Sembilan. Luka yang Panjang

339 13 0
                                    

Ken segera merenggut ponselnya dari tanganku. Dia memelototiku dengan kedua matanya yang biasanya sayu. Aku terpojok oleh keangkuhanya. Entah siapa disini yang harus marah, dan siapa yang mestinya merasa salah. Ken membalikkan posisi. Segala kekhawatirannya ia tutupi dengan  bentakan.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu lihat apa di ponselku? Kamu tidak tahu cara menghargai privasi orang lain?!"

Aku berusaha berdiri dari kursi dan menatapnya langsung.

"Orang lain? Menurutmu, bagiku kamu adalah orang lain? Lalu bagimu, aku juga orang lain?" Aku bernafas lebih keras karena dadaku seperti terhimpit. "Perempuan bernama Starla itu.. siapa? Dia bukan orang lain? Dia seseorang yang spesial bagimu?"

Ken berjalan melewatiku, menuju ranjangnya. "Keluar. Aku lelah, ingin istirahat."

Aku menahan lengannya. "Aku tidak akan keluar sampai aku selesai bicara," kataku tegas. Biasanya aku tak seperti ini. Tapi rasa cemburu yang dalam membuatku bicara lebih keras dari biasanya.

Ken berusaha merenggut lengannya tapi aku menahan dengan kedua tanganku dan memintanya berbalik.

"Apa lagi?" tanyanya marah.

Air mataku jatuh satu dua. Ken yang kukenal—sebelumnya—tak sekasar ini. Tatapannya yang semakin tegas membuat amarahku luruh perlahan. Menjadi kesedihan yang membuatku menciut dan kerdil. Aku seperti semut yang merangkak di bawah kakinya. Kecil dan tertatih.

Aku bicara seraya berusaha keras menahan isakanku. "Beruntung sekali perempuan bernama Starla itu. Dia bisa mendapat perhatian darimu. Mendapat ucapan selamat pagi, diingatkan makan siang, dan kalimat-kalimat manis lainnya, yang jarang sekali kuterima darimu. Dia mendapatkan apa yang tak kudapatkan darimu, aku cemburu sekali padanya.." lirihku dengan suara parau. Sungguh, tidak ada nada marah di sana. Aku hanya menangis dan menunduk sedih.

Ken menyapu rambutnya dengan telapak tangan sambil mendesah gusar. Ia lalu menghembuskan nafas berat. "Kamu sudah selesai? Kalau begitu keluar, sekarang!"

Ia menarik lenganku hingga kakiku melangkah terpaksa keluar kamarnya. Ia membanting pintu dengan kasar di depan wajahku.

Aku terduduk di depan pintu yang tertutup. Pandanganku buram dihalangi air mata. Tapi tatapan marah Ken masih membekas di ingatanku. Bayangan itulah yang kulihat di depanku. Membuatku sakit lebih dari seharusnya.

Aku tahu seseorang berjalan mendekat ke arahku dari belakang. Dari aroma mint, aku tahu betul itu Ren. Pria itu duduk tepat di belakangku. Aku bisa merasakan tubuhnya yang hangat pelan-pelan dekat dalam dekap. Kedua lengannya melingkar dan aku bisa melihatnya samar-samar. Ren membenamkan wajahnya di antara rambutku. Sementara aku hanya menangis dan tak bicara apapun.

"Aku mohon, tinggalkan Ren, dan datanglah padaku. Aku mohon, Kei."

Aku hanya menggeleng. Ren tahu ia mengatakan sesuatu yang tak mungkin. Betapapun Ren memperlakukanku lebih baik dari Ken, hatiku tetap tak bisa menyangkal. Rasaku pada Ren sebatas persahabatan.

"Aku tidak ingin kamu menangis lagi karena Ken. Aku ingin melihatmu bahagia. Melihatmu seperti ini, sangat menyakitkan untukku.." bisik Ren di telingaku.

Aku melepas lengan Ren yang terpaut di pinggangku dan berdiri. "Maafkan aku, Ren," ujarku sebelum melangkah meninggalkannya.

***

Aku baru saja menyelesaikan lagu ketiga ketika ponselku berdering. Aku memberi kode dengan tangan kanan pada Marsha yang memanggilku ke mejanya. Aku melihat layar ponsel sekilas, panggilan masuk dari Dokter Rusdi.

"Ini sudah larut, apa tidak apa-apa?" ujarku ragu.

Setelah bicara beberapa menit, aku menutup panggilan dan segera menemui Marsha. Dokter Rusdi memintaku ke Rumah Sakit tempatnya dinas. Dia bilang ada hal penting yang harus kami bicarakan. Aku kira dia akan mengundur pertemuan kami karena acaraku baru selesai jam sebelas malam. Tapi dia bilang akan menungguku. Sepertinya memang ada sesuatu yang sangat penting.

SAD WIND [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang