Cinta Yang Utuh

20 2 0
                                    

Pukul sepuluh siang. Beberapa orang yang hendak berlatih sepak bola melihat Roby yang tertidur dan membangunkannya. Roby terlihat pucat. Ia mengambil baju serta celananya dan beranjak pulang. Kendaraan ia pacu dengan cepat, ia masih memikirkan kejadian semalam. Aku harus menemui Karen, ujarnya dalam hati. Iapun membawa motornya ke arah rumah Karen. Setibanya di sana ia hendak mengetuk pintu rumah Karen namun ibu Karen membukanya sebelum ia berhasil mengetuk pintu.
“Tante, Karen ada?” tanya Roby sopan.
“Nak Roby, tante juga tidak tahu kemana Karen pergi, tadi pagi ia masih ada tapi, saat ibu cari ke mana-mana, Karen tidak ada di rumah, lalu nak Roby datang, ibu kira Karen bersama nak Roby,” tutur Ibu karen dengan nada yang lirih.
Roby bingung, “Kalau begitu saya akan mencoba mencarinya, tan, tante diam saja di sini.”
“Maaf merepotkanmu, nak, ibu sampai tidak masuk kerja karena cemas mencari Karen.”
Ketika Roby hendak meninggalkan ibunda Karen, ia mendapatkan telepon.
“Halo.”
“Halo, bisa bicara dengan Roby?” tanya seseorang dengan suara berat dari seberang sana.
“Iya, saya sendiri ada apa ya?” tanya Roby.
“Kami dari pihak rumah sakit memberitahukan kalau ada seorang gadis mengalami kecelakaan dan sekarang sedang di tangani dokter, kami mendapatkan nomor telepon anda dari kertas kecil di dalam motor korban.” Mata Roby terbelakak kaget, ia meneteskan air mata dan berbalik ke arah ibu Karen yang masih diam di depan pintu.
“Tan, Karen...”
Ibunda Karen merasa tidak enak hati lantas mendekati Roby. “Ada apa dengan Karen nak?”
“Ka...Karen, Karen kecelakaan, tan.”
Ibu Karen menangis histeris dan memeluk Roby erat. Roby menangis tak henti-hentinya. Mereka segera bergegas ke rumah sakit untuk menemui Karen. Satu jam. Akhirnya mereka sampai di rumah sakit, Roby berlari ke arah informasi dan menanyakan di mana pasien dengan korban tabrakan di rawat, lalu mereka bergegas ke sana setelah mengetahuinya. UGD. Karen ada di dalam sana, Roby nampak cemas, ia tak henti-hentinya meneteskan air mata.
Kring Kring Kring
Suara handphone-nya kembali berbunyi. Ibunya. Ia mengangkatnya.
“Halo, mah, Roby ada di rumah sakit, tidak, tidak, Roby tidak apa-apa, Karen, Karen kecelakaan motor mah.” Roby kembali menangis, ia tak kuasa ketika mengatakan hal itu dan menutup teleponnya. Satu jam kemudian akhirnya Ibu Roby datang. Ibu Karen langsung memeluk ibu Roby dan menangis bersama, Roby kembali bersedih dan menitikan air mata.
“Apa yang menyebabkan kecelakaan ini?” tanya ibu Roby.
“Menurut saksi yang melihat, ia membawa kendaraannya dengan cepat, ia tidak mengenakan helm, orang yang menabraknya sekarang sedang di periksa di kantor polisi.”
“Kapan kejadiannya?” tanya ibu Roby cemas.
“Katanya sekitar pukul enam pagi.”
Ibunda Roby terkejut. Ada guratan sesal saat mendengar hal itu. “Maafkan saya, bu, tadi pagi sayalah yang menelepon Karen dan menanyakan keberadaan Roby, belum selesai saya menelepon ia sudah menutupnya. Saya kira dia kesal mendengar kabar tentang Roby, ternyata dia hendak mencari Roby.” Ibu Roby kini menangis kencang. Isakannya terdengar disela tangisannya.
Roby mendengarnya dan merasa bersalah. Ia menangis.
“Dan, kau! Ke mana saja semalaman tidak pulang?” bentak ibu Roby.
Roby yang menangis, mengusap air matanya. “Aku semalam, semalam aku.” Roby kembali menangis.
“Kemana?” bentak ibu Roby.
“Aku ke sadion, mah, semalam aku di sana, sebelumnya aku menemui Karen untuk meminta maaf tapi, Karen masih marah kepadaku sehingga ia menyuruhku untuk pergi, mah.”
“Mengapa kau tidak pulang? Kalau kau semalam pulang mungkin tidak akan terjadi seperti ini!” ibunya semakin kesal kepada Roby.
“Sudahlah, bu, ini sudah takdir,” kata ibu Karen mencoba menenangkan.
Roby tetap melanjutkan uncapannya. “Semalam aku terlalu sedih, aku tidak ingin pulang, untuk itu aku diam di stadion.”
“Lalu mengapa kau tidak angkat telepon mamah?” bentak ibunya lagi.
“Keadaanku waktu itu sedang stres, mah, aku tidak ingin diganggu oleh siapapun, maafkan Roby, mah, tante, kalau Roby tidak melakukan hal bodoh ini mungkin Karen tidak akan begini,” kata Roby sambil terisak. Tangisannya kian kencang.
“Ini sudah merupakan sebuah takdir, tante terima semua ini walaupun sangat berat terasa, mau menghindar bagaimana pun kalau ternyata takdirnya harus mendapatkan musibah, pasti akan terjadi. Tante mencoba ikhlas, nak.” Ibu Karen kembali meneteskan air mata.
Akhirnya dokter keluar dari ruang UGD, semuanya menghampiri dokter.
“Bagaimana dok kondisi anak saya?”
“Kritis, ada pendarahan di kepala bagian belakang sehingga ia harus mendapatkan banyak asupan darah. Selain itu, ia terkena tumor otak primer. ada jaringan yang menutupi otak, seperti membran meninges, sayaraf tengkorak, kelenjar pituitasy atau kelenjar pineal. Tumor otak ini ada ketika sel normal mengalami mutasi pada DNA-nya, mutasi ini menyebabkan sel tumbuh secara tidak terkendali dan tetap hidup saat sel yang lain mati.”  Semuanya terkejut. Ibu Karen mendadak terjatuh lemas, Roby mencoba menahannya dan memintanya untuk duduk, dokter menyuruh ibu Karen untuk istirahat di ruangan lain namun ia menolaknya.
Roby melihat di kaca pintu, memandangi Karen dari jauh. Ia menyesali semua perbuatannya. Ia selalu merasa kalau ia selalu membuat Karen menderita, bahkan hingga hari ini pun ia merasa telah menyakitinya, karena Robylah dia celaka. Roby mengutuk-ngutuk dirinya sendiri dengan sumpah serapah.

Model BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang