"Kamu sangat keras kepala," kata Dokter Rusdi yang duduk di sebelah ranjangku.
Kepalaku bergerak lemah ke arahnya. "Bagaimana aku bisa ada di sini?" tanyaku bingung.
Pria paruh baya itu menghela nafas. "Kamu pingsan di minimarket dan pegawai di sana segera memanggil ambulan. Aku kecewa sekali mengetahuimu membeli banyak mi instan."
"Aku kira aku akan pingsan di dalam kamar dan tidak seorang pun menemukanku hingga aku mati," kataku seraya terkekeh.
"Jangan bicara seperti itu!" kata Dokter Rusdi keras. "Apa alasanmu menghindari kemo? Kamu masih punya harapan, harapan yang sangat besar." Ia berkata dengan nada agak marah.
Aku meringis. "Ya, penderita kanker tentu bisa sembuh, bisa sekali. Tapi meski bukan dokter, aku tahu, kesembuhan itu bergantung dari seberapa besar semangat pasien untuk bertahan hidup. Kanker adalah pertarungan pasien dengan tubuhnya sendiri, bukan? Sedangkan aku.." Aku berhenti, mataku mengerjap-ngerjap. Tiba-tiba saja dadaku bergemuruh dan wajahku terasa panas. "Aku.." Suaraku mulai serak. "Aku kehilangan semangat hidup," kataku akhirnya, dibarengi setetes air mata.
Dokter Rusdi tak berkata apa-apa. Ia diam, merenungkan kalimatku beberapa saat. "Aku tahu sejak kecil hidupmu sulit, dan semua itu sangat melelahkan untukmu. Tapi selama ini, Kayla yang kukenal, adalah gadis yang sangat kuat dan bersemangat, gadis yang ceria dan pintar. Kenapa anakku tiba-tiba berubah?"
Aku menatapnya lebih dalam. "Apa Dokter, mau mendengarkanku?"
Ia mengangguk. "Tentu saja. Kamu boleh mengatakan semua yang ingin kamu katakan."
"Aku.." ujarku terbata. Aku mengatur nafasku yang terasa berat. "Aku, aku sudah benar-benar lelah. Aku terlahir sebagai bayi yang tidak diharapkan ibunya. Aku benih yang ditanamkan secara paksa oleh seorang lelaki bajingan ke rahim ibuku. Kehadiranku membuat Ibuku depresi dan memilih mati. Dan pria yang kupanggil ayah, juga memilih mati setelah aku membunuh istrinya. Aku juga mengacaukan keluarga bibiku, lalu keluarga ayah angkatku. Di rumah siapapun aku tinggal, aku selalu jadi penyebab pertengkaran. Aku hidup seperti sampah, semua orang ingin membuangku," luapku sambil susah payah menahan isak. Lalu aku menangis, air mata mengalir begitu saja.
"Aku selalu berusaha jadi orang yang berguna, agar aku tidak diperlakukan seperti sampah. Aku selalu menyanyi untuk menghibur ibu yang suka menangis, tapi dia tidak pernah memuji suaraku. Aku bahkan tidak berani memeluknya karena di matanya aku sangat kotor. Kupikir jika aku rajin membersihkan rumah dan memberi makan kucing peliharaannya, aku akan berguna dan berharga di matanya. Tapi dia tetap membenciku dan memilih mati. Kemudian ayah, meski bukan ayah kandungku, aku sangat mencintainya. Kukira dia tidak membenciku karena dia tak pernah memarahiku. Tapi, aku tak cukup berharga untuk menjadi alasan baginya bertahan hidup. Dia juga memilih mati, karena ibu satu-satunya orang yang dia cintai. Segala yang kulakukan untuknya percuma, menjaganya setiap hari, menyuapinya makan, memamerkan nilai-nilai yang bagus, tak cukup untuk membuatnya mencintaiku. Dia juga meninggalkanku." Aku menangkup wajahku yang tersedu. Semuanya, semuanya yang kupendam ingin kukeluarkan.
Aku lalu menatap Dokter Rusdi perlahan. "Bibiku dan istrimu juga sama saja. Aku membuat makanan dan mencuci piring setiap hari, tapi mereka selalu menuduhku pemalas. Mereka menganggapku parasit, padahal aku ingin diperlakukan seperti anak. Aku menolong orang yang kesulitan, aku ingin dianggap berguna, dijadikan teman, atau seseorang yang berarti bagi mereka. Tapi mereka mengucapkan terima kasih dan melupakanku sesudahnya. Aku merasa seperti botol bekas, sendirian di pinggir jalan, begitu menyedihkan." Aku menghusap air mata di pipiku dengan punggung tangan. Dadaku terasa sakit, sakit sekali. "Bahkan, ketika jatuh cinta pun, aku tak juga beruntung. Aku mencintai seorang pria, memberikan segala yang kupunya untuknya, tapi.." Aku menaruh telapak tangan di dadaku sendiri, menekannya dalam-dalam. Sakit sekali. "Tapi dia juga meninggalkanku. Dia bahkan tak pernah mencintaiku.."
Kemudian tangisku pecah. Aku menangis seperti seorang bayi yang kehilangan botol susu di hadapan ayahku. Aku melepaskan semua rasa sakit menjadi air mata yang jatuh di selimutku. Selimut itu basah, benar-benar basah.
"Aku selalu ditinggalkan, dibuang, oleh orang-orang yang kuharapkan. Sekarang sudah cukup. Mungkin ini cara Tuhan memintaku berhenti. Mungkin Tuhan juga lelah melihatku hidup seperti ini," kataku seraya terisak.
Dokter menepuk bahuku, hati-hati sekali. "Jangan pernah bicara seperti itu," katanya dengan nada pelan.
Aku masih terisak dan sesegukan ketika kucoba mengangkat wajah dan memandang ayah angkatku. "Aku bukan tembikar, aku gelas kaca yang retak dan sangat rapuh. Sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Jadi biarkan aku mati," kataku memohon padanya.
Ia menggeleng lemah, matanya memerah. "Tidak. Tidak akan. Aku menginginkanmu tetap hidup," katanya seraya menggenggam tanganku yang ringkih.
***
Aku memandang daun-daun kering yang hampir jatuh ditiup angin dari balik jendela kamar rawat. Ada pohon yang tumbuh di balik dinding kamarku. Aku tidak tahu itu pohon apa. Tapi daunnya rindang sekali. Sebentar lagi musim hujan, kurasa pohon itu harus bersabar. Karena nanti, ia akan lebih hijau dan segar.
Aku ingat ponselku yang sudah seminggu tidak kunyalakan. Selama dirawat, aku hanya mendengarkan musik dari tape atau membaca buku. Tapi aku lebih banyak tidur karena sekujur tubuhku terasa lemas sekali.
Aku mengambil ponselku yang terletak di meja sebelah ranjang. Saat kunyalakan, yang pertama kulihat adalah fotoku bersama Ken. Aku belum mengganti wallpaper-nya, atau tidak ingin.
Kemudian beberapa pesan masuk berdatangan. Tidak ada satu pesan pun yang ingin kubaca. Selang setengah jam kemudian, ponselku berdering. Muncul nama yang sangat akrab di ingatanku.
Ren menghubungiku.
Dia pasti sedang marah sekali padaku karena menghindarinya dua minggu terakhir. Akhirnya aku memutuskan mengangkat telepon dari Ren. Aku perlu bicara sebentar dengannya agar dia tidak terlalu khawatir.
"Jangan bertingkah sesukamu! Kamu membuatku uring-uringan dua minggu. Kemarin aku ke tempat tinggalmu, tapi mereka bilang kamu sudah seminggu tidak pulang. Kamu dimana sekarang?" Dia berceracau panjang dengan nada marah. Aku menghela nafas sambil memindahkan ponselku ke telinga kiri. Telinga kananku sakit mendengar omelannya.
"Aku sedang bersembunyi. Jangan mencariku, aku baik-baik saja," kataku dengan nada setenang mungkin.
Ren diam sebentar dan yang terdengar hanya bunyi nafasnya yang keras. "Kamu seperti ini karena Ken? Aku benar-benar tidak tahu bahwa Lizzy dan Starla berteman. Aku menyesal sekali membiarkanmu melihat—"
"Cukup, Ren," potongku. "Aku baik-baik saja."
"Jika keadaanmu baik-baik saja, temui aku dan kita bicara."
"Aku tidak ingin bertemu siapapun."
"Termasuk Ken? Kamu tidak ingin bertemu Ken lagi?"
"Dia yang mungkin tak ingin bertemu denganku lagi."
Ren menghembuskan nafasnya keras-keras. "Sebenarnya aku benci melakukan ini, aku tidak ingin kalian bertemu lagi, sungguh. Ken, dia bajingan yang sudah menyakitimu. Tapi, di sisi lain, aku tidak tega." Ia mengehela nafas lagi, lebih keras dari sebelumnya. "Kayla, temuilah Ken. Dia membutuhkanmu sekarang," ujar Ren setengah tak rela.
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku. Tanganku menyentuh warna merah. Sambungan terputus. Aku mematung di tempatku. Di balik jendela, daun-daun kering jatuh ke tanah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SAD WIND [completed]
Roman d'amourAku membuka mataku pelan-pelan. Kutemukan sepasang manik hazel mensejajari manik coklat gelapku. Pelan-pelan ia tersenyum. Matanya masih menatapku sedangkan aku sudah mengerjap beberapa kali. "Apa kamu bahagia?" tanyanya setengah berbisik. Pert...