Lima Belas. After Story

616 26 5
                                    

Satu tahun berlalu.

Aku berjalan sendiri menyusuri tempat-tempat yang—dulu—setiap hari kulalui. Pohon-pohon yang rindang seperti petunjuk jalan menuju sebuah taman yang kecil, namun nyaman dan terawat. Di sana ada ayunan yang berdecit. Hanya ada sepasang. Kau akan merasa kesepian, merasa kurang jika duduk di sana sendirian.

Aku terus berjalan pelan. Mengingat banyak kenangan, yang dulu kiselipkan di tempat terjauh.

Sudah tiga bulan berlalu, meski sulit, tapi akhirnya aku berhasil menyelesaikan urusanku di kampus. Aku bersyukur karena dulu Ren mengurus banyak hal dengan baik. Aku hanya dianggap cuti dua semester, bukan keluar.

Minggu depan aku bisa numpang wisuda dengan angkatan di bawahku. Lucu membayangkannya. Aku sempat putus asa dan berpikir masa depanku berakhir. Tapi Ren bisa membalikkan segalanya. Dia menyelamatkanku dari tempat tergelap, membawaku ke ruang yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Kayla?"

Seseorang memanggil namaku.

Ia membuka helm-nya cepat dan memandangku lekat-lekat. "Kayla? Kamu Kayla?" Ia memastikan berulang kali.

"Y-ya, ini Kayla," kataku tergagap.

Ia masih tak percaya. "Kamu di Indonesia?" tanyanya lagi.

"Y-ya, begitulah." Aku masih tergagap.

***

Sosok Ken tak sempurna hilang, tentu saja. Satu tahun di Singapura tak berarti memoriku tentang Ken lenyap. Terlebih benda itu selalu kusimpan, kutaruh di dompet, dan kubawa kemana-mana.

Lucu juga. Aku selalu bilang bahwa aku akan membuangnya jika aku menemukan sungai atau tong sampah. Tapi setiap kali sampai di rumah, benda itu kutemukan lagi. Aku tak pernah berhasil membuangnya. Akhirnya kuputuskan menyimpannya.

Sesuatu dalam hati kecilku percaya, suatu saat aku akan bertemu Ken, dan saat itulah benda itu bisa kulepas. Ketika aku mengembalikannya.

Ya, mengembalikannya.

Aku mengulum senyum. Apakah benda itu yang memanggil Ken? Konyol.

"Sejak kapan?" tanya Ken memecah lamunanku.

Aku menggerakkan ayunan pelan. Sementara Ken hanya duduk dan membiarkan ayunannya diam. "Sudah tiga bulan," jawabku.

Aku dan Ken lost contact. Ketika sampai di Indonesia, aku tak pernah berniat mencarinya, atau mengabarinya. Tak kusangka Ken masih tinggal di daerah ini. Itu artinya dia tak kemana-mana setahun belakangan.

"Ada urusan apa?" tanyanya lagi. Kami seperti orang jauh, asing, atau malah baru kenal.

"Menyelesaikan skripsi," jawabku kemudian. "Aku akan wisuda minggu depan. Datang, ya," kataku basa-basi.

Ken bergumam pelan. "Tiga bulan, berarti sudah cukup lama. Tapi aku baru melihatmu hari ini," katanya kemudian. "Jika sempat, aku akan datang."

Ia lalu tampak bimbang. "Kamu, terlihat lebih sehat. Sudah sembuh?" tanyanya hati-hati.

Aku mengangguk. "Tapi aku masih harus cek tiap bulan. Dan belum sepenuhnya lepas dari obat."

"Rumah sakit di Singapura memang bagus," kata Ken sambil tertawa pelan.

Aku hanya mengangguk kecil.

"Bagaimana kabar Ren? Apa kamu ke sini dengannya?"

Aku mendongak. "Dia sehat. Ren sangat sibuk, jadi tidak bisa menemaniku."

"Lalu, kamu tinggal di mana selama di Indonesia?"

"Pembimbingku memintaku tinggal di rumahnya."

SAD WIND [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang