Dua Belas. Pintu

371 10 1
                                    

Aku berdiri di depan sebuah pintu. Pintu yang dulunya sangat mudah kumasuki.

Di balik pintu itu, ada seseorang yang sudah berwaktu-waktu tak kutemui. Entahlah, rasanya sudah lama sekali dan tempat ini sudah terasa asing. Mungkin bukan waktu. Tapi keadaan yang sudah berbeda.

Di dalam sana ada Ken, seseorang yang dulu ingin kujumpai setiap hari. Seseorang yang kupeluk diam-diam saat ia belum bangun. Seseorang yang tangannya kugenggam hingga aku tertidur. Seseorang yang dulu, meski tak seutuhnya milikku, tapi bisa kusentuh dengan jemariku.

Bagaimana keadaannya? Aku khawatir sekali saat Ren bilang ia jatuh sakit selama seminggu dan tidak mau keluar kamar. Aku datang, kabur diam-diam dari rumah sakit, hanya untuk menemuinya. Aku juga membawakan buah anggur kesukaannya.

Seandainya dia adalah Ken yang belum berdansa dengan Starla di depan mataku, mungkin akan lebih mudah menggerakkan tanganku untuk mengetuk pintu.

Aku menghela nafas dengan keras. Kekasih macam apa yang tidak mengunjungi pacarnya yang sedang sakit? Aku benar-benar kecewa, Ken memilih menggandeng tangan perempuan seperti Starla. Harusnya Starla yang berdiri di sini dan membujuk Ken minum obat.

"Buka saja pintunya. Tadi pagi kamarnya tidak terkunci. Mungkin masih bisa dibuka," kata Ren yang lewat di belakangku. Ia memandangku sekilas, lalu masuk ke kamarnya. Aku tahu Ren sedang marah padaku. Mungkin nanti, saat marahnya reda, dia akan menarikku ke dapur dan menumpahkan isi kepalanya yang tertahan selama dua minggu.

Aku mencoba memutar gagang pintu. Pelan sekali. Ternyata Ren benar, Ken tidak mengunci kamarnya.

Kamar itu begitu gelap saat aku masuk. Aku tidak menyalakan lampu karena itu akan membuat Ken mengamuk. Ah, tapi, masihkah dia bisa mengamuk seperti dulu? Bukankah sekarang kami adalah orang asing yang harusnya saling canggung seperti belum pernah bertemu?

Aku bisa melihat Ken meringkuk di ranjangnya. Aku sedih melihatnya seperti itu. Dia kacau sekali.

Aku merapikan kamarnya dengan suara seminim mungkin agar Ken tidak bangun. Setelah semuanya beres, aku menarik selimut yang tergulung di kaki Ken dan menyelimutinya. Ia benar-benar pemalas, bahkan sekedar menarik selimut ke badannya.

Aku meraba keningnya, suhu tubuhnya cukup tinggi.

"Aku tahu kamu pasti datang," katanya tiba-tiba, masih sambil memejamkan mata.

Aku terperanjat dan segera berjalan selangkah lebih jauh dari ranjangnya.

"Kamu sudah bangun?" tanyaku canggung.

"Aku sudah bangun sejak mendengar suara Ren di luar," jawabnya sambil mengucek mata.

Aku memilih duduk di kursi dan tidak menanggapi lagi kalimatnya. Kami diam cukup lama. Aku memaku wajahku ke lantai. Ken mengawang ke langit-langit. Suasana benar-benar sunyi bermenit-menit lamanya. Kami hanya berdialog dalam kepala masing-masing.

Aku berdehem pelan. "Apa yang terjadi?" tanyaku akhirnya.

Ken menurunkan selimutnya dan mencoba duduk. Ia bersandar ke dinding, kakinya yang panjang selonjoran di atas kasur. Ken terlihat lemah.

"Aku kalah," katanya pelan.

Aku mencoba mengingat-ingat, lalu menebak. "Jadi, siapa yang menang?" tanyaku.

"Richard, kamu masih ingat? Aku pernah bilang padamu bahwa dia saingan terberatku di kompetisi itu," jawabnya dengan nada yang dibuat sebiasa mungkin.

Sekarang aku tahu 'kalah' yang ia maksud.

Aku mencoba mengarahkan wajahku padanya. "Kalah bukan berarti semuanya berakhir, bukan berarti kamu tidak berbakat, hanya saja, ada orang lain yang lebih hebat, yang lebih giat. Kamu harusnya memperbaiki dirimu. Klise memang, tapi itu kata-kata yang kurasa tepat untukmu." Aku mencoba menghiburnya, meski kutahu, cara itu tak pernah berhasil.

SAD WIND [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang