30* MENGERTILAH

1.4K 101 3
                                    


"Buat dia percaya kalo lo beneran jatuh cinta sama dia."

*****************

Malam sudah bersemi.

Aku masih terdiam di dalam kamar. Memegang mawar cantik pemberian Rafael. Sambil mengetuk-ngetukan ke daguku.

Besok gue berangkat ke sekolah sama siapa ya?

Pertanyaan itu masih saja uring-uringan dikepalaku. Ingin menanyakan kabar Sandi pun, rasanya tidak mungkin. Membekas sekali ingatanku tentang dirinya tadi siang, bersama orang yang dulu ia sayang. Bagaimana bisa? Sandi yang kakinya sulit berjalan, bisa pergi ke mall seperti itu. Pikirku, tidak lain dan tidak bukan, penyebabnya adalah Via. Dia pasti memaksanya.

Akhirnya, ku sentuh layar ponsel, berniat menelepon Nasya.

Dan Nasya pun mengangkatnya.

"Halo, Nas!"

"Iya, kenapa Syan?"

"Gue besok berangkat sekolah bareng lo aja, ya? Boleh nggak?"

"Boleh kok. Eh tapi kok tumben, biasanya bareng Sandi?"

"Kan lo tau si Sandi kakinya belum sembuh total. Dan gue nggak mungkin berangkat bareng OOTG lagi."

"Oh iya, gue lupa. Yaudah deh. Nanti shareloc aja?"

"Iyaiya, makasih, Nas!"

-tut-

Perasaan lega menyelimutiku kali ini. Kenapa aku tidak telepon Nasya dari kemarin?

...

Kami tidak saling tatap ataupun berbicara sepatah kata pun di meja makan ini. Semakin hari, rumah rasanya semakin hanyut dalam kesunyian.

Ditambah lagi, suhu yang cukup rendah di malam ini membuatku menggunakan kardigan tebal.

"Syanin, besok lo berangkat sama siapa?" Ucap Raissa yang pertama kali membuka mulut.

"Sama Nasya."

Ku lihat, Raissa hanya mengangguk sambil mengunyah makanannya.

"Pah, Mah. Hari ini jadi kan bikin dekorasi ulang tahun Raissa?"

Sontak aku pun mengangkat kepala.

"Jadi kok, Rai. Hari ini Papa aja yang berangkat ke kantor. Mama ngambil cuti buat ngurus dekornya juga." Jelas Mama dengan yakin. Matanya terus saja menatap Raissa.

"Makasih ya, Ma, Pa. Raissa seneng banget. Baru kali ini ulang tahun Raissa dirayain, mewah lagi." Kata Raissa berterima kasih.

"Jangan lupa undangannya dibagiin ke temen-temen kamu." Suruh Papa mengingatkan. Raissa mengangguk lagi.

Aneh sekali. Padahal Raissa yang memang sudah jelas hanyalah anak angkat Mama dan Papa, malah dia yang diperlakukan layaknya seorang anak kandung. Sedangkan aku? Diajak bicara saat suasana ini pun, tidak.

Entah siapa yang jahat disini? Hanya saja, aku merasa ingin menjatuhkan air mata lagi. Tapi itu rasanya mustahil. Menangisi hal yang sudah biasa aku tangisi.

...

"Syan, emangnya Rafael beneran mau ke Bandung?" Tanya Raissa saat aku sedang mengikat sepatu di sofa.

"Bener kok. Lo nggak percaya sama dia?"

"Percaya sih. Tapi, kok tepat banget sama ultah gue. Jadi nggak dapet surprise deh dari Rafa!" Keluhnya sesaat kemudian.

"Rafael nggak mungkin sejahat itu. Dia ninggalin lo juga karena hal penting. Lo bisa kan, sekali ini aja ngertiin dia? Dia lagi sibuk mikir, gimana caranya biar galeri itu bisa maju. Museum galeri itu udah jadi impian dia dari dulu." Jelasku secara rinci terhadap Raissa. Dia terpaku mendengarkan ucapan yang harus dimengerti ini.

"Selama ini, lo yang selalu dingertiin sama dia. Lo yang selalu di nomor satukan sama dia. Lo yang selalu jadi alesan dia senyum setiap hari. Dan sekarang, lo harus bisa gantiin posisi dia. Buat dia percaya kalo lo beneran jatuh cinta sama dia. Tolong ngertiin Rafael. Itu aja." Kali ini ku panjangkan omongan. Aku ingin Raissa sadar.

"Iya, Syan. Gue bisa ngertiin dia, kok. Asal lo tau aja ya, Syan. Gue beneran jatuh cinta sama dia. Nggak ada niat apapun lagi selain pengen milikin dia seutuhnya. Kalo kalian semua anggep gue nggak peduli sama Rafael, itu salah. Gue tulus sama Rafael." Ungkap Raissa.

Kalo emang bener lo tulus sama dia, tapi kenapa lo nggak ada disaat dia butuh?

Mulutku seakan terkunci. Tidak bisa berbicara sepatah katapun lagi. Ucapan Raissa makin membuat aku hancur. Begitu ia ucapkan kata "tulus" dengan Rafael, rasanya seperti tidak etis. Apa yang dikatakannya, seperti tidak sesuai dengan apa yang selama ini ia lakukan untuk Rafael.

Aku dan Raissa sama-sama sedang duduk di sofa ruang tamu. Jam masih menunjukkan pukul enam kurang. Itu berarti, masih ada waktu buat sekedar berbincang-bincang.

Kami tidak saling menatap. Pandangan kami lurus ke arah depan. Fikiranku seakan penuh dengan ucapan-ucapan yang sedari tadi dibeberkan. Entah dengan Raissa. Mungkin ia juga sedang berfikir.

"Gue akan pegang omongan lo." Kataku tiba-tiba memecah keheningan sekaligus berniat menyudahi.

Baru saja ingin beranjak, tiba-tiba Raissa menarik tanganku. Aku terkesiap.

"Syanin, kenapa lo sebegitu pengennya, kalo gue harus bisa ngertiin Rafael?" Pertanyaannya semakin membuat darahku berdesir. Keringat yang menjulur di punggungku sudah membasahi sebagian seragam SMA ini. Aku bingung harus jawab apa, dan bagaimana?

"Karena gue, gue sahabatnya Rafael." Jawabku patah-patah.

Kelu sekali mengucapkan hal itu. Padahal jauh di dalam sini ada hati yang memberontak mengeluarkan kalimat alibi tadi. Aku tidak benar-benar menganggap bahwa aku hanya sahabat dari Rafael. Yang aku inginkan adalah lebih dari itu.

Apa yang salah?

"Gue bakal berusaha bikin sahabat gue bahagia sama pilihannya. Maka dari itu, laksanain perintah gue. Sekali lagi, tolong ngertiin Rafael." Pintaku sekali lagi pada Raissa. Getir sekali mengucapkannya.

Ku usahakan agar air di pelupuk mata ini tidak tumpah. Aku sudah cukup lelah dengan semuanya. Tidak mungkin ku menangis di hadapan Raissa.

"Makasih ya, Syanin."

Sontak, Raissa memelukku. Justru dia yang banjir air mata. Lalu ku balas pelukannya itu.

"Gue nggak bisa bayangin kalo lo nggak ada di samping gue, Syan. Pasti gue nggak akan sadar. Gue pengen lo jadi sahabat gue selamanya." Pintanya sambil sesenggukan di bahuku. Habis sudah seragamku jadi korban.

Permintaan Raissa yang sangat berharga, yaitu menjadi 'sahabatku selamanya'. Aku akan turuti kemauannya. Tapi jika ia selalu menyakitiku setiap kali, apa aku sanggup melaksakan permintaannya itu?

Aku hanya mengangguk. Padahal jawabanku belum tentu iya.

"Sayang, itu temen kamu udah nungguin diluar. Eh, Raissa kamu nangis?" Suara Mama mengejutkan kami berdua.

Raissa segera mengelap sisa air di pipinya. Aku pun juga bersikap biasa saja.

"Nggak papa kok, Mah. Raissa berangkat dulu, ya. Syanin, gue duluan." Pamitnya terakhir kali.

Raissa sudah pergi keluar.

"Syanin berangkat juga ya, Mah!" Pamitku sambil mencium punggung tangan Mama. "Assalamualaikum."

******************

Ga nyangka, udah yg ke30 aja (oping terhura 😭)
Sumpah part ini pendek banget, yakan?
Tapi harap santai, opings bakal kembali bersama syanin dkk

Read+vote 
Maaf jika typo berkepanjangan

11 Februari 2017


SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang