Kisah lama

114 4 0
                                    

Whatever youre doing,give it all you got, share your passion, excitement and enthusiasm and let your vibe and energy become an inspiration to others.

Segelas kopi hangat yang mengepul dengan aroma yang sangat khas dipegang Roby, ia memegangnya secara perlahan. Hati-hati. Di tiup dan di minumnya. Lantunan lagu dari dalam ruangan terdengar sangat merdu, sehingga kafe yang bertema klasik ini terkesan romantis.

There’s a song that’s inside of my soul
it’s the one that i’ve tried to write over and over again
i’m awake in the infinite cold
but you sing to me over and over and over again
So, i lay my head back down
and i lift my hands and pray
to be only yours, i pray, to be only yours
i know now you’re my only hope.

-“Only Hope”, Mandy Moore

“Kau tahu apa yang paling aku takutkan selama ini?” Seorang gadis berambut panjang dan berkacamata duduk di sampingnya, memandangnya penuh tanya.
“Apa?” kata Roby yang sedang asik menikmati kopi kegemarannya. Roby mengenakan kaus putih polos yang melihatkan lekuk tubuhnya yang ideal, serta kemeja yang merah tak dikancing. Terlihat santai namun tak mengurangi sisi maskulinnya.
“Dirimu!” tanpa memandang, Julia mengambil secangkir gelas yang berisi mocacinno dan meminumnya perlahan. Sesaat matanya terpejam, menikmati aroma harum dari mocacinno yang ia minum.
Roby memandang wajah Julia dengan penuh tanya. “Maksudmu?”
“Setelah sekian lama kita pacaran, sejujurnya aku masih belum mengenalmu.” Sambil mengaduk-aduk secangkir mocacinno hangatnya.
Roby menatap Julia dengan sendu tapi dipenuhi dengan rasa penasaran. “Aku tak paham dengan ucapanmu itu.”
Mata Julia masih terfokus kepada objek yang mejadi pusat perhatiannya, entah apa. “Aku merasa kalau kau masih menyembunyikan sesuatu dariku,” Julia memotong pancake yang berada di hadapannya dan memasukannya ke dalam mulut, “entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja.”
Roby menghela nafas. Dipegangnya lengan Julia dengan lembut. Julia memandang sekilas. “Aku sudah menunggu lama sekali pertanyaan itu darimu, aku kira kau tidak akan pernah mengatakannya.”
Julia melihat wajah Roby dan membelai rambutnya. Lembut. “Sudah lama sekali aku memikirkan hal ini namun, aku takut kau akan tersinggung.” Nada Julia terdengan sangat lirih dan ragu.
Roby memiringkan duduknya dan sedikit menghadap Julia. “Kau memikirkan pertanyaanmu tentang apakah ada yang kusembunyikan,” Roby menarik nafas pelan, “dan aku menunggumu untuk menanyakan hal itu, sejujurnya aku menantikannya.”
Tatapan Julia kini meredup. Sayu. Ia mencoba menyimak dengan sesama walaupun ia sebisa mungkin untuk bertingkah normal. “Iya, jadi apa yang kau sembunyikan dariku?” Sembari memotong pancake-nya lagi.
Roby merebut potongan pancake yang akan Julia suapkan ke dalam mulutnya. Julia mengerutkan dahinya. “Kalau kau sendiri, apa ada yang kau sembunyikan dariku?” Roby tersenyum tipis, ia balik bertanya.
“Tidak ada,” kata Julia sambil membersihkan noda di samping bibir Roby. “semuanya sudah aku ceritakan kepadamu, tentang kelurgaku, sekolahku, mantan-mantanku, dan semua hidupku. Sekarang giliranmu untuk menceritakan semua rahasiamu.” Julia menatap wajah Roby lekat. Seluruh harinya memang selalu di habiskan bersama dengannya. Hubungan yang ia sendiri inginkan. Roby adalah pria idaman bagi Julia, susah payah Julia mengejar Roby yang memang sedikit agak tidak tertebak. Di balik sifatnya yang murah senyum, Roby adalah pria pendiam. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Julia merasa ada sesuatu –mungkin masa lalunya- yang harus ia ketahui. Roby sendiri enggan menceritakan tentang masa lalunya kepada Julia, hanya sedikit cerita Roby yang Julia ketahui tapi, kali ini Roby ingin jujur kepada Julia, tentang dirinya di masa lalu.
Roby menatap wajah gadis yang sudah dua tahun menjadi kekasihnya. “Kau yakin ingin mengetahuinya?” Hati Roby sedikit miris. Ia sendiri ragu dengan apa yang ia ucapkan.
“Sangat yakin!” kata Julia menegaskan.
“Aku harap kau tidak akan marah kepadaku.” Mata Roby ragu. Ada gejolak di dalam batin yang sampai saat ini, bila ia menceritakan tentang masa lalunya, selalu membuatnya bersedih.
“Kenapa aku harus marah?” mata Julia fokus, ia mencoba menerima apapun rahasia yang akan di ceritakan kepada dirinya oleh Roby. “Apa kau punya wanita lain?”
Roby hampir tersedak. “Tidak ada, kaulah wanitaku.”
“Jadi?” Julia menunggu, ia mengusap punggung Roby. Lembut.
Roby kembali meneguk secangkir kopinya pelan dan menarik nafas dalam. Ada perasaan sendu yang menyelimutnya. Bayangan gadis itu selalu menghantuinya. “Kau tahu foto gadis yang ada di kamarku?”
Julia berpikir. Matanya terpejam dan mengernyit. “Yang mana?” Julia nampak bingung, ia mengingat-ingat beberapa foto yang terletak di kamar Roby.
“Di atas laci, samping tempat tidur,” ujarnya memberi gambaran kepada Julia yang sepertinya sedang sibuk menerawang letak pigura yang berada di kamar Roby.
“Karen?”
Jantung Roby serasa berdegup kecang setiap kali ia mendengar nama itu. Nama yang selalu berdengung dalam telinganya, yang sempat terukir dalam benaknya. “Ya, Karen.”
“Kenapa dengan dia?” tanya Julia tanpa ragu. Ia tak sadar dengan mimik wajah yang di keluarkan oleh Roby ketika mendengar nama itu.
“Dia sudah meninggal.”
Julia nampak heran. “Meninggal? Kau bilang, dia kuliah di luar negeri?”
Roby tersenyum, agak memaksakan senyumnya. “Tidak, aku bohong padamu.” Roby tak memandang wajah Julia, ia asik dengan pemandangan di luar yang nampak sejuk. Ia mencoba menjernihkan pikirannya. Pikiran masa lalunya.
Julia memasang wajah yang sangat serius. Ia menarik lengan Roby pelan. “Mengapa dia meninggal?”
“Takdir.” kata Roby tanpa ekspresi.
Mata Julia menyipit. Ia nampak tak puas dengan jawaban Roby. “Aku serius!” Julia merasa walaupun sudah berpacaran cukup lama dengan Roby tetapi ia seperti tidak mengenalnya. Roby terlalu tertutup dengan masa lalunya.
Roby memandangnya tanpa ekspresi apapun, “aku juga.”
Julia kesal dengan jawaban Roby yang menjawab dengan singkat dan terkesan asal-asalan. “Ih, kamu menyebalkan!” Julia memalingkan wajahnya, melihat keadaan sekitar. Nampak beberapa pengunjung –rata-rata anak muda- sedang asik bercanda.
Roby melakukan hal yang sama, ia melihat-lihat keadaan sekitar dan melihat anak berseragam sekolah yang duduk tepat di pojokan. Mengingatkannya akan masanya dulu, masa ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. “Iya, maaf, maaf.”
Roby nampak memilah-milah kata yang akan ia ucapkan. Ia takut salah ucap dan akan membuat Julia marah.
“Dia adalah mantan pacarku.” Akhirnya keluar suara dari Roby yang membuat Julia tertegun tak percaya.
Julia menaikan sebelah alis kirinya. “Kau bilang...”
Roby memotong perkataan yang belum sempat Julia teruskan. “Aku berbohong lagi padamu.” Ia membelai halus rambut Julia.
Tercium aroma khas mawar dari rambut julia yang nampak lembut terawat.
“Berapa banyak kebohongan yang kau lakukan?”
Mata roby terbelalak. “Berapa banyak?” Roby tersenyum, miris. “Mungkin hanya ini kebohongan yang aku katakan dan terdengar menyakitkan.”
Julia terlihat tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Julia menelan ludahnya dan berusaha menjadi senormal mungkin. Ia sangat mencintai Roby walaupun –mungkin- hati Roby masih belum sepenuhnya bersamanya. Roby tak pernah marah walaupun Julia sering kali marah-marah kepadanya. Ia selalu sabar dengan tingkah dan sikap Julia yang sangat manja. Untuk itulah Julia mencoba untuk tidak marah kepada Roby. “Aku akan kecewa kalau kau masih sangat mencintainya.”
Roby kembali menghela nafas. Baginya, mengingat Karen akan membuatnya selalu sakit, bukan karena ia mengecewakannya, melainkan karena Karen sudah tidak di sini. Di sebuah tempat yang entah di mana, tak satu pun orang tahu bila mereka belum benar-benar mengalaminya.
“Kenapa kau diam? Kau masih mencintainya?”
Roby memain-mainkan cangkir yang masih terisi kopi. Ia mencoba untuk berpikir. “Mencintainya merupakan sebuah anugerah bagiku, namun kini Tuhan telah memberikan anugerah lain yang lebih indah bagiku,” Roby menatap Julia dengan penuh arti, “kau.”
Raut di wajah Julia sedikit lebih melonggar. “Apa se-sempurna dan se-spesial itukah dia, sehingga kau tidak mampu melupakannya?”
Roby nampak bersikap tenang, menatap wajah Julia dan tersenyum simpul. “Sempurna? Tak ada yang sempurna darinya secara fisik. Spesial? Tidak ada yang spesial darinya,” Roby memejamkan matanya perlahan. Dua detik. Tiga detik. Ia kembali membuka matanya, “ia hanya gadis biasa.”
Julia mengangguk. Mencoba mengerti. “Lantas, apa yang membuatmu sangat mencintainya?” tanya Julia –masih dengan rasa penasarannya- sambil melahap potongan pancake yang tersisa.
Roby menggelengkan kepalanya. Ia mengecup tangan Julia.
“Lebih baik kita mengganti topik, aku tak ingin membuatmu terluka.” Roby beranjak dari tempatnya dan menghampiri kasir.
Sesaat Julia terdiam. Bimbang.
Roby kembali sambil membawa gelas kedua yang berisi air putih. Merupakan sebuah rutinitas yang sering ia lakukan apabila sedang meminum kopi. Kebiasaan.
“Maafkan aku, seharusnya aku tidak mengatakan ini kepadamu. Aku mohon lupakan saja, saat ini aku bersamamu dan sangat mencintaimu.” Roby mencoba merangkul Julia. Namun, Julia menepisnya.
Cangkir yang masih berisi mocacinno di putar-putar perlahan oleh Julia. “Aku takut kalau kau masih belum bisa melupakan dia,” katanya lirih.
Roby tahu, sebenarnya obrolan ini hanya akan memperburuk keadaan. Namun, di sisi lain ia ingin Julia tahu kebenaran tentang dirinya dan masa lalunya. “Aku sudah bilang kalau aku lebih mencintaimu, kaulah yang kupilih, aku telah memilihmu, tak ada lagi gadis yang bisa menggantikan posisimu.”
Julia mengangguk, memang inilah kemauannya, mengetahui semuanya tentang masa lalu Roby. Ia mencoba bersikap biasa saja. “Kalau memang seperti itu, coba kau ceritakan siapa sebenarnya Karen.”
Roby sedikit memunduk. Menarik nafas panjang. Dan kembali menatap Julia dengan tajam. “Tapi kau harus janji untuk tidak cemburu.”
“Aku janji.” Janji hanya sekedar janji. Sebelum Roby mengatakan itu Julia sudah cemburu kepada sosok yang bernama Karen.
Diminumnya secangkir kopi hangat yang tinggal setengah, diikuti oleh Julia yang meminum mocacinno-nya.

Model BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang