Mentari pagi selalu memberikan sinar lembutnya kepada semua insan, hal yang mungkin terlupakan oleh hampir seluruh insan tentang peranan sang mentari.
Roby yang baru menginjak remaja ini, mulai siap menyambut hari. Ia bersekolah di sekolah ternama di kota Jakarta. Prestasinya yang sangat membanggakan dibidang akademik, mampu membuatnya meraih beasiswa sehingga ia tidak mengeluarkan uang untuk membayar biaya sekolah.
“Mah, Roby berangkat dulu, ya.”
Ibunya sedang membersihkan body motor yang selalu ia lakukan tiap kali akan berangkat kerja. Hal sepele yang sebenarnya sering di lakukan oleh seorang suami. “Hati-hati, ya, di jalan.”
Roby adalah anak tunggal, ia tidak memiliki ayah, ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Kehidupan keluarganya sangat tergantung kepada ibunya. Ibunya bekerja di sebuah perusahan yang cukup besar di bagian administrasi.
Perjalanan dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, ia hanya perlu bangun pagi-pagi agar bisa sampai ke sekolah dengan berjalan kaki. Pagi yang indah ini merupakan awal akan sebuah kesuksesan yang ia raih, nanti.
“Woy dut! Jalanmu seperti keong!”
Roby melirik. Ia tahu itu adalah Karen, teman satu kelasnya. Gadis ini setiap pagi selalu menyapa Roby bila akan berangkat sekolah. Itu menjadi sebuah kebiasaan yang mereka pun tak menyadarinya. Karen bertubuh indah terjaga, berambut panjang terurai, hidungnya mancung, matanya indah dengan bibir tipis sebagai pemanisnya.
“Masih zaman jalan kaki?” cibir Karen.
Roby tetap tidak mengacuhkan. Ia tidak ingin awal harinya dimulai dengan kekesalan yang tak berharti.
“Sombong amat sih?” Karen nampak sedikit geram karena Roby tak mengacuhkannya. Karen selalu senang menggoda Roby.
Roby kembali melirik Karen. “Jalan kaki itu sehat, sekalian membuang kalori.”
Karen tersenyum sinis, ia menatap seluruh tubuh Roby yang gemuk. “Kalau sudah bakatnya gendut, ya, tetap saja gendut!”
“Tidak ada yang namanya bakat gendut! Kalau ada usaha untuk merubah segala sesuatu, pasti akan berubah.”
Roby sebenarnya sedikit terganggu dengan apa yang di katakan oleh Karen, bukan, bukan hanya Karen yang sering mengejeknya, semua teman-temannya di sekolah selalu mengejeknya seperti itu tetapi, karena ini adalah kesekian kalinya Karen berkata seperti itu. Ia mencoba untuk tidak memperdulikannya. Dalam hatinya, ada perasaan ingin mengecilkan perutnya yang buncit. Namun, ia merasa tidak sanggup untuk mengurangi porsi makannya.
Sebenarnya, ibunya juga sering memberitahukan tentang resiko bila ia terlalu gemuk. Roby pun tahu apa resikonya, hanya saja ia tidak bisa menghilangkan kebiasaannya untuk berhenti makan. Baginya, tidak makan sama saja dengan bunuh diri. Menyiksa diri.
Pernah sekali waktu ia mencoba untuk berdiet dan mencoba obat pelangsing tapi, hasilnya justru nafsu makannya semakin besar dan berat badannya pun kian membesar.
“Memangnya tidak ada pemikiran darimu untuk kurus?” Karen lagi-lagi bertanya.
Roby nampak jengkel dengan pertanyaan Karen yang bertubi-tubi dan sedikit meremehkan. “Aku senang dengan kondisiku sekarang ini.” jawab Roby dingin.
Karen mengangguk.
“Apa yang bisa dibanggakan dengan perut sebuncit itu?”
Roby menarik nafas panjang. Kesal. “Memangnya ada yang salah dari perut buncit?” ia nampak sedikit kesal “Lagi pula ini perutku, bukan perutmu!”
Karen tersenyum. Meremehkan. “Siapa juga yang mau punya perut sebuncit itu!”
Roby sebenarnya sangat kesal dengan semua yang dicuapkan oleh Karen. Semua kata-katanya adalah hinaan. “Aku hanya mensyukuri apa yang aku miliki sekarang.”
Mengerutkan dahi dan menyeleneh. “Ah, susah bicara sama orang yang keras kepala, buncit kok dibangga-banggakan!”
“Aku tidak pernah menyuruhmu untuk memikirkan perutku ini, lagi pula apa urusanmu?” Roby mulai terpancing emosi. Sebenarnya Roby malas menanggapi gadis ini, tapi semua perkataannya sangat menyakitkan.
Karen tersenyum sinis.
“Aku hanya kasihan saja padamu Rob, kamu itu pintar, sayang kepintaranmu itu tidak kau gunakan untuk kesehatanmu sendiri.”
Roby menghentikan langkahnya. Ia menunduk ke bawah dan kembali menatap Karen tajam. Penuh amarah. “Kau pikir aku tidak menggunakan otakku? Lalu apa yang sedang aku lakukan ini? Aku berjalan kaki, ini termasuk olah raga ringan dan bisa membuang beberapa kalori dalam tubuhku.”
Karen turut menghentikan motornya. Ia menarik nafas panjang, mencoba untuk tidak salah ucap dan mencoba mengembalikan suasana yang menjadi sedikit tegang. “Kalau hanya berjalan kaki tanpa melakukan aktifitas lain, tak akan ada hasilnya, dietlah sedikit.”
Amarah Roby mereda. Ia berpikir. Untuk apa aku menanggapi gadis gila ini? lagi pula untuk apa aku harus marah? “Sebetulnya kau paham tidak, arti dari diet itu sendiri?” Roby mencoba mengetes Karen.
Karen menjawab dengan penuh keyakinan.
“Diet itu, ya, menahan untuk tidak makan.”
Roby tersenyum bangga. “Salah! Pengertian diet itu, ya, makan! Hanya saja polanya yang dijaga.”
Karen mengangguk. Ia memicingkan matanya. “Kamu sudah menjaga pola makanmu?”
“Sedikit.”
Karen tertawa.“Bagaimana mau berhasil kalau segala sesuatunya hanya dilakukan setengah-setengah.”
Roby melanjutkan langkahnya. “Sudahlah, lebih baik kau cepat pergi, sebelum aku...” ujar Roby menggoda.
“Apa?” bentak Karen. Ia tahu sepertinya ada gelagat yang kurang menyenangkan dari wajah Roby.
“Memelukmu.” Roby mencubit pipi lembut Karen.
“Orang gila! Ya, sudah aku duluan.” Karen menyalakan mesin motor matic-nya.
“Ok!”
Karen melaju motornya dengan kencang, rambutnya terurai panjang dengan helm berwarna putih menempel di kepalanya. Roby memandanginya dari belakang. Hah! Gadis ini, gadis aneh yang selalu menggodaku, bantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Model Berkisah
RomanceKetika kesetiaan dengan cita-cita saling berbenturan. Ketika cinta dan godaan saling berpandangan. Ketika pilihan harus di tetapkan. Ketika harus menerima kenyataan. Ketika keterpurukan melumpuhkan semangat hidup. Hanya kau yang mampu menjalaninya...