Akhirnya...

15 2 0
                                    

Kring Kring Kring
“Halo.” nada suara Roby yang berat. Ia terbangun ketika mendengar suara telepon masuk. Ibunya tidak ada di rumah.
Selamat pagi, bisa bicara dengan tuan Roby?”
“Saya sendiri.”
“Kami dari redaksi majalah Wedding Dress ingin memberitahuan kepada saudara Roby, selamat anda terpilih sebagai model di majalah kami, untuk itu kami meminta anda agar bersedia datang hari ini pukul 10.00. Terima kasih.”
Nyawa Roby berkumpul setelah mendengar semua penjelasan singat dari orang seberang yang bilang kalau ia terpilih sebagai model. Roby tak dapat beucap apa-apa. Ia tak menyangka bisa terpilih menjadi model majalah Wedding Dress. Dilihatnya jam dinding. Sudah pukul 08.45, ia bergegas untuk mandi dan pergi ke kantor tersebut.
Selama di sana Roby melihat ada beberapa model lain yang sudah datang. Pandangannya tertuju kepada beberapa model cantik berhidung mancung serta memiliki kaki yang lenjang membuat mereka tampak eksotis, lalu ia melanjutkan langkahnya untuk mendatangi resepsionis.
“Permisi mbak, saya Roby yang tadi pagi di telepon, apa benar saya terpilih sebagai model di majalah ini?” tanya Roby ragu.
“Oh, iya, benar, silahkan anda masuk ke dalam ruangan itu, di dalam sudah menunggu pak Yudha.”
Roby mengangguk pelan. “Terima kasih mbak.”
“Sama-sama.”
Roby memasuki ruangan. Di sana ada beberapa orang yang duduk.
“Saudara Roby?” seorang pria tiba-tiba menyebutkan namanya. Ia mengenakan topi layaknya sutradara sebuah film. Berjenggot putih dan mengenakan pakaian santai. Persis seperti seniman.
“Iya pak.” jawab Roby sambil tersenyum malu.
“Baiklah, sudah lengkap semuanya. Selamat kalian terpilih sebagai model di majalah Wedding Dress. Untuk itu saya akan memberitahukan beberapa kegiatan yang akan kami lakukan. Yang pertama, akan dipilih beberapa orang yang akan difoto di dalam ruangan dan ada pula yang di dalam kantor ini. Lalu yang kedua, pakaian dan pasangan sudah kami tentukan sehingga kalian tidak usah repot-repot membawa pakaian dan pasangan pengantin,” semua yang ada di dalam ruangan tertawa. “dan yang ketiga, honor yang akan kalian terima nanti akan kami berikan setelah majalah terbit, bisa dipahami?”
Semua orang yang ada di dalam serentak menjawab. “Paham.”
“Baiklah kalau begitu kita langsung saja, pria yang terpilih berfoto di luar ruangan ialah, Helmi, Rafael, Galih, dan Roby, untuk sisanya kalian akan berfoto di dalam ruangan. Lalu wanita yang terpilih untuk berfoto di luar ruangan, Victoria, Lusi, Niken dan Farah, sisanya di dalam,” pak Yudha mengambil berkas-berkasnya dan berdiri, “untuk yang kebagian di dalam ruangan bisa menemui bapak Adi dan yang di luar ruangan ikut dengan saya.”
Roby mengikuti pak Yudha. Semua crew sudah bersiap-siap. Pak Yudha dan para model lainnya menaiki sebuah mobil berwarna hitam. Roby terlihat nampak gugup.
Tiga jam perjalanan ditempuhnya. Roby tidak tahu ia berada di mana, tempat yang asing baginya. “Kita sudah sampai. Untuk para model wanita kalian bersiap ganti baju, kalian bisa mengikuti ibu Lena dan untuk model laki-laki kalian di sini saja bersamaku,” ujar pak Yudha “tentu kalian tidak malu, kan bila berganti pakaian di sini?” semua model lelaki tersenyum, lucu.
Cuaca sangat panas, Mereka dibawa kesebuah padang gersang, yang terdapat batuan-batuan besar.
“Kita akan berfose di tiga tempat. Satu di sini dan dua lagi di bukit dan pantai,” pak Yudha menjelaskan. “Roby, kau sudah siap?”
Roby mengangguk. Pakaiannya sangat rapih, ia mengenakan jas dan celana katun, semuanya berwarna putih.
“Kau akan di pasangkan dengan Farah.”
Roby melirik ke arah Farah, sekilas ia nampak seperti wajah Karen tapi, lebih tinggi dan berkulit eksotis, ia gugup.
“Coba kau berdiri di belakang Farah,” ujar sang fotografer. “Pandangkan wajahmu ke arah Farah dengan ekspresi wajah angkuh, ya, ya, begitu, tahan...ok!”
Roby menuruti apa kata fotografer, ia sangat menikmati pekerjaannya ini.
“Coba sekarang kalian saling berpegangan tangan tanpa saling berpandangan, ingat Farah, pasang wajah eksotismu.” kata fotografer mengingatkan.
“Ok, selesai juga, ayo kita pindah lokasi.” semua crew bergegas untuk pergi kelokasi kedua.
Sesi pemotretan berjalan dengan lancar tanpa ada kendala apapun. Tak terasa hari sudah semakin senja, sesi pemotretan telah berakhir dan semuanya bergegas untuk pulang.
Roby tiba di depan rumahnya dan melihat Karen sedang duduk menunggu. Matanya seolah menahan kekecewaan.
“Karen, sedang apa kau di sini?”
Karen menatapnya kesal. “Aku menunggumu dari sore!”
Roby tahu ia melakukan kesalahan lagi. Roby nampak bingung harus berkata apa. Sebenarnya ia tidak suka membuat Karen marah. “Maaf, tadi aku mendadak ada keperluan.”
“Sesibuk itukan sampai kau tak memberikan kabar?” Karen menghela nafas panjang. “ibumu juga sampai tidak tahu kau kemana.”
“Memang tadi benar-benar mendadak, aku pergi dari pagi,” ujar Roby mencoba menjelaskan. Matanya sedikit sayu. Lelah. Sebenarnya ia bisa saja pergi ke dalam tanpa memerdulikan Karen di sana tapi, kini ia merasa Karen bukan hanya sekedar teman biasa yang bisa ia acuhkan begitu saja.
Karen mencoba menelan kekecewaannya dan mencoba sebisanya agar ia nampak tidak begitu terlihat mencintai Roby. “Hem, memang siapa aku yang memintamu untuk memberikan kabar padaku, maaf atas kelancanganku.” Karen beranjak dari tempat duduknya dan pergi meniggalkan Roby sendiri.
Roby tahu Karen sangat marah. Ia tidak ingin kehilangan Karen lagi, ia menyayangi Karen. Bahkan lebih dari sekedar kata sayang. Cinta. Ya, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Roby terhadap Karen.
“Aku mencintaimu.” kata Roby tiba-tiba. Nafasnya memburu kencang. Jantungnya seperti gendang yang ditabuh secara kencang. Tangannya bergemetar. Sebuah keberanian yang entah dari mana tibulnya.
Langkah Karen terhenti. Roby mendekat dan memeluknya dari belakang.
“Aku mencintaimu,” bisik Roby, lembut. “aku tak perlu jawaban darimu, cintaku tidak untuk menunggu jawabanmu, bila memang kau tidak mencintaiku tak apa-apa, aku akan tetap mencintaimu.”
Dada Karen naik turun tak beraturan. Ia terkejut dengan pernyataan Roby. Dipegangnya tangan Roby, Karen berbalik arah, ia mengecup pipi Roby dan meninggalkannya.
Roby terpaku sendiri. Ia tahu apa maksud dari kecupan Karen. Roby tersenyum penuh kesan.

***

Musim sekolah sudah mulai tiba. Roby bergegas untuk pergi ke sekolah. Ia berjalan dengan penuh semangat.
“Jenius!” teriak Karen. “Ayo ikut denganku.”
“Aku mencintaimu.” teriak Roby saat mengendarai motor.
Karen memeluk Roby erat. “Aku juga.”
Roby mempercepat lajunya sambil berteriak “Wooooooo!” Sebuah awal yang baru di mana dua hati dipertemukan. Status mereka kini sudah resmi. Bukan hanya sekedar teman, melainkan kekasih. Roby sadar dengan perasaannya terhadap Karen.
Ruang kelas yang baru, pelajaran yang baru, teman-teman yang lama, dan cinta yang baru. Semua anak terheran-heran karena melihat Roby dan Karen tanpak semakin dekat dan mesra, semua bertanya-tanya apakah mereka berpacaran atau tidak, hingga ada salah seorang temannya yang langsung menanyakannya.
“Kalian pacaran?” tanya Erwin.
Roby dan Karen yang sedang asik bercanda terkejut dengan pertanyaan Erwin yang tiba-tiba datang.
“Memangnya kenapa?” kata Roby dengan tenangnya.
“Em, tidak apa-apa, kita semua heran dengan kedekatan kalian berdua, ayolah jujur saja,” ujar Erwin sedikit memaksa. Karen hanya tersenyum-senyum tipis.
“Kalau iya, kenapa?” kata Roby singkat.
“Em, Ah, ya, ya, tidak apa-apa.” Erwan nampak salah tinggkah dan pergi meninggalkan mereka berdua.
“Ada yang ingin aku beritahukan padamu.” kata Roby sambil melipat kertas. Membuat sebuah pentuk seperti pesawat terbang.
“Apa?” Karen tanpak antusias.
“Penyebab aku pulang malam waktu itu bahkan sampai membuatmu menunggu lama adalah,” Roby menatap wajah Karen yang sangat serius memperhatikannya. “karena hari itu aku di telepon oleh redaksi majalah Wedding Dress untuk pemotretan.”
Pupil Karen membesar, ia sangat senang dengan kabar ini. “A..apa benar semua yang kau ucapkan?” tanya Karen tak percaya.
Roby mengangguk. “Aku sungguh-sungguh, maka dari itu aku tidak sempat memberitahumu.”
Karen nampak antusias. Tanpa sadar ia menggenggam tangan Roby kencang. “Jadi kau memakai pakaian pengantin?”
“Iya.” jawab Roby singkat. Sambil tersungging senyum manisnya yang selalu Karen sukai.
“Dimake-up?
“Tentu.” Mengangguk sambil mengangkat kedua alisnya.
“Siapa pasangannya?”
Roby melepas genggaman Karen yang semakin kencang dan membuatnya sakit. “Kau tidak akan mengenalnya, dia sama-sama baru memasuki dunia modeling.”
“Cantik?” tanya Karen dengan wajah datar.
Roby mengangguk penuh penghayatan. “Tentu.”
Wajah Karen nampak berubah. Roby menyadari ekspresi wajah Karen yang cemburu. Ia terkekeh-kekeh melihat ekspresi cemburu Karen. Ia senang membuat Karen cemburu karen menurutnya rasa cemburu menunjukan kalau memang pasangannya benar-benar mencintainya.
“Tapi kau lebih cantik, maka dari itu aku menyukaimu,” ujar Roby sedikit menggombal.
“Gombal!” Karen mencubit tangan Roby pelan.
Roby menerbangkan pesawat buatannya ke atas. “Semua wanita itu pasti menyukai gombalan.”
Karen menaikan sebelah alisnya. “Aku tidak.”
Roby kini kembali fokus kepada Karen setelah tadi ia asik dengan pesawat buatannya dan mencubit pipi Karen yang lembut. “Tidak usah memungkiri, sayang.”
Karen terkejut. “Kau memanggilku apa?” Sebenarnya Karen tahu apa yang diucapkan oleh Roby. Hatinya sangat berbunga karena akhirnya cinta yang sudah lama ia pendam bisa tergapai.
“Sayang,” Roby menjawab dengan ringan. Ia mendapati pipi Karen memerah.
Alis kiri Karen terangkat seraya memicingkan matanya. “Kau merayu instrukturmu sendiri?”
“Instrukturnya sekarang ini adalah kekasihku.” Roby tersenyum hangat, Wajah Karen nampak semakin memerah.

Model BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang