Tujuh. Angin yang Bersedih

377 12 6
                                    

"Kurasa, kalau kamu mau selingkuh, Ren bersedia jadi yang kedua," komentar Shena setelah aku menceritakan kejadian tiga hari yang lalu.

Aku melempar bantal pada Shena. "Aku tidak mungkin selingkuh. Apalagi Ken dan Ren berteman."

Shena memutar bola matanya. "Kalau begitu tinggalkan Ken dan jadian dengan Ren."

Aku menggeleng-geleng sambil merapikan kembali kasur Shena yang berantakan.

"Why? Kalian sudah satu tahun pacaran, dan benar apa yang dikatakan Ren. Ken tidak pernah mencium kamu, berarti sampai sekarang dia belum mencintai kamu!"

"Ken itu beda," kilahku.

"Dia yang beda, atau perasaan dia ke kamu yang beda? Kei, dalam rentang setahun, mustahil seorang laki-laki tidak pernah mencium pacarnya. Kemungkinannya cuma tiga. Dia homo, dia religius, atau dia tidak punya perasaan apa-apa pada pacarnya. Dan aku yakin, Ken bukan kategori pertama ataupun kedua," tegas Shena.

Aku menatap Shena. "Kenapa kamu suka mempertegas hal itu? Sejak awal aku sudah tahu, dan kamu tidak perlu mengingatkanku berulang-ulang."

"Aku begini karena aku peduli, Kei."

"Kamu—"

"Aku tidak mengerti perasaanmu? Atau aku tidak paham karena posisi kita berbeda? Kei, kita sudah bersahabat jauh sebelum kamu mengenal Ken." Shena menghela nafasnya. "Apa kamu tidak ingin bahagia seperti pasangan lain? Apa kamu tidak ingin diperlakukan seperti ratu oleh laki-laki? Apa kamu tidak lelah dijadikan upik abu oleh pacarmu sendiri?"

"Ken tidak sejahat itu!"

"Apa pernah dia mengabulkan permintaan kamu? Kamu memberi dia segalanya, Kei. Tapi dia? Melakukan hal-hal sepele saja tidak becus."

Aku mengambil tas sandangku yang tergeletak di atas meja belajar Shena. "Aku mau pulang," kataku seraya berjalan keluar.

***

"Apa kamu tidak punya kesibukan lain?" tanya Ren saat aku sedang mengaduk susu coklat di dapur.

"Kesibukan apa?"

"Aku jarang melihatmu di kampus. Hei, mahasiswa macam apa yang jarang ke kampus sepertimu."

Aku tertawa. "Kamu menanyakan kuliah pada mahasiswa semester tujuh yang mata kuliahnya tidak pernah gagal dan rajin menyicil SKS di semester pendek, dan sudah seminar proposal?"

"Hei, apa maksudmu?"

"Aku sedang bicara dengan mahasiswa semester tujuh yang mengulang beberapa mata kuliah, dan entah kapan bisa mengerjakan skripsi."

"Dibanding kuliahku, kuliah Ken lebih berantakan."

"Aku sedang bicara denganmu, payah!"

"Pacarmu itu yang payah!"

"Tidak usah bawa-bawa Ken."

Ren menghela nafasnya. "Ah, sudahlah. Ya, kamu memang hebat. Tiga bulan lagi kamu akan wisuda, dan sudah mendapat tawaran pekerjaan."

Aku tersenyum kecil. "Makanya, berhenti memainkan CD Decks dan kuliah saja dengan benar. Kamu harus vakum dari dunia malammu itu, dan pikirkan baik-baik masa depanmu." Aku geleng-geleng pelan. "Aku tidak mengerti kesenangan apa yang kalian dapatkan dari tempat bising seperti itu."

Ren menaruh telapak tangannya di bibirku. "Katakan saja itu pada pacarmu."

Aku menyingkirkan tangannya kesal. "Menyebalkan," desisku.

Ren masih berdiri di sampingku. Ia mengeluarkan cangkir dan bubuk kopi. Mungkin pria itu baru mendapat pencerahan untuk mengerjakan proposalnya yang stagnan di halaman pertama.

SAD WIND [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang