20* WHY?

1.9K 111 1
                                    

Kata tanya yang paling berwarna adalah "KENAPA?"

*****************

"Kurang ajar lo berdua! Pake ninggalin gue sendirian di kantin lagi. Kalian nggak tau apa? BETAPA TERHINANYA GUE DISANA YANG CUMA BISA JADI NYAMUK!" Seisi kelas memperhatikan celoteh Sandi yang sedang mengomel. Wajah kesalnya malah menimbulkan suara tawa di ruangan itu.

Kelas tidak terlalu ramai. Dikarenakan jam istirahat belum usai. Ada beberapa murid yang lebih memilih duduk dibangku mereka masing-masing.

"Loh kok, nyalahin kita? Lo udah tau jomblo, masih aja hadir di tengah-tengah orang pacaran." Nasya menyindir terlalu sadis, tapi apa boleh buat. Semua yang Nasya katakan, memang fakta.

Sandi tidak membalas sepatah katapun. Dia masih mendengus kesal, karena ulah kedua temannya ini. Eh ralat, yang satu temannya dan yang satu lagi pujaan hatinya.

Syanin duduk di tempatnya serta menggelengkan kepala, mengingat ekspresi Sandi yang se-lebay itu. Sesekali ia melirik ke arah Sandi dengan kekehan kecil.

Disaat Syanin menengok ke arahnya, Sandi merasakan ada sesuatu di mata Syanin. Ada kesedihan di dalam sana.

"Mata lo merah, abis nangis lo, ya?" Sontak Syanin terkejut atas tuduhan Sandi.

Syanin hanya diam. Dia mengalihkan pandangannya ke halaman kosong berwarna putih dan bergaris. Terpegang pulpen hijau ditangannya. Lebih baik ia lakukan hal lain yang membuat Sandi lupa akan pertanyaannya. Syanin tidak ingin Sandi menebak-nebak pikirannya lagi.

"Oh jadi lo nggak mau ngaku? Berarti yang gue tanya tadi, bener dong? Lo abis nangis!" Lagi-lagi Sandi terdengar seperti mengancam. Syanin lebih memilih diam. Sama sekali tidak berkutik.

Setelah itu, tidak ada kalimat lain yang terucap lagi. Sandi berubah haluan menuju RPAL nya. Meskipun buku sudah ada digenggamannya, tapi fikiran itu masih melayang-layang dikepalanya. Seakan ia tahu apa yang disembunyikan Syanin. Yang Sandi tahu, ini semua ada hubungannya dengan Rafael.

...

"Gue ada rapat OSIS hari ini. Kalian duluan aja ke rumah gue." Suruh Rafael.

"Ah, gue mendingan nunggu disini aja, deh. Daripada nunggu di rumah lo, nanti lo nya lama." Keluh Sandi yang dijawab anggukan Nasya dan Syanin.

"Yaudah terserah kalian, gue nggak tau rapatnya bakalan lama atau enggak." Rafael menyudahi, ia segera berlari menuju ruang kerjanya itu.

Sementara mereka bertiga masih bingung. Bingung akan apa yang mereka lakukan untuk mengusir rasa bosan.

"Kita mau ngapain ya, biar kesannya nggak lama nunggu Rafael kelar rapat." Ujar Sandi sambil menggaruk kepalanya.

"Gimana kalo kita ke perpus aja. Sekalian kita cari tuh buku-buku tentang pendirian galeri." Usul Nasya disetujui keduanya.

Perpustakaan tidak terlalu ramai. Jadi, mereka akan lebih leluasa memilih tempat duduk yang paling nyaman. Nasya duduk dekat jendela, sedangkan Syanin memilih duduk di meja tengah ruangan. Buku sudah tersedia di tangan mereka, kecuali Sandi. Ia masih saja mondar-mandir mencari tujuannya. Semua rak pun, sudah ia kunjungi. Tapi belum satu buku pun yang ia ambil.

Syanin tengah sibuk membaca bukunya kata per kata, tiba-tiba ada suara yang membuatnya terlonjak kaget.

"Tumben lo duduk disini?" Yaps, itu Sandi.

Syanin hanya bergidik dan mengacuhkan omongan Sandi. Bola matanya memutar seakan bosan dengan sikap lelaki itu yang kadang terlalu over.

"Nah, seharusnya gue yang nanya begitu, lo ngapain duduk disini? Perpus kan luas, lo bisa duduk disitu, disana, dipojok, dipinggir, lesehan juga boleh. Lagian, hari ini perpus lagi sepi pengunjung. Dan kenapa lo harus duduk di samping gue?" Alis Sandi terangkat sebelah, mendengar Syanin sudah panjang lebar berceloteh.

"Terrserah gue, dong, mau duduk dimana! Emang ini perpus punya lo? Lo nggak berhak ya, ngatur-ngatur posisi gue! Dan kursi ini, adalah kursi yang selalu gue tempatin, plus meja ini yang menjadi saksi bahwa gue adalah pelanggan setia perpus yang selalu duduk disini. So, gue nggak salah, kan?" Mulut Syanin menganga setelah melihat sekaligus mendengar ocehan Sandi yang melebihi dirinya.

"Terserah!" Acuh Syanin.

"Dasar pelit, ngomong aja iritnya kebangetan." Sandi membalasnya dengan tatapan malas. Tapi, Syanin tidak menghiraukannya. Kini, mereka fokus terhadap bacaan masing-masing.

Hening.

Sudah 15 menit berlalu, belum ada tanda-tanda Rafael muncul. Pengunjung perpus pun enyah satu persatu. Disana hanya ada tiga remaja itu, beserta satu penjaga perpus.

Saat sehening ini, tidak ada satu suara yang terdengar. Bahkan hembusan nafas pun jarang sekali berirama. Hanya ada suara kertas yang dibalik halaman demi halaman. Selebihnya, nihil.

Syanin menutup bukunya. Kemudian, ia menghela nafasnya pelan. Gadis itu melirik ke arah cowok berjaket biru tua itu dengan tatapan serius.

Dari samping, Sandi keliatan banget jeniusnya. Gue kira, setiap cowok yang kutu buku bakalan pake kacamata. Tapi gue salah. Gue nggak pernah ngeliat dia pake kacamata. Kalo gue tatap dia kayak gini, dia sadar nggak, ya?

Syanin bergulat dengan fikirannya sendiri.

Syanin membayangkan, benda plastik berlensa itu menempel di hidungnya. Bukan tidak mungkin jika Sandi akan terlihat lebih cool.

"Kenapa lo ngeliatin gue mulu? Kangen?" Sandi itu memang ge-er.

Syanin mendengus kesal. Ia berharap ini adalah sebuah lelucon yang tidak berarti.

"Eh, katanya Rafael udah selesai rapat nih. Yuk keluar!" tiba-tiba saja Nasya muncul. Suasana tegang tadi, seketika mengendur.

Ketiga remaja itu keluar dari ruangan ber-AC tersebut. Tepat ketika Sandi membuka pintu, Rafael sudah hadir dihadapan. Ternyata Rafael sudah lebih dulu sampai menyusul mereka.

"Yaudah yuk, kita langsung aja!" Jawab Rafael mengalihkan.

Mereka berjalan menyusuri koridor yang cukup sepi itu. Syanin dan Nasya berjalan beriringan tepat dibelakang Rafael dan Sandi.

Sedari tadi, Sandi merasa ada yang aneh pada Rafael. Gaya berjalannya saja terlihat agak sempoyongan. Sandi mengernyit bingung. Ini semakin membuatnya penasaran. Bukan Sandi namanya, jika ia tidak bisa frontal ke siapa pun.

"Raf, muka lo kok pucet? Lo sakit?" Tanya Sandi yang memang dari awal memperhatikan wajah lemas Rafael.

"Makanya Raf, banyakin istirahat. Lo kan ketua OSIS yang punya tugas se- abrek. " Timpal Nasya menasihati sepupunya.

Sampai di parkiran, Rafael merogoh sakunya berniat mengambil kunci motor. Konsennya berkurang, sehingga Rafael tidak sadar kunci tersebut jatuh menyentuh aspal.

"Raf, itu kunci motor lo jatoh!" Sahut Sandi dari belakang.

Rafael menengok dengan tatapan bingung. Segera Syanin menggaet benda itu dan langsung memberikannya pada Rafael.

"Raf, mending lo naik mobil sama gue aja. Lo nggak mungkin bawa motor sendiri." Suruh Nasya dijawab dengan anggukan Rafael.

Rafael kenapa? Gue nggak pernah liat dia selemah ini.

Batin Syanin berbisik sendiri. 

*****************

Sorry tlat apdet
Gue sekarang susah nyisain waktu antara nulis & belajar (biar kaya anak rajin wkwk)
Jan prnh bosen sm SILENT pokoknya! :v
Maaf jika typo bertebaran
Read + vote (kalobisakomen)

6 Januari 2017


SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang