25

2.3K 202 15
                                    


Hujan kembali mengguyur kota Seoul pada malam itu. Kebanyakan orang akan memilih diam di rumah dan menikmati secangkir teh atau cokelat hangat sebagai teman di kala hujan seperti sekarang, tetapi hal itu tak berlaku untuk Mingyu.

Ia berjalan pelan menyusuri jalan setapak yang mengantarkannya ke sebuah taman dengan pohon rindang disana. Napas Mingyu keluar dari mulut dalam bentuk uap, menandakan betapa dinginnya suhu kala itu. Tetapi pemuda itu tak menghiraukan. Ia hanya terus berjalan dibawah guyuran hujan.

Beberapa menit yang lalu, Mingyu masih berada di rumah dengan selimut tebal membungkus tubuhnya. Ia demam lagi sehabis mabuk di bar beberapa hari yang lalu. Kakaknya, Jongin, memarahi Mingyu habis-habisan. Bukan hanya karena ia mabuk berat, tetapi karena ia kembali tergolek lemah di tempat tidur yang membuat sang kakak khawatir. Mingyu hanya mampu bergumam kata maaf dan berjanji tak akan melakukannya lagi, benar-benar seperti bocah yang berjanji pada sang ibu.

Mingyu memang tidak mabuk lagi, tapi kebiasaannya untuk bermain hujan tak kunjung hilang. Ia membiarkan hujan menyembunyikan air matanya yang mengalir. Ia tak akan dianggap menangis jika tak terlihat air matanya kan?

Untuk sebagian orang, kehilangan seseorang yang kita cintai karena sudah diambil orang lain akan dijadikan pelajaran. Mereka akan berusaha lebih keras lagi di masa yang akan datang agar tidak kehilangan sosok itu lagi. Namun Mingyu berbeda. Ia tidak bisa seperti itu.

Dia masih terlalu naif. Mingyu tak terlalu tau tentang dunia percintaan.

Dulu Mingyu sering absen saat sekolah karena ia selalu terganggu oleh penyakit jantungnya. Ia akan lebih sering di rumah dan melewati serangkaian pengobatan yang membuatnya muak. Karena hal itulah ia jadi tak terlalu mengenal yang namanya rasa cinta. Ia buta dengan itu semua. Bahkan ketika sang kakak menggodanya dengan teman satu sekolah Mingyu yang memang menyukainya, ia hanya bisa terdiam karena merasa bingung.

Dan baru 2 bulan belakangan ini ia mengenal cinta. Ia merasakan bagaimana jantungnya terpacu dengan cepat, bagaimana senyumannya tak bisa luntur saat ia bertemu orang itu, dan saat dimana perasaannya tak menentu ketika orang itu tak memberikannya kabar. Itu yang dirasakan Mingyu pada dokter pribadinya sendiri, Chou Tzuyu.

Disaat seperti itu, Mingyu mulai belajar caranya mencintai. Ia belajar bagaimana caranya bisa mengontrol perasaannya didepan seseorang yang spesial di hatinya. Ia bisa menunjukkan emosinya yang sudah lama terkubur bersama abu milik sang ibu.

Mingyu terlalu cepat jatuh cinta.



Dan Mingyu terlalu cepat merasakan patah hati.

Ia awalnya tak menyangka bahwa pertemuannya dengan Tzuyu serta temannya -kekasih- Luhan membuatnya jadi seperti sekarang. Melankolis, terpuruk dan tak bisa bangkit. Mungkin terlalu berlebihan, tapi itu tidak untuk Mingyu yang baru saja merasakan indahnya jatuh cinta.

Tubuh Mingyu masih di guyur hujan ketika ia duduk disebuab ayunan. Ia menggerakkan ayunan itu dengan perlahan, mengikuti desisan angin yang menusuk-nusuk kulitnya. Mata milik Mingyu sudah membengkak, tetapi tak ada isakkan keluar dari bibir tebalnya. Ia mengatupkan mulutnya, mencegah isakkan itu keluar.

Mingyu bisa saja diamuk lagi oleh Jongin. Demamnya belum turun dan sekarang ia hujan-hujanan. Pasti habis ini ia akan mengalami flu. Beruntungnya penyakit jantung Mingyu sedang tidak 'rewel' semenjak ia bertemu Tzuyu, membuat Mingyu maupun Jongin jadi lebih tenang untuk beberapa saat.

"Kau tidak kedinginan?"

Sebuah suara mengagetkan Mingyu. Ia menoleh kebelakang dan menemukan sosok pemuda memakai baju putih. Ia tampan, kulitnya pucat, dan matanya sungguh tajam. Pemuda itu melangkah mendekati Mingyu dan duduk di ayunan samping tubuhnya. Mingyu memperhatikan pemuda itu dengan seksama, ia seperti mengenal pemuda ini. Tapi Mingyu lupa dimana ia pernah bertemu dengan sosok tinggi di depannya ini.

The Promise [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang