusir rasa jenuh, aku kembali pulang.
Aku tidak menggunakan mobil atau kendaraan. Karena niatku pagi itu hanya ingin menghirup udara segar.

Setelah sampai rumah, aku melihat beberapa mobil sport milik teman-temanku.
Sedang apa mereka kemari? Ah entah, aku tak mengerti maksud mereka.

Aku masuk kedalam rumah. Di ruanh depan sudah ada mereka yang sedang bercengkrama.

Tunggu, kurang satu temanku disini.
Bara. Dia tidak disini? Seingatkubaku melihat mobilnya tadi.

"Bara tidak kemari?"aku bertanya kepada salah satu temanku.

"Oh, dia sedang mengambil minum di belakang."jawab Sam sambil memainkan ponselnya.

Aku hanua ber'oh' dalam hati. Kurasa mereka lapar. Aku mengajak mereka semua ke ruang makan.

Di meja makan sudah banyak makanan yang di sajikan.

"Kau yang membuat?"tanya Sam.

"Mana mungkin aku membuatnya. Pasti bibi lah."jawabku lalu menyuruh mereka duduk manis dan menikmati makanannya.

Hening menyelimuti kami. Kami menikmati daging panggan yang di taburi bumbu hitam. Entah apa itu. Aku tidak mengerti. Lidahku hambar. Tidak bisa merasakan dengan jelas.

Setelah makan mereka mangajak ku pergi ke sebuah kafe. Tapi aku menolaknya. Dokter sudah menganjurkan untuk aku beristirahat demi kesehatan ginjalku.

Setelah mereka pulang, aku pergi ke rumah sakit untuk ceck up. Dua minggu lagi aku mejalani oprasi pengangkatan satu ginjalku.

Aku rutin meminum obat untuk mencegah nyeri yang datang. Tapi itu hanya menghamabat rasa sakit saja. Bukan menyembuhkan.

Selesai dari rumah sakit, aku langsung pulang. Setelah sampai rumah, aku melihat Kinan duduk di bangku taman. Aku memperhatikan sejenak apa yang ia lakukan.

Sepertinya ia sedang menulis sesutu di bukunya. Ah, sudah kuduga ia selalu melakukan hal-hal yang aneh.

Aku pun melanjutkan langkahku. Tunggu. Tunggu sebentar. Bukan kah itu mobil Bara. Ia berhenti tepat di samping rumahku.

Apa yang sedang ia lakukan. Menugguku? Untuk apa?
Sepertinya aku harua memastikan mengapa ia kemari.

Aku merogoh ponselku di dalam saku. Aku menghubunginya.
Ah di angkat juga.

"Bara sedang apa kau berhenti di samping rumahku? Kau ingin melepas rindu padaku?"

"Ohh hei bung. Aku hanya memastikan adakah barangku yang tertinggal di rumahmu."jawabnya seperti kebingungan.

Aku yakin betul, bukan itu maksud Bara. Gaya bicaranya seperti suami yang ketahuan selingkuh. Gugup.

"Aku yakin tidak ada barang yang tertinggal. Toh kau tidak mengeluarkan apapun."jawabku dengan yakin.

"Aahh. Kurasa ucapanmu benar juga. Aku kembali."

Setelah itu Bara mematikan sambungan telponnya. Lalu kulihat sekilas, mobilnya berlalu pergi meninggalkan rumahku.

Setelah itu aku menuju kamarku untuk istirahat. Sungguh, hari ini sangat melelahkan.

H-5 menuju oprasi Leon.

Hari menuju pengangkatan ginjalku semakin dekat. Kau tau? Betapa gugupnya aku. Aku takut aku tidak bisa membuka kedua mata ini lagi. Tidak bisa melihat keindahan di dunia ini. Tidak bisa melihat senyum orang-orang di sekitarku. Tidak bisa bertemu gadis itu lagi.

Tapi aku harus yakin jika aku mampu melewati semuanya.

Hari-hari menjelang oprasi, waktu ku diisi dengan bersantai di rumah, membaca buku, menonton film. Membosankan bukan?

Hanya itu yang ku lakukan di rumah. Jenuh bukan main.

Lima hari menjelang oprasi, aku harus di rawad di rumah sakit terlebih dahulu. Aku berbaring di ranjang dan memakai selang infus.

Beberapa temanku berkunjung untuk mengucapkan semoga cepat sembuh atau semoga oprasi berjalan dengan lancar.

Beberapa guruku juga. Ah, aku sunggu kesal dengan situasi ini. Seolah-olah aku paling lemah.

Detik menjelang oprasi. Aku memakai pakaian serba hijau gelap, di temani oleh beberapa suster dan dokter.
Aku di bawa ke subuah tempat steril.

Sang suster mulai menyuntikan bius di tubuhku, setelah itu gelap. Aku tak ingat apapun. Dan aku tak tahu apa yang terjadi.

Aku membuka dengan berat kedua mataku. Melihat mama dan papa yang telah menanti-nanti aku bangun.

Semua terasa senang.

"Ah, Leon sudah bangun juga. Cepat panggilkan dokter."histeriz mama.

Aku hanua diam. Tubuhku keluh untuk bergerak. Semua terasa kaku. Kaku yang mematikan.

Dokter pun tiba. Ia memeriksa keaadanku sejenak.

"Oke Leon jangan terlalu bergerak dan jangan bekerja berat. Pastikan kau meminum dua belas liter air putih."ucap dokter itu lalu pergi.

Aku hanya mengangguk-angguk saja. Dahaga yang sangat kering menyuruhku untuk meneguk segelas air.

Aku berusaha berucap "Mi...nummm."

Mama langsung mengambilkannya untuku. Seorang ibu memang sosok yang paling peka terhadap sekitarnya. Aku berharap kelak seorang ayah juga peka seperti sosok ibu.

Hai, maafkan jarang update ya. Imajinasi sedang mampet huhuhu:(
Diusahakan update secepatnya kok.
Selamat liburan~

ANTARA HUJAN DAN SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang