15* THANKS, SANDI

2K 120 0
                                    

"Gue perjuangin dia
tapi dia malah perjuangin orang lain."

*****************

Tidak terasa bel berbunyi lagi, menandakan jam istirahat dimulai. Memang lega rasanya mendengar suara benda itu, apalagi pelajaran fisika tadi cukup menguras otak.

"Syan, gue ke kantinnya duluan, ya!" Ucap Rafael buru-buru.

"Mm,, iya iya."

Sudah pasti dirinya tidak sabar ingin bertemu dengan pacar barunya, siapa lagi kalo bukan Raissa Aprilia.

Rafael sudah pergi, begitu pun siswa yang lainnya. Tinggal Sandi yang terlihat masih sibuk membaca sebuah buku bersampul coklat alias buku catatannya. Bisa dianggap ia adalah anak rajin, nilainya saja selalu berada di atasku.

"Sandi, lo nggak istirahat?" Tanyaku menghadap ke mejanya.

"Gue lagi mager, nih. Lagian abis ini kan ada ulangan. Jadi gue mau baca-baca aja dulu." jawabnya sambil membalikkan halaman berikutnya. Dia sangat serius. Omonganku saja, hanya dijawab sekilas.

"Kenapa nggak diluar aja? Kalo disini nanti lo sendirian."

"Udah lah, San. Dengerin apa kata Syanin, tuh. Mendingan lo diluar aja baca bukunya. Nanti kalo lo sendirian di kelas, bakalan disangka maling, deh." Sahut Nasya.

"Hufft, iyadeh gue keluar. Demi paksaan dua gadis yang ada dihadapan gue ini, gue akan istirahat di luar. Puas kalian?" Timpalnya mengundang tawa kami berdua.

"Nah gitu dong!"

Aku, Nasya, dan Sandi pun beranjak meninggalkan kelas. Berniat duduk di bangku kantin, tapi itu semua gagal. Yaps, tidak ada satu meja pun yang kosong, penuh semua. Mungkin ini adalah hari sial kami bertiga.

"Tuh kan, feeling gue bener. Mendingan tadi di kelas aja, daripada disini kita nggak bisa duduk!" KeluhSandi.

"Yaudah mending gini aja, kita duduk disitu aja, tuh!" Usul Nasya sambil menunjuk bangku panjang dekat pohon nangka.

"Kalian kesana duluan, biar gue yang beli makanannya. Kali ini gue yang traktir deh." Sambungnya lagi.

"Yes! Akhirnya gue nggak bikin dompet tipis hari ini." Ucap Sandi girang. Dasar Sandi!

"Yaudah yuk, kesana!" Kataku menyudahi.

Aku dan Sandi pun melangkah kesitu. Sambil menunggu Nasya memesan makanan, kami berdua bercakap-cakap sebentar.

"Eh, tumben tuh, si Rafael nggak bareng kita? Kemana sih dia?" Tanya Sandi tiba-tiba.

"Ngapain lo nanya-nanyain Rafael? Ih, nggak nyangka ya, gue kira lo itu cowok normal. Hahaha." Niatku hanya bercanda, tapi Sandi selalu saja menganggapnya serius.

"Lo fikir gue LGBT? Yakali gue suka sama Rafael. Kan nggak mungkin banget!" Balas Sandi sambil memasang wajah merengut.

"Hah, masa sih? Mana buktinya?" Tanyaku meledeknya.

"Yaa, buktinya gue lagi suka sama someone."

"Nah, someone lo itu, cewek atau cowok nih yang bener?" Dan lagi-lagi aku meledeknya.

Seketika itu, pandangannya menyorot mataku. Aku jadi tidak suka tatapannya. Dua detik kemudian dia menghembuskan nafas dan mengalihkan penglihatannya. Dia tidak menatapku lagi. Sandi mengusap wajahnya secara asal seraya menjawab.

"Ya, cewek lah. Gue perjuangin dia, tapi dia malah perjuangin orang lain."

Siapa yang ia perjuangkan? Kenapa wanita itu malah memperjuangkan orang lain? Apa itu aku?

Kalimatnya barusan membuat suasana menjadi hening. Iseng, ku tendang saja batu kerikil yang ada di dekat sepatuku. Aku jadi tidak bersemangat lagi berbicara. Mungkin Sandi juga.

Lalu, tiba-tiba Nasya datang membawa nampan berisi tiga piring nasi goreng lengkap dengan es teh sebagai minumannya.

"Ya ampun, Nas. Repot-repot banget sih? Tumben lo traktir kita?" Sahut Sandi sembari mengambil bagiannya.

"Nggak papa lah, sekali-kali sama temen. Kebetulan gue abis dapet bonus uang jajan nih dari bokap gue." Jelas Nasya.

"Makasih ya, Nas. Lain kali boleh tuh traktir lagi. Hehehe." Rayu Sandi.

"Sans aja, kok."

Sembari menikmati traktiran, kami saling bercerita. Bercerita yang mengundang tawa. Terutama Sandi, dia yang paling sering berbicara. Tak ada satu pun leluconnya yang tidak lucu, alias semuanya lucu. Padahal baru beberapa bulan kita bertiga berteman, ternyata sudah sampai sedekat ini.

"Eh, tadi di kantin gue liat Raissa sama Rafael berduaan mulu, deh. Pas gue tawarin gabung disini, mereka malah nggak mau. Sebenernya mereka itu pacaran nggak, sih?" Tanya Nasya kepo.

Aku tertohok. Hampir saja nasi yang aku makan itu keluar dari mulut. Aku harus jawab mulai darimana?

"Hm, mereka emang pacaran." Jelasku.

"Hah?! Sejak kapan?" Tanya Nasya kaget.

"Se-Jakarta belom tau Nas. Hehehe." Cerocos Sandi.

"Ish, gue nanya serius juga." Dan Nasya pun kesal.

"Mereka baru jadian kemaren. Makanya begitu." Tuturku.

"Oh gitu." Katanya sambil mengangguk paham.

"Ahh udah lah, nggak usah diurusin. Mereka jadian juga nggak nyusahin kita, kan? Santai aja kali."

What?! Dia bilang nggak nyusahin? Lalu kemarin aku menangis kejar karena apa? Tapi setelah ia berkata seperti itu, hatiku merasa di semangati.

...

"Boleh tuh pajak jadiannya. Hehehe." Ledekan Sandi terdengar ditelingaku. Jelas, tujuannya itu Rafael.

"Kalo soal itu, tenang aja, bro. Kapan-kapan juga gue kasih. Eh, ngomong-ngomong lo tau darimana gue jadian?" Balas Rafael.

"Siapa lagi kalo bukan sahabat cewek lo. Tuh si Syanin yang ngasih tau." Tiba-tiba Sandi melirikku.

Tidak ada jawaban lagi. Kelas juga sudah sepi. Tinggal aku yang masih memasukkan beberapa buku ke dalam tas. Rafael dan Nasya juga sudah hilang dari pandangan. Teman-teman yang lain pun sama.

"Woy! Lama banget sih beresinnya? Perlu gue bantuin?" Suara Sandi memecah keheningan kelas. Aku tersentak dan baru sadar kalau dirinya masih berada disini. Sekarang dia ada di hadapanku.

"Tunggu bentar, sih? Gue nggak perlu dibantu kok." Gerutuku sambil memasukkan benda terakhir.

"Gue itung sampe tiga detik. Kalo nggak selesai, gue cabut duluan. Satu, dua, ti, -"

"Ini gue udah selesai, elah!" Bentakku geram.

"Nah, gitu dong. Ayo buruan ke parkiran. Kalo disini terus, nanti kita dikira abis ngapain. Hih, nggak mau sih gue."

"Lo tuh ya-"

Seketika dia menyentuh bibirku lagi. Sudah yang kedua kalinya. Jantung ini seperti berhenti.

"Ssst, lo jangan teriak-teriak. Nanti gue disangka, hm, eh gue nggak jadi ngomong, deh."

Jari telunjuk yang tadinya menempel di bibirku, akhirnya lepas juga. Langsung saja ku beranjak pergi meninggalkannya dalam keadaan mematung di tempat. 

*****************

Next part : THANKS, SANDI (2)
Point penting nya ada di next part yaa

read+vote(kalobisakomen)
Jan bosen okeeeh?

26 Desember 2016

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang