Empat Belas. Pergi.

393 13 3
                                    

"Kamu sudah bangun?"

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Beberapa detik berlalu. Aku kemudian menyadari bahwa ruang yang kutempati bukanlah kamarku. Ada monitor yang berbunyi dan menunjukkan garis zig-zag di samping tempat tidurku.

Aku kemudian melihat Dokter Rusdi yang berdiri di dekatku. Ia terus tersenyum lega, sementara aku mencoba mengingat-ingat.

"Aku seperti, mengalami mimpi yang panjang," kataku pada Dokter Rusdi.

Ia menghusap pelan kepalaku. "Kamu koma selama seminggu," katanya. Lalu ekspresinya berubah sedih. "Katakan, apa yang kamu rasakan sekarang?"

Aku menggeleng. "Entahlah. Banyak hal aneh kurasakan di tubuhku, sulit menjelaskannya." Aku kemudian menatap jari-jariku. "Tubuhku. Rasanya, aku tak punya kendali yang baik pada tubuhku."

"Itu wajar dialami orang yang baru bangun dari koma. Kita bisa melakukan terapi setelah kondisimu membaik." Ia lalu menarik selimut lebih tinggi. "Istirahatlah," katanya sebelum pergi.

"Tunggu," cegahku. Dokter Rusdi berbalik dan berjalan ke arahku. Ia agak menunduk agar bisa mendengarku dengan baik.

"Aku tidak tahu pasti, mimpi seperti apa yang kualami. Sebuah mimpi yang sangat panjang." Aku diam sebentar. "Tapi, aku ingat betul apa yang kurasakan dalam mimpiku. Aku ingin sekali bangun. Aku ingin bangun. Aku terus mengatakan itu dalam hatiku."

Dadaku terasa berat. Mataku bergerak-gerak. Berembun. "Dan, hal yang pertama kali kurasakan saat bangun adalah," aku berhenti sejenak dan menarik nafas, "aku tidak ingin tidur lagi," kataku dengan suara yang serak. "Aku ingin sembuh," kataku pelan.

Dokter Rusdi mengangguk. "Kamu tahu? Selama kamu koma, dia terus berada di sisimu."

"Benarkah?"

"Nanti malam aku kemari lagi," katanya kemudian berjalan keluar. Setelah itu, Ren masuk dan langsung duduk di sampingku.

Tangan Ren merapikan rambutku, lalu berpindah pada jari-jariku, lalu menggenggamnya hangat. "Aku lega saat Dokter Rusdi bilang, kamu sudah berubah pikiran. Apa yang membuatmu ingin sembuh, hm?"

Aku tak menjawab dan hanya melihat Ren. Aku baru saja bangun, dan sulit rasanya menjelaskan hal seperti itu. Pikiranku masih agak linglung.

"Sudahlah, tidak penting alasanmu apa. Yang penting, kamu ingin sembuh, dan takkan menolak pengobatan, kan? Itu artinya, kamu tidak keras kepala lagi, dan jadi pasien penurut."

Aku hanya mengangguk kecil. "Dokter bilang, kamu terus di sini. Bagaimana kuliahmu?" tanyaku penasaran.

Ren menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu tertawa sumbang. "Aku ini jenius. Belum wisuda pun, aku sudah bisa mengelola sebuah perusahaan."

"Percaya dirimu berlebihan."

Ia tertawa, lalu raut wajahnya mulai serius. "Tapi yang kukatakan itu benar." Ia berdehem pelan. "Menurutmu, bagaimana dengan negara Singapura?"

"Ada apa dengan Singapura?" tanyaku bingung.

"Pengobatan di sana lebih bagus, lebih menjanjikan. Dan," Ren berhenti sejenak. "Aku bisa bekerja di sana tanpa ijazah."

Aku memukul lengannya. "Bodoh. Di Indonesia saja susah bekerja tanpa ijazah, apalagi di sana. Kecuali jika kamu mau jadi TKI."

Ren malah tertawa canggung. "Tapi perusahaan ayahku hanya ada di sana."

"Eh?" Aku menatap Ren kaget. Benar juga, selama ini kami tak pernah membahas latar belakang keluarga. Maksudnya, Ren tak suka membahas hal seperti itu. Aku hanya tahu bahwa orangtua Ren bercerai, dan ibunya menetap di Bandung. Aku tak tahu apapun tentang ayahnya.

SAD WIND [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang