Pujangga
titahkan takdir
menjelma anak panah
dalam bidikan dara."Amba, kekasihku, aku sudah siap.
Bunuhlah aku sekarang!"Tetapi dara itu menjadi sedikit ragu.
Ia tatap lekat-lekat
kedua mata Bhisma yang pasrah –
yang ia rasakan seperti sebuah lorong dejavu
atau mungkin sebuah kisah cinta platonik
yang tak pernah tertakdirkan."Aku masuki kecamuk Baratayuda ini
memang untuk membunuhmu.
Tetapi maaf, Tuan! Aku bukan Amba,
aku Srikandi!"Lirih, Bhisma tersenyum,
sedang dara itu kembali bersiap
membidik anak panahnya
tepat ke arah jantung Bhisma."Jika engkau memang benar-benar lupa,
maka kumohon
anggap saja sekarang dirimu adalah Amba kekasihku,
agar aku tenang
menjemput getirnya mautku.
Maafkan aku, Amba,
yang dulu pernah mencampakkanmu!
Maafkan aku!
Sesungguhnya,
aku sangat ..................
....................................."Langit Kurusetra
merah dan kelam.
Lirih, Bhisma tersenyum menatap dara
sebelum tubuh rentanya
tumbang.(2014)
Puisi ini pernah dimuat di Surat Kabar Pikiran Rakyat Edisi 28 September 2014
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit di Ceruk Jendela
Poetry"Di ceruk jendela, kau selalu memilih menjelma langit, yang hanya bisa kusentuh dengan puisi, kupeluk dengan doa." Catatan Penulis: Terima kasih, untuk teman-teman yang sudah bersedia membaca, mengapresiasi, memberi puji, kritik serta saran terhadap...