34* OFFERING

1.4K 83 0
                                    

Mobil Via menepi. Salah satu alasannya adalah ia ingin membalas pesan Renata, atau bahkan meneleponnya.

Daripada lama-lama mengetik, lebih baik ia memencet tombol panggilan, berniat menelepon Renata melalui aplikasi line.

Sevia.C.Nirina is calling...

Renata menatap ponselnya dan terkejut. Kenapa Via harus meneleponnya? Bukankah Renata sudah mengirim pesan yang sudah jelas?

Setelah melalui fikir panjang, Renata akhirnya memilih mengangkat panggilan Via.

"Halo, Via! Kenapa lo nelfon gue? Bukannya udah gue suruh lo dateng ke tempat yang gue mau?"

"Atas dasar apa lo nyuruh gue? Lo siapa?"

"Masa lo ngak tau gue sih? Gue itu ketua geng ter-"

Ucapan Renata terpotong.

"Gue nggak mau tau soal itu. Yang gue mau tau, ada urusan apa sama gue?"

"Lo tinggal dateng aja kenapa sih? Ada hal yang pengen gue jelasin. Sekarang!"

-tut-

Via langsung menutup panggilan secara sepihak. Perasaannya masih bingung. Jika ia datang, ia pasti kedengarannya seperti orang bodoh karena menuruti perintah orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengannya. Tapi jika ia tidak datang, maka rasa penasarannya tidak akan terbayar.

Maka Via memutuskan pergi menemui Renata.

Lalu mesin mobilnya dinyalakan lagi. Setelah itu mobilnya meluncur dengan cepat.

...

"Gue rasa, dia nggak bakal dateng kesini deh, Ren!" Ujar Vania meramal.

"Kita tunggu sebentar lagi. Siapa tau dia dateng." Balas Renata dengan tenang.

"Eh, Ren! Kita cuma bertiga doang? Raissa nggak diajak?" Sinta bersuara. Benar saja, Raissa memang tidak hadir di tengah-tengah mereka.

"Gue sengaja nggak ngajak dia." Kata Renata singkat.

Vania mendengus pelan. Sinta pun juga. Mereka berdua masih bingung dengan sikap pentolannya ini. Mengapa Renata begitu keukeuh mengajak Via bergabung dengan OOTG? Toh, alasannya saja hanya karena dengan Via masuk grup ini, geng OOTG akan aman dari ancaman guru BP karena ibunya Via adalag Bu Fedrika.

Ketiga remaja itu masih setia menduduki kursi besi cafe. Sampai tiga gelas milkshake milik mereka sudah tidak sedingin tadi. Sudah sekitar 15 menit lebih, orang yang ditunggu-tunggu belum datang. Tulang duduk mereka sudah terlalu lama menopang tubuh. Sehingga rasa pegal dan hasrat mengantuk pun menyerang ketiganya.

"Tuh orang kapan datengnya, sih? Lamz deh ih! Ck!" Sinta mendumel. Sesekali mulutnya menguap karena sulit menahan kantuk.

"Coba orangnya ditelfon lagi deh, Ren! Biar semuanya pasti!" Usul Vania dalam keadaan earphone menyumbat saluran auditorinya.

Renata pun berpikir hal yang sama dengan Vania. Ia menggeser layar ponselnya lagi, menelepon Via lagi.

-tut-

Panggilan dimatikan oleh Via.

Renata menautkan alis. Kenapa panggilan darinya dimatikan begitu cepat?

Tiba-tiba ada suara sepatu menyentuh lantai cafe mendekat ke meja mereka. Tidak, bukan hanya suara sepatu, tapi suara sang pemilik sepatu itu berbicara.

"Sorry, gue terlambat. Tadi macet parah." Suara itu jelas membuat ketiganya menoleh. Suara Via.

"Ternyata lo dateng juga. So, penantian gue nggak sia-sia." Timpal Renata dengan santai.

SILENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang