Empat. Gadis berkalung Matahari

503 15 0
                                    

Pintu kamarku terbuka. Dia masuk lagi ke kamar dengan wajah kesal. Mungkin dia kehabisan susu coklat, atau channel kartun kesayangannya hilang. Kemungkinan terakhir adalah, Ren menganggunya.

Dia duduk di meja belajarku dan menyalakan laptop. Kulihat dia membuka folder animasi.

"Ken! Ayo kita nonton ulang Kiseijuu," katanya padaku.

Aku hanya memalingkan wajah dan kembali fokus pada kamera di tanganku. Aku mengelap lensa dengan hati-hati. Kudengar gadis itu berteriak kecil, lalu merengek seperti bayi.

"Baiklah, aku akan nonton sendiri," katanya setelah lelah berkoar tidak jelas.

Dia seperti anak lima tahun.

Namanya Kayla Wijaya, dia gadis keturunan tionghoa, berbadan kecil, tingginya satu setengah meter. Aku dan Ren harus menunduk jika bicara sambil berdiri dengannya.

"Kamu harus berhenti main basket. Tinggimu sudah overdosis," katanya suatu kali, saat menemaniku main basket.

Dia selalu berceracau aneh-aneh, kadang aku tidak mengerti apa yang dia katakan.

Tidak ada yang menarik dari Kayla. Dia biasa-biasa saja. Satu-satunya yang menarik bagiku adalah kalungnya. Kayla selalu mengenakan kalung berliontin matahari. Kalung yang sangat indah.

"Temani aku membeli makanan Mora," katanya tiba-tiba.

Mora adalah kucing peliharaannya. Seekor anggora berbulu kuning kecoklatan.

"Aku sedang tidak ingin keluar," jawabku.

Ia langsung menggerutu sambil memain-mainkan liontin mataharinya. Aku menoleh padanya dan memperhatikan liontin yang berkilau diterpa cahaya lampu.

Kayla menyukai banyak hal. Tapi dua hal yang paling dia sukai adalah matahari dan kucing. Mora kucing peliharannya. Kucing itu kami temukan di jalan. Kayla merengek ingin membawa kucing itu pulang. Aku kesal setengah mati ketika dia memohon padaku agar kucing itu ditaruh di kontrakanku. Alasannya karena di kosannya dilarang memelihara kucing. Tapi entah bagaimana, Kayla kadang bisa membuatku menuruti keinginannya.

Jadilah kucing gemuk berbulu kuning kecoklatan itu menumpang hidup di tempatku. Dan penggemar susu coklat itu selalu punya alasan untuk ke sini.

"Sebagai ayahnya, kamu harus bertanggungjawab. Ayo, kita beli makanannya sebentar. Kamu tega kalau Mora kurus?"

"Aku justru lebih suka jika buntelan bau itu kurus seperti ibunya, dan hey, aku bukan ayahnya!"

"Tapi kamu yang memberinya nama!"

"Waktu itu kamu menanyakan bahasa asing matahari,"

"Kamu bilang, Mora nama yang cocok untuknya. Mora adalah bahasa Gaelik, artinya matahari, dan bulunya memang kuning seperti matahari. Kamu mengatakannya seperti seorang ayah!"

Aku mengacak rambutku kesal. Dia mulai berceracau lagi.

"Aku akan membunuh kucing itu besok," kataku kesal.

"Psikopat," umpatnya pelan.

Dia lalu berjalan keluar dan membanting pintu kamarku, tidak terlalu keras.

Dia mudah kesal, tapi tidak pernah marah. Paling lama, setengah jam kemudian, dia akan kembali lagi ke sini dan merengek minta di antar pulang. Aku tidak mengerti bagaimana bisa perempuan bodoh seperti itu muncul di duniaku.

Tapi harus kuakui, kadang, Kayla bisa membuatku terpesona. Saat dia tersenyum bahagia, dia tampak cerah seperti matahari. Dan aku akan berhenti untuk menatapnya sebentar.

Dia--Kayla Wijaya, kekasihku--dan perasaan untuknya yang masih menjadi tanda tanya hingga kini. Apakah aku mencintainya?

SAD WIND [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang