Delapan. Perempuan Bernama Starla

345 13 0
                                    

"Ini sudah malam," tegur seseorang dari belakang.

Aku memelankan ayunan dan memutarnya. Ken berdiri seraya menatapku dengan pandangan dinginnya. Dia tidak bisa bersikap lebih baik lagi dari itu. Jika dia tidak diam, maka dia akan mengomeliku. Tapi sebenarnya, aku lebih sukaKen bicara dengan nada tinggi daripada menatapku dingin seperti itu.

"Aku ingin main ayunan," kataku sambil memutar ayunanku kembali. Setiap kali suasana hatiku buruk, dan susu coklat tidak membantu, aku akan bermain ayunan.

"Siapa yang mengijinkanmu memperbaiki kameraku?" kata Ken dengan nada sedikit kesal.

"Menurutku itu bukan sesuatu yang salah," kataku sambil memandangnya dongkol. Tidak ada kosakata 'terima kasih' dalam hidupnya, kurasa.

Ken memutuskan duduk di ayunan sebelah. Ia menatap lurus ke depan. "Kamu tahu aku akan mengikuti lomba?"

Aku mengangguk. "Jika tidak cepat diperbaiki, aku takut kamu tidak bisa ikut lomba itu."

"Tadinya, aku ingin memperbaikinya. Tapi ada sedikit masalah."

Aku tahu apapun sebelum dia memberi tahu. Tapi aku selalu bersikap bahwa aku tidak tahu. Bahwa kameranya rusak dan dia akan mengikuti lomba fotografi. Bahwa dia bermasalah dengan rekannya yang akan memperbaiki kamera itu.

"Aku akan mengganti biayanya," katanya setelah diam beberapa saat.

Aku tertawa pelan. "Aku mendapatkan service gratis. Temanku yang melakukannya. Apa kamu mau menyampaikan terima kasih padanya?"

"Teman laki-laki?"

"Iya."

Ken diam sejenak. "Pasti kalian sangat dekat sampai dia memberi service gratis."

Aku tertawa pelan. "Aku bercanda. Dia teman dekat Shena, kamu tahu bagaimana Shena, 'kan? Tapi, apa tadi itu, kamu cemburu?"

Ken tertawa timpang. "Tidak penting."

Aku hanya mencibir, kemudian mengeluarkan sesuatu dari ranselku. "Aku sudah mendaftarkan nama Kandela Purwa," kataku seraya menyodorkan formulir pada Ken.

Ken menghentikan ayunannya dan menatapku. "Kenapa kamu melakukannya?" tanya Ken serius.

Aku mengangkat sebelah alisku. "Memperbaiki kamera atau mendaftarkan namamu?"

"Keduanya."

Aku tersenyum. "Karena itu penting bagi Ken," jawabku singkat.

Ken berdiri dan berjalan ke arahku. Tiba-tiba dia berjongkok hingga matanya sejajar dengan mataku.

"Apa hal yang penting bagiku itu penting bagimu?"

Aku mengangguk. "Tentu saja. Kamera itu sangat penting bagimu, aku tidak ingin benda itu rusak. Dan lomba itu, sejak lama ingin kamu ikuti, 'kan? Aku tidak ingin kamu kehilangan kesempatan itu. Aku tidak ingin, Ken jauh dari mimpinya. Aku harus menjaga impian Ken dan segala hal yang membuat Ken bahagia."

Ken tiba-tiba memelukku. Ken jarang sekali melakukannya. Dan hari ini dia memelukku erat tanpa kutahu jelas alasannya.

"Kenapa tubuhmu lebih kurus sejak terakhir kali aku memelukmu?" tanyanya masih memelukku.

Aku menggeleng. "Kamu memelukku karena kedinginan?"

"Kamu tidak makan nasi?"

"Suhunya makin dingin, mungkin akan turun hujan. Sebaiknya kita pulang sekarang, nanti kamu flu," kataku seraya melepas pelukannya.

"Kenapa kamu selalu mengkhawatirkan orang lain? Khawatirkan dirimu sendiri," katanya yang tiba-tiba jadi kesal.

Aku memberengut sambil menendang kakinya. "Karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan dariku. Tidak sepertimu, aku bisa menjaga diriku dengan sangat baik."

SAD WIND [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang