7* HANYA DIRINYA

2.7K 158 1
                                    

"Niat gue mau jagain lo. Gue cuman pengen lo aman."

*****************

"Ciee, tadi bareng Sandi yaa?" Ledek Raissa saat aku baru saja menduduki kursi kantin.

"Ih, apaan sih lo!"

"Eh, tapi nggak papa kali. Mumpung ada yang perhatian, hehehe." Raissa meledek lagi. Kali ini dia makin membuatku geram.

"Nggak papa apanya? Dia tuh bikin gue malu. Kalo satu sekolah nge-gosipin gue sama dia gimana?"

Dan kali ini juga, aku menjadi hiperbola.

"Yaelah, kayak gitu aja dipikirin. Eh, tapi gue pikir-pikir, lo cocok loh sama Sandi." Lanjut Raissa lagi disusul dengan tawanya.

"RAISSA!!!" Saking kesalnya, aku langsung mencubit pipinya cukup keras.

"Aduh,Syan! Sakit tau!"

Aku melepas cubitannya. Dia pun menghembuskan nafasnya pelan.

"Ngomong-ngomong, kok gue baru tau kalo Sandi sekolah disini? Dan bisa-bisanya dia satu kelas sama gue!" Keluhku.

"Gue sih udah tau dari dulu kalo Sandi itu sekolah disini. Cuma, gue nggak mau ngasih tau ke elo aja. Takutnya lo malah makin benci sama dia."

Kita saling menunduk. Benar juga katanya. Daripada aku tahu bahwa sebelumnya Sandi sekolah disini, yang ada malah rasa benci ini makin bertambah.

"Oh, iya satu lagi. Di dunia ini gak ada yang kebetulan. Soal lo sekarang ketemu Sandi lagi, itu semua takdir. Yang lebih parahnya lagi,dia mulai perhatian sama lo. Bisa jadi, Sandi itu kena KARMA! Alias dia bakalan ngejer lo, Syanin." Celetuk Raissa membuatku beranggapan sama. Apa yang dikatakannya itu benar?

Musnah sudah semua kenanganku bersama Sandi waktu itu. Tidak ada harapan lagi untukku. Aku sudah benar-benar berhenti mengejarnya. Dan sekarang aku rasa, aku membencinya.

Kami berdua saling diam. Memilih fokus pada makanan masing-masing. Raissa berbalik menuju salah satu kantin. Tak sengaja ponselnya ditinggal di meja.

Penasaran. Ingin sekali aku melihat isi ponsel itu. Entah feeling darimana, ada sesuatu yang harus aku tahu. Dengan cepat aku meraih benda itu. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu password ponselnya. Kami berdua memang saling memberitahu satu sama lain. Setelah itu, mataku langsung melebar. Betapa tidak, ternyata selama ini Raissa sering chat dengan Rafael.

Banyak sekali riwayat obrolan mereka berdua. Jari ini tidak henti-hentinya men-scroll layar kaca ini. Mataku pun bolak-balik melirik kata demi kata. Aku membacanya tidak terlalu detail, tapi aku tahu intinya. Sabtu malam,Rafael akan mengajak Raissa ke sesuatu tempat, lebih tepatnya cafe. Dan yang menyakitkan, Raissa menerimanya.

Segera aku letakkan ponselnya ke posisi semula. Disaat yang sama, Raissa kembali menuju meja ini. Beruntung saja Raissa tidak mengetahuinya. Tidak nampak curiga di wajahnya.

Pagi itu, sengaja kami memilih istirahat hanya berdua. Tidak ada Nasya, Rafael, apalagi Sandi.

Terlepas dari soal Rafael, aku masih termenung atas apa yang Raissa bicara tadi. Kalau Sandi benar-benar mengejarku gimana? Bukan dia yang selama ini aku harapkan. Hati ini harus berjuang untuk siapa?

...

Pagi menjelang siang. Seluruh siswa pulang lebih awal. Hari ini aku malas untuk pulang. Karena Sandi berjanji akan mengantarku sampai rumah.

"Syan, ayo pulang!" Ajak Sandi.

"Gue belum mau pulang. Gue mau disini dulu. Kalo lo mau duluan, duluan aja sana!"

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang