2

715 177 90
                                    

Sinar matahari menyengat sekujur tubuhku. Begitu hangat, namun, aku tidak menginginkannya.

Oh ayolah.. Aku masih ingin menikmati tidurku.

Entah manusia bodoh mana yang berani membuka jendela kamarku, yang pasti bukan mama dan papa.

"Hei ratu galau. Cepat bangun!" sarkas seorang pria, suaranya terdengar familiar untukku.

Perlahan kubuka mataku dengan malasnya.

Terlihat sosok pria bertubuh kekar diawal pandanganku.
Aku memutar bola mata, sosok yang begitu menyebalkan, untukku.

"Jika kamu memang berniat bertemu pangeranmu itu, maka bangunlah. Tidak mungkin pangeran menyukai putri yang jam segini masih nempel sama bantal. Memalukan." sarkasnya dengan tersenyum licik.

Aku melotot padanya, namun, kurasa dia sama sekali tidak memperdulikannya. Dengan setengah hati, aku memaksakan mendorong tubuhku sampai posisiku menjadi terduduk di tepi kasur sambil mengucek-kucek mata dan sesekali menguap.

"Cepatlah. Aku akan menunggu di bawah untuk kita berangkat sekolah bersama." ujarnya.

Kita? Hellooo?? Nggak salah dengernya?

Oh Tuhan.. Aku baru tersadar jika mulai hari ini akan satu sekolah dengannya. Aku mendengus kesal. Tetapi kenapa harus berangkat bareng dia?

Aku memandanginya dari bawah sampai atas, memang benar dia sudah sangatlah rapi.

Aku benar-benar mengutuk diriku sendiri. Aku yang seorang wanita masih bermalas-malasan di kasur, eh ini malah yang seorang pria sudah bangun dari tadi, buktinya sekarang sudah rapi dan siap berangkat sekolah.

"Kenapa ngeliatin aku gitu banget. Terpesona sama aku, yah?" ujarnya dengan tersenyum licik.

"Lo jangan seenaknya masuk kamar gue!" bentakku padanya.

Dia menatapku tajam, membungkuk mendekatkan wajahnya ke wajahku. Nafasnya memburu terasa menusuk kulit wajahku.

"Bisakah sekali saja kamu bersikap sopan padaku? Bisakah sekali saja kamu menghormatiku?" ujarnya setengah membentak dengan menatapku sangat tajam.

Untuk apa aku menghormatinya? Kalimat yang dia lontarkan sangat tidak tepat. Dia sama sekali tidak ada ikatan darah dengan keluargaku.

Tatapannya saat ini seolah benar-benar ingin membunuhku. Jujur, aku ketakutan. Membentaknya lagi kupikir bukanlah sikap yang tepat. Dia baru 4 bulan di rumahku. Aku harus menjaga sikapku, siapa tahu dia seorang mafia.

Ahh.. Aku terlalu berlebihan. Apa mungkin mama setega itu memasukkan mafia ke dalam rumah?

Aku hanya mengangguk kepadanya, dan wajahku kini terasa menegang. Aku takut dengan tatapannya yang tajam itu. Aku harus bisa mengontrol emosiku dan bersikap sedikit sopan padanya, aku tidak ingin diterkam hidup-hidup.

Kayaknya pikiranku sudah melantur tidak jelas kemana-mana. Aku tidak bisa berfikir jernih lagi karena dia masih tetap menatapku tajam.

Tiba-tiba dia terkekeh pelan, "Kamu lucu kalau lagi ketakutan," ujarnya dengan menggeleng-geleng kepala.

Aku bingung akan bereaksi seperti apa. Paling tidak, kalimat yang baru saja dia lontarkan membuatku sedikit lega. Dia hanya sedang mengerjaiku.

"Zach.." teriak mama dari luar kamarku.

"Ya, tante." sahut Kak Zach dengan nada setengah memekik.

"Als sudah bangun belum?" tanya mama.

Kak Zach menoleh ke arahku, dia mencibir. Aku mendengus kesal.

"Sudah, tante." sahutnya.

"Ya sudah. Kamu keluar sini.. Mobilnya dipanasin dulu." kata mama.

Need YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang