Aku bisa melihat ruanganku dari balik jendela itu. Tempat tidur yang biasa kutempati. Dan sebuah kursi di samping ranjang yang sering kosong.
Tiba-tiba aku merasa kosong.
Kurasa satu-satunya kekosongan yang menyakitkan adalah hati.
Sebuah tempat akan terasa sangat lapang dan nyaman bila kosong. Tapi berbeda dengan perasaanku. Rasa kosong yang menyakitkan.
Aku berpikir apakah mungkin semalam—setelah Ren mengetahui keadaanku—ia bertemu dengan Ken, lalu menceritakan semuanya.
Bodoh sekali aku masih berharap Ken mengkhawatirkanku. Dia pasti masih memikirkan Starla.
Ah, Starla. Aku ingin tahu, perempuan seperti apa dia.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya seseorang dari arah belakang.
Aku segera menoleh. Itu Ren. Sudah lama aku tidak melihatnya.
"Ren.." Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Ren memilih duduk di sampingku, bersila di atas rumput. Kami sama-sama memandang lurus ke arah jendela kamarku. Mataku kemudian berpindah pada sebuah pohon rindang yang berada di dekat jendela. Pohon itu yang selalu kulihat setiap pagi, siang, hingga sore. Sampai suster menutup tirai jendela dan aku tak bisa melihat daun-daunnya yang hijau.
"Kamu duduk di sini hanya untuk melihat pohon?" tanya Ren kemudian.
Aku beralih padanya dan tersenyum sungkan. "Bagaimana kabarmu?"
Ren mengernyitkan dahi. "Aku yang seharusnya bertanya seperti itu," katanya ketus.
"Kenapa kamu marah?"
"Jangan pura-pura bodoh!"
Aku menatapnya sebal. "Jangan memarahi orang yang sedang sakit!"
Ren tiba-tiba berdiri dan memelukku. Aku tercengang beberapa saat. Lalu sadar bahwa Ren sedang tak bercanda. Ini tak seperti perdebatan kami sebelumnya.
"Aku marah, benar-benar marah. Tapi aku bukan marah padamu, bodoh."
Ren mempererat pelukannya. "Aku marah pada keadaanmu."
Aku tidak suka jika Ren memelukku. Mengisi rongga yang kosong dan membuang rasa sakit di hatiku. Ia membuatku lupa pada banyak hal ketika aku dalam dekapannya yang hangat. Ia membuatku merasa berada di tempat paling tenang.
"Jangan seperti ini, Ren," kataku seraya mencoba lepas dari dekapannya.
"Kenapa aku tidak boleh memelukmu? Apa kamu masih takut jika Ken akan marah? Dia bahkan sudah tak peduli padamu!" ujar Ren setengah emosi.
Aku sontak mencengkram lengan Ren dan mendongak untuk menatap matanya. "Apa yang kamu maksud dengan tidak peduli?"
Ren memberi jarak agar aku bisa bernafas lebih bebas. Ia kemudian menaruh kedua tangannya di sandaran kursi roda. "Tadi malam aku menemuinya. Aku katakan padanya, bahwa kamu sedang di rumah sakit. Aku mengajaknya ke sini. Tapi kamu tahu apa yang terjadi? Dia melengos begitu saja. Dia bilang sedang buru-buru. Dan kamu tahu, apa urusan pentingnya itu? Starla."
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. "Jadi benar dugaanku, Ken masih berhubungan dengan Starla," kataku, lebih pada diriku sendiri.
Ren menghela nafas. "Tidak. Mereka memang sudah berpisah. Tapi, Ken masih memaksa Starla kembali."
Aku menunduk dan memainkan jari-jariku. "Ren. Bisakah aku bertemu Starla?" kataku seraya masih menunduk.
"Untuk apa?" tanya Ren bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAD WIND [completed]
RomanceAku membuka mataku pelan-pelan. Kutemukan sepasang manik hazel mensejajari manik coklat gelapku. Pelan-pelan ia tersenyum. Matanya masih menatapku sedangkan aku sudah mengerjap beberapa kali. "Apa kamu bahagia?" tanyanya setengah berbisik. Pert...