Peluhmu Adalah Semangatku

28 2 0
                                    

Hari ini adalah hari perlombaan. Roby sangat gugup. Ia pesimis untuk bisa masuk sepuluh besar. Pertandingan diikuti oleh semua angkatan, dari kelas satu sampai kelas tiga. Dari setiap angkatannya ada sepuluh kelas, jadi total yang mengikuti lomba lari ada tiga puluh orang. Dikelompok wanita pun sama, Karen nampak tenang. Ia tidak memikirkan untuk menang, baginya apapun hasilnya asalkan ia melakukan dengan sungguh-sungguh, ia akan puas, kalau pun nanti kalah tak masalah baginya.
Dari toa terdengar suara guru olahraga yang memberikan instruksi, yang pertama akan bertanding adalah kelompok wanita. Karen sudah siap dengan posisinya. Roby memandang Karen, ia sangat yakin akan kemampuan Karen.
“Sudah jelas kan peraturannya?” tanya pak guru, lalu ia melirik stopwatch yang ada di tangan kirinya. “bapak akan hitung sampai tiga setelah itu kalian harus berlari.”
Karen, kau pasti bisa. gumam Roby dalam hati.
“Bersedia, siap... satu...dua...tiga!”
Semua peserta wanita berlari. Karen tanpa gentar berlari dengan kencang, ia berada diurutan ke tujuh. Matanya fokus ke depan, tangannya bergerak seirama dengan larinya yang kencang. Ia terus berlari, tak menghiraukan apapun yang ada di sekitarnya. Langkahnya kokoh, sepatunya menempel ke tanah sehingga membuat gumpalan debu kecil. Kini ia berada di posisi lima, jantungnya berdegup sangat kencang. Rambutnya yang diikat bergoyang seirama dengan larinya. Tinggal beberapa meter lagi sebelum ia mencapai finis. Banyak peserta yang mulai memperlambat larinya, tapi tidak dengan Karen. Ia semakin cepat dan cepat, tinggal dua meter lagi dan ia berada di posisi kedua. Ia terus melesat pesat bak petir yang menyambar, hingga akhirnya ia finis di posisi pertama. Karen juara, mengalahkan semua pesaingnya dengan keyakinan dan kerja kerasnya.
Roby berlari menghampiri Karen. Karen terduduk lemas.
“Kau berhasil,” puji Roby seraya mengukurkan air minum kepadanya. Roby bangga. Ya, dia bangga dengan gadis ini. Gadis yang sempat ia remehkan dahulu.
Karen hanya tersenyum, nafasnya masih harus diatur, ia benar-benar kepayahan.
“Sekarang giliranmu membuktikan padaku,” di sela nafasnya yang masih belum pulih.
Roby nampak merubah ekspresinya. Menggigit ujung bibir bawahnya. “Aku akan berusaha, doakan aku.”
Karen mencoba berdiri. Lemas. Seketika pandangannya kabur dan ambruk. Karen pingsan.
Semua orang yang ada di sana mencoba untuk membantu Karen, termasuk Roby. Mereka membawanya ke UKS yang tak jauh dari sana.
“Dia hanya kelelahan, kamu tenang saja.” kata salah seorang guru yang merawat Karen.
“Boleh aku menjaganya?” pinta Roby.
“Sebentar lagi kau akan bertanding, lebih baik kau persiapkan dirimu,” ibu guru melirik ke arah Karen yang masih tak sadarkan diri, “biarkan dia istirahat, lagipula adan Lina dan Intan yang menjaganya.”
Roby cemas dengan keadaan Karen, ia sangat menyayanginya. Dari lubuk hatinya terdalam, ia tidak ingin gadis ini terluka atau sampai terjadi apa-apa. Akhirnya ia menuruti apa yang di katakan ibu guru. Roby kembali ke lapangan.
Roby sudah bersiap di garisnya, ia sudah memasang kuda-kuda. Pandangannya tajam. Ia sudah berjanji kepada Karen untuk berusaha sekuat tenaga agar memberikan yang terbaik.
“Semuanya sudah siap! Bersedia... satu...dua...tiga!”
Roby memacu kakinya dengan cepat, hasil latihan yang dijalaninya bersama Karen memberikan dampak yang baik, larinya sangat kencang, ia terus fokus tanpa kendala yang berarti.
Peserta yang lain tak kalah cepat, semua berlari dengan sangat cepat. Roby berada di posisi ke-19 tapi ia tidak pantang menyerah, ia harus bisa masuk sepuluh besar. Baginya kerja keras ini bukan semata-mata hanya untuk dirinya, tapi untuk Karen juga.
Aku harus memberikan hasil maksimal untuk Karen. Ya, hanya untuk Karen. bisiknya dalam hati.

***

Mata Karen perlahan terbuka, bibir mungilnya yang pucat pasi, tersenyum saat memandang Roby.
“Bagaimana kondisimu?”
Karen nampak berusaha untuk bangun. “Aku sudah membaik.” suaranya lirih.
Roby beranjak dari duduknya. “Biar aku ambilkan minuman untukmu.” Roby sudah mengganti bajunya dengan pakaian seragam.
Karen setengah terduduk, ia menatap Roby dengan penuh tanya. “Bagaimana tadi?”
Roby menggeleng, ia tersenyum. “Aku kalah.”
“Kau kalah? Urutan keberapa?” tanya Karen bertubi-tubi.
Roby menggelengkan kepalanya lagi, ia menghampiri Karen dan memberinya minum.
“Jangan dulu memikirkanku, sebaiknya kau istirahat,” ucap Roby penuh perhatian. Dari setelah perlombaan usai, ia bergegas ke UKS hanya untuk memastikan keadaan Karen baik-baik saja.
“Aku ingin pulang, biar ibu saja yang merawatku,” kata Karen merengek.
Roby mengetuk dahi Karen dengan telunjuknya, pelan. “Dasar keras kepala, kalau kau mampu berdiri, akan aku izinkan kau untuk pulang.”
Karen menyipitkan matanya. “Sejak kapan kau berani memerintahku?” kata Karen, ketus.
“Untuk saat ini akulah instrukturmu.” kata Roby dengan nada yang menggoda.
“Huh! Aku tidak mau,” bantahnya sambil memalingkan muka.
“Harus mau, karena aku berhasil masuk lima besar.” Roby tersenyum saat ia sedang memijat kaki Karen.
Seketika raut wajah Karen berubah. “Apa? kau bercanda?” tiba-tiba Karen nampak ceria kembali.
Roby menggeleng. Tersenyum simpul. “Tidak.”
“Syukurlah, akhirnya kau mampu membuktikannya.” Karen memegang tangan Roby. Sesaat pandangan mata mereka bertemu. Roby berpaling, fokus kepada pijatannya.
“Ini semua karena kamu, kalau kamu tidak membantuku, mungkin aku tidak akan bisa seperti ini.”
Karen tersenyum, ia mengusap rambut Roby yang sedikit basah oleh keringat. “Tidak semuanya olehku, kau memiliki tekad yang kuat sehingga kau mampu membuktikan padaku dan pada semua orang.”
Roby mengambil lengan Karen yang masih berada di kepalanya. Jantung Karen memburu kencang. Roby menatapnya penuh arti. “Tetapi kaulah yang membuatku percaya dengan kemampuanku. Terima kasih.”
Karen tersenyum hangat.
“Sekarang makan dulu ini.” Roby mengambil makanan yang tersimpan di meja samping tempat Karen tidur.
Karen mengulum bibirnya. Lalu, menggelengkan kepalanya. “Aku tidak lapar.”
“Harus ada makanan yang masuk ke dalam perut kecilmu ini,” ujar Roby sambil menekan perut Karen dengan jari telunjuknya.
Karen memegang telunjuk Roby. “Aku tidak lapar, jenius!”
Roby menggoyang-goyangkan telunjuknya. “Ah ah ah, ingat, tidak boleh membantah perintah dari instruktur.”
“Instruktur jelek!” ejek Karen.
“Tapi suka, kan?” Roby menyuapi Karen, awalnya Karen menolak untuk membuka mulut tapi, melihat mimik Roby yang terlihat mengancam membuatnya membuka mulut.
Karen mengunyah perlahan. Nafsu makannya benar-benar tidak ada. Namun, karena Roby yang menyuapi membuat nafsu makannya sedikit muncul. “Apa cita-citamu?” tanya Karen tiba-tiba.
Roby melirik. “Entahlah.” Mata Roby seolah bicara kalau ia tidak ingin membicarakan hal itu.
Karen nampak penasaran. “Kau pasti punya cita-cita, kan?”
“Saat ini yang aku pikirkan hanya ingin belajar dengan sungguh-sungguh,” Roby mengangkat kedua alisnya, “mengapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?”
Karen menggeleng perlahan. “Aku hanya ingin tahu. Kita tak akan lama lagi sekolah, satu tahun bukanlah waktu yang lama. Aku tahu kau pasti memiliki cita-cita.”
Roby berpikir. “Aku takut salah langkah.”
“Kau harus yakin dengan kemampuanmu, apapun cita-citamu bila kau melakukannya dengan sungguh-sungguh kau pasti akan berhasil.”
Roby terdiam. Berpikir. Tersenyum geli.
“Mungkin akan terdengar konyol bila kau mendengarnya.”
Karen mengusap bibirnya menggunakan tisu yang ada di sampingnya. “Tak ada cita-cita yang konyol di mataku.”
Atap-atap UKS yang bercorak lingkaran besar dan kecil menjadi perhatian Roby.“Ini bertolak belakang dengan diriku.”
Karen membenarkan posisi duduknya. Memperhatikan Roby dengan seksama. “Apa maksudmu, aku tidak mengerti.”
Pandangan mata Roby berbicara. Sesaat bibirnya terbuka dan kembali menutupnya. Urung untuk mengatakannya. Karen memegang tangan Roby dan mengangguk kecil, seolah berbicara kalau ceritakanlah semua kepadanya. “Aku ingin menjadi model.”
Mata Karen membesar. Ia terkejut dengan perkataan Roby yang singkat tetapi memiliki harapan besar. “Itu bagus, tapi apa hanya itu?”
Senyum simpulnya yang manis hadir di sela-sela rasa malunya. “Tidak, aku ingin menjadi model yang tidak hanya memiliki keindahan fisik saja, tapi juga memiliki daya intelektual yang tinggi. Aku ingin mewakili negara ini diajang yang bergengsi dan bisa mengharumkan nama Indonesia. Kau pasti tidak akan menyangkanya, kan?”
Karen menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Sejujurnya iya, aku pikir kau ingin menjadi seorang profesor dengan kepala botak dan berhasil menemukan penemuan-penemuan baru.”
Gigi Roby terlihat ketika pria itu tersenyum. “Maka dari itu menurutku ini konyol.”
“Hei, jenius, aku sudah bilang tak ada cita-cita yang konyol di mataku. Kau ini pria yang pintar, penuh kerja keras, dan tidak pernah menyerah. Kau hanya tinggal menghilangkan sedikit lemak yang ada di tubuhmu dan buatlah badanmu menjadi ideal,” ujar Karen dengan kebiasaan barunya. Menepuk-nepukan tangannya ke perut Roby.
Terbesit rasa tanya dalam diri Roby. “Mengapa kau sangat yakin dengan kemampunku?”
Kali ini Karen yang terdiam. Ia menatap tetesan air yang jatuh ke gelas kecil di bawah galon. Pemandangan yang terkesan biasa tapi bila dilihat dengan seksama maka kita akan menemui makna di dalamnya. Tetesan air diibaratkan dengan kerja keras yang dilakukan secara terus menerus, lama, tapi membuahkan hasil yang memuaskan. Semuanya terjadi memerlukan proses yang panjang, bila kita memang menginginkan sesuatu hal atau perubahan, lakukanlah dengan sering dan konsisten maka lambat laun hal itu akan terwujud. Tanpa sadar Roby juga telah melakukan itu, kepada fisiknya.
“Entahlah, ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku yakin kau akan sanggup untuk melakukannya. Gapailah mimpimu, aku yakin kau akan mampu.”
Roby menatap Karen dalam diam. Ia memegang tangannya dan mengecupnya. “Terima kasih kau sudah percaya padaku.”
Karen terkesima, ia tak mampu berbuat apa-apa. Ia pasrah saat tangannya dikecup oleh bibir lembut Roby.

Model BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang