"Tidak baik berdiri di depan kamar pria," tegur Ren saat aku sedang melamun di depan pintu kamar Ken.
"Oh, tumben ada di kontrakan jam segini," kataku pada Ren. Dia malah memandangku aneh, seperti ada sesuatu yang salah.
Ren tahu-tahu meraba keningku. "Kamu sakit," katanya.
Aku menggeleng. "Aku merasa baik-baik saja."
Ren menarik tas selempangku. "Pulanglah. Ini sudah pukul sembilan malam."
"Tapi aku belum memberikan obat ini pada Ken. Dia sedang demam," kataku sambil menunjukkan kantong plastik putih di tangan kananku.
"Kalau begitu kenapa tidak diberikan dari tadi? Kamu sudah berdiri di sini sejak setengah jam yang lalu," racau Ren dengan wajah kesal. "Ken hanya pilek dan batuk sesekali. Tapi suhu tubuhmu sangat panas!"
Aku menghela nafas. "Berikan ini pada Ken. Aku sudah mengetuk pintunya tiga kali, tapi tidak ada respon. Mungkin dia sedang tidur. Tolong, kalau dia bangun nanti, segera berikan obat ini," kataku seraya menyodorkan obat pada Ren.
Ren meraih obat itu dengan ekspresi tidak senang. Aku kemudian berjalan menuju pintu keluar.
"Biar kuantar," kata Ren dengan nada agak tinggi.
Aku berbalik dan menggeleng pada Ren. "Aku bisa pulang sendiri."
Ren tahu-tahu berjalan cepat ke arahku dan menarikku ke kursi. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Biasanya Ren tidak seserius ini.
"Ini air hangat, dan ini obat," katanya setelah memaksaku duduk di kursi.
"Tapi obat ini untuk—"
"Kenapa kamu begitu takut jika Ken marah? Kenapa kamu sangat khawatir jika dia sakit? Kenapa Ken adalah segalanya sementara kamu bukan siapa-siapa baginya!"
Aku terkesiap dengan sikap Ren. "Kenapa kamu ingin tahu? Kenapa kamu peduli?" tanyaku pelan.
Ren menatapku dalam. Ia menaruh kedua tangannya di sandaran kursi dan membungkukkan tubuhnya. "Jangan pura-pura tidak tahu." Perlahan wajahnya mendekat, hingga aku bisa melihat dengan jelas manik hazelnya menatapku dalam-dalam.
"Aku selalu menyangkal semua kemungkinan yang ada di antara kita, Ren," tegasku padanya.
Tapi wajahnya terus mendekat, hingga aku bisa merasakan nafasnya yang hangat.
"Cukup Ren!" kataku kesal.
Ren menahan wajahnya, masih dekat, tapi belum menjauh. "Satu tahun kalian pacaran, pernah Ken cium kamu?"
"Cinta tidak selalu ditunjukkan dengan hubungan fisik! Ken bukan laki-laki brengsek seperti kamu, Ren!"
"Pernah Ken mencintai kamu? Laki-laki yang tidak mencintai kekasihnya jauh lebih brengsek daripada laki-laki yang suka meniduri perempuan sepertiku!"
Aku merasakan genangan hangat di kedua bola mataku. Kata-kata Ren terasa pedih. Dia tidak seharusnya bersikap seperti ini.
"Sampai sekarang, Ken masih mencari seseorang seperti wanita masa lalunya! Sejak awal dia tahu sosok itu tidak ada dalam dirimu. Dia mengikatmu karena kamu terlalu baik dan sayang untuk dilepaskan. Dia hanya memanfaatkan kamu!"
"Cukup, Ren!"
"Apa yang cukup? Waktu satu tahun bahkan tidak cukup untuk menyadarkan kamu, Kei!"
Air mata mulai jatuh di pipiku. Aku malu sekali menangis di depan Ren. "Aku mau pulang," kataku seraya mendorong tubuh Ren menjauh.
"Jangan seperti ini lagi," kataku dingin.
Lalu pintu itu tertutup rapat. Yang kudengar hanya suara beberapa buku dilempar. Mungkin itu novel-novel yang kupinjamkan padanya. Dia kecewa, aku selalu melukainya.
Tapi, salah siapa yang jatuh cinta pada hati yang telah mencintai?
***
Aku menaruh dua mangkuk bubur ayam di meja makan. Pukul sepuluh pagi, dan mereka berdua baru bangun tidur. Sudah tiga hari aku tidak ke kontrakan mereka, sejak kejadian malam itu. Sekarang aku sudah bisa melupakannya dan menganggap tak terjadi apa-apa. Kurasa Ren pun begitu. Dia tidak membahas kejadian itu sama sekali saat aku menyuruhnya gosok gigi.
"Apa pilekmu sudah sembuh?" tanyaku pada Ken yang baru selesai mencuci muka dan duduk di depan semangkok bubur ayam.
"Ya, berkat obat darimu," jawabnya datar.
Aku melirik Ren. "Aku memaksanya meminum obat itu. Dia harus belajar menghargai pemberian orang lain," kata Ren dengan ekspresi menjengkelkannya yang khas.
"Lain kali jangan titipkan apapun padanya. Berikan padaku langsung. Rasanya aneh mendengar bajingan itu menyuruhku minum obat," balas Ken ketus.
Ren menendang kursi Ken. "Hey, brengsek!"
Ken balas menendang kursi Ren. "Aku hampir tersedak, bajingan!"
"Apa kalian tidak bisa berdamai sehari saja?" teriakku frustasi.
"Aku sarapan di kamar," kata Ken sambil mengangkat mangkoknya. Aku mengikuti punggungnya yang perlahan hilang di balik pintu dengan mataku. Dia selalu seperti itu.
Selang beberapa menit kemudian, aku mendengar ponsel berdering di atas meja. Oh, itu ponsel Ken.
"Bukannya ini salah satu klien Ken," gumamku memperhatikan foto kontak yang menghubungi Ken.
"Klien macam apa yang menelpon pagi begini," ketus Ren setelah menyuap bubur ayamnya.
Aku mengacuhkan kalimat Ren. Ingatanku segera bekerja saat melihat foto si penelpon, seorang perempuan berlesung pipi. Aku pernah melihat foto yang sama di komputer Ken. Waktu Ken sedang mengeditnya.
"Sini, biar aku yang angkat. Kamu terlalu lama melamun," kata Ren yang tahu-tahu sudah merebut ponsel Ken dari tanganku.
Kini giliran Ren yang melamun melihat foto tersebut.
"Kenapa, Ren? Kamu kenal?" tanyaku penasaran.
Ren mengalihkan pandangannya padaku. "Ini klien Ken?" tanyanya serius.
Aku mengangguk. "Waktu itu aku lihat Ken sedang mengedit fotonya."
"Kapan?"
"Sekitar, dua minggu yang lalu. Kenapa?"
Aku memiringkan kepalaku seraya menunggu jawaban Ren. Mataku yang bundar menatap Ren penasaran.
Ren menjawab pelan, pelan sekali.
"Dia mirip mantan kekasih Ken."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SAD WIND [completed]
RomanceAku membuka mataku pelan-pelan. Kutemukan sepasang manik hazel mensejajari manik coklat gelapku. Pelan-pelan ia tersenyum. Matanya masih menatapku sedangkan aku sudah mengerjap beberapa kali. "Apa kamu bahagia?" tanyanya setengah berbisik. Pert...