Ikhlas

31 2 0
                                    

Siang yang cerah tidak menyurutkan semangat Roby untuk belajar, baginya belajar dengan kondisi apapun harus ia lakukan dengan sungguh-sungguh, apalagi dengan cuaca yang, ya, panas.
“Anak-anak, coba sebutkan siapa saja nama para pahlawan yang kalian ingat?”
Roby mengangkat tangan, ia berdiri dengan gagah.
“Maaf, bu, kalau jawabanku sedikit melenceng, tapi menurutku kalau kita bicara siapa saja nama para pahlawan, aku akan jawab, banyak.” Tangan Roby sedikit bergetar. Sebenarnya ia gugup. “Mungkin kalau ibu bertanya: siapa nama pahlawan besar yang berpengaruh dalam terciptanya kemerdekaan ini, makan saya akan menjawab dengan jelas, seperti Soekarno, Hatta, Kartini, dan lain-lain.”
“Mengapa kau berkata demikian?”
“Begini bu, aku mengibaratkan ini sebagai ‘sang pengikut’ maksudku, pahlawan bukan hanya orang yang kita kenal seperti sekarang ini, beliau memang para pahlawan, tapi kita juga jangan lupa kepada para pasukannya, coba kita pikir Bung Karno tidak bergerak sendiri, ia memiliki banyak ‘pengikut’. Orang-orang yang kita sendiri tidak tahu mereka itu siapa, tapi yang pasti orang-orang itu juga patut kita sebut pahlawan, mereka juga rela mati untuk bangsa ini, entah mereka mati di mana, karena tidak semuanya di makamkan di tempat yang sama,” Roby melihat ke semua arah, melihat teman-temannya yang memperhatikan. “coba kita renungkan, ketika kita menyanyikan lagu mengheningkan cipta, pasti terlintas dalam pikiran kita hanya pahlawan-pahlawan yang kita kenal, sedangkan para pengikutnya sendiri?” Roby memperlambat tempo bicaranya. “kita melupakan sosok mereka, sosok yang kita sendiri tidak tahu. Sekali lagi aku minta maaf bila lancang.” Roby kembali duduk.
Ibu guru tersenyum. “Memang benar apa yang dikatakan Roby, bahwa kita jangan hanya mengingat pahlawan-pahlawan besar saja, coba kita ingat juga para pejuang lainnya, pejuang yang tidak kita kenal namun mereka rela mati demi negara ini.” Ibu guru menatap Roby penuh rasa bangga. Semua bertepuk tangan.
Pandangan Karen terfokus kepada Roby, rasa bangga mengalir di darah Karen, ia takjub dengan pemikiran dan pandangan Roby yang tak segan memberikan pendapatnya.

***

“Kamu sudah siap?” Karen berdiri di depan pintu rumah Roby.
Roby berjalan menuju tempat duduk di ruang tamu dan duduk di kursi panjang yang menghadap ke arah pintu. “Boleh tidak hari ini aku tidak latihan dulu?” tanya Roby malas.
Karen menaikkan alisnya. “Tidak bisa!”
Roby kini berubah posisi, ia tiduran sambil mengipas-ngipas koran yang ia ambil dari meja.
“Aku ingin belajar.”
Karen menghampiri Roby. Menarik tubuh Roby hingga ia terduduk kembali. “Nanti saja.”
Roby menatap Karen dan kembali bersandar di kursi. “Belajar lebih penting daripada ini.”
Desahan panjang keluar dari mulut Karen. Ia kesal. “Bodoh! Kesehatanmu jauh lebih penting.” Rupanya Roby masih belum mengerti bentapa pentingnya kesehatan.
“Aku tidak merasa sakit, aku sehat-sehat saja.”
Karen menatap Roby dengan cemas, ia tahu Roby sedang tidak bersemangat. “Kamu boleh mengatakan itu sekarang, tapi lihat nanti sepuluh, dua puluh tahun kedepan.”
“Masih banyak waktu,” Roby hanya terduduk lesu. Ia menatap Karen dengan pandangan acuh. “ilmu lebih penting.”
“Keras kepala.”
Karen pergi masuk ke dalam kamar Roby. “Hei, mau kemana kau?”
“Tunggu di sana!”
Roby mengikuti Karen dari belakang dan menyusulnya. “Ini kamarku, kamu mau apa?” Roby mencegahnya untuk masuk.
Karen mendorong Roby ke samping. “Aku bilang tunggu di sana.”
Karen masuk ke dalam kamar Roby. Dua menit. Karen keluar sambil membawa tas.
“Mau kau apakan tasku?” tanya Roby bingung.
Karen memegang lengan Roby. “Sudah jangan bawel,” Karen menarik Roby ke luar rumah, “ayo ikut denganku.”
Motor berhenti tepat di parkiran stadion. Roby masih tak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Ia jenuh dengan rutinitas yang menurutnya hanya akan membuang-buang waktu belajarnya saja.
“Setelah kau selesai lari kita akan belajar,” ujar Karen memecah keheningan di antara mereka.
“Di sini?”
Karen membuka tas kecil yang ia bawa dan segera mengenakan sepatu sporty-nya yang berwarna biru muda. “Ya, belajar bisa dilakukan di mana saja kan?”
Roby menarik nafas panjang, desahannya menandakan seolah-olah dia tidak ingin melakukan semua ini.
Karen menaikan alisnya. “Ayo, tunggu apa lagi?”
“Iya bawel.” Roby membuka bajunya. Menggantinya dengan kaos olah raga berwarna biru tua dan mengenakan sepatu sporty-nya.
“Kita akan lari bersama, karena aku tidak akan membiarkanmu berhenti berlari,” Karen melirik jam di tangannya. “aku hitung sampai tiga ya, satu...dua...tiga!”
Karen dan Roby berlari. Roby berlari sangat lambat, dia sebenarnya bisa berlari lebih cepat tetapi, rasa malasnya membuat ia tidak bersemangat.
Karen memperlambat larinya. Menyeimbanginya dengan Roby. “Kenapa larimu malah semakin lambat?”
“Tidak apa-apa, memang seperti ini lariku,” jawab Roby dengan suara yang tepotong-potong.
Karen memegang tangan Roby, menariknya supaya ia berlari lebih kencang lagi. “Ini bukan kamu yang biasanya!”
Roby melepas genggaman tangan Karen. “Jadi kamu mau aku bagaimana?” Roby menghentikan larinya.
Karen terhenti, ia kesal. Tangannya mengepal. Lalu menunduk, menahan amarahnya. “Sudahlah tak ada untungnya untukku melakukan hal ini, aku pulang!” Karen berjalan menuju luar arena. Ia merasa percuma membantu Roby. Sebenarnya niat Karen sangat baik, mau membantunya agar ia lebih sehat dan langsing, sehingga tidak di remehkan oleh orang lain. Namun, Roby merasa tak ada gunanya melakukan kegiatan ini.
Roby masih diam di tempatnya. Tangannya memegang kedua lututnya. Peluh berjatuhan dengan derasnya. “Silahkan saja!”
“Egois!” ucap Karen sambil terus berjalan tanpa memandang ke arah belakang.
“Kamu yang egois!”
Karen terhenti. Ia menarik nafas panjang. Berbalik arah dan mendekati Roby yang masih diam di tempatnya. “Kamu bilang aku egois? Kalau aku egois, aku tidak akan membantumu seperti ini!”
Amarah Roby terpancing. Ia mencoba menahannya dan hanya menjawab sakenanya saja. “Aku tidak pernah memintamu membantuku, aku bisa sendiri.”
Karen kembali berjalan, mencoba mengacuhkan Roby. “Ya, dan pada akhirnya anak-anak bisa melihat semua hasil ujianmu dengan puas, itu kan yang kau inginkan?”
Roby nampak geram. “Aku akan menang!”
“Buktikan!”
Roby mendekati Karen. Ia mencoba menjawab dengan nada yang ringan. “Tapi tidak hari ini, kau tahu kan besok tugas Matematika akan dikumpulkan, dan aku harus mengerjakannya sekarang.”
Satu langkah. Dua langkah. Karen menghentikan langkahnya, ia masih tak memandang wajah Roby. “Aku juga belum mengerjakannya,” mata Karen nampak berlinang, “aku lebih memilih melatihmu daripada mengerjakan tugas, karena aku peduli kepadamu!” tak terasa air mata Karen mengalir di sela-sela pipinya yang lembab dengan keringat.
Roby tak dapat berkata apa-apa, ia sadar telah bertindak semaunya. Karen rela mengorbankan banyak waktu hanya untuk membantunya. Ada apa denganku? Gadis ini rela meluangkan waktunya hanya untukku. Mengapa aku tidak bisa sedikitpun menghargai pengorbanannya. Roby melangkah pelan. Ia mencoba meraih Karen yang terpaku menahan air matanya. “Maaf.”
Karen tetap acuh, ia kembali berjalan meninggalkan Roby. Roby berlari, dan menggapai tangan Karen.
“Aku minta maaf, aku egois.”
Karen terdiam, ia menghela nafas panjang. “Baiklah aku terima maafmu, tapi dengan satu syarat.”
Setidaknya amarah dan rasa kecewa Karen sudah mereda. Roby menerima semua permintaan Karen “Apa itu?”
“Kau harus lari satu putaran tanpa berhenti.”
Roby menelan ludah lalu mengulum bibirnya. “Kamu tega menyuruhku berlari sejauh itu?”
Karen nampak bersikap acuh. Di dalam hatinya ia mencoba menahan untuk tersenyum. “Kenapa tidak, kalau kau tidak mau aku akan pulang.”
Roby menarik nafas dan menghembuskannya dengan agak kesal. “Baiklah, tapi bila aku pingsan tanggung sendiri.”
Akhinya dinding pertahanan Karen untuk tidak tertawa rubuh. Senyum Karen melebar. Roby nampak melihat sesuatu di balik senyuman Karen. Entah apa makna dalam senyumannya itu. Sesuatu yang hangat. Roby menyukai itu.
Tak terasa sudah pukul tujuh malam, Roby dan Karen terduduk lemas di bangku penonton. Karen mengeluarkan buku yang ada di dalam tas Roby.
“Baiklah, sekarang saatnya kau belajar.”
“Ok.” Roby memandang Karen, “eh, kau tidak membawa buku?”
Karen menggeleng. “Tidak, nanti saja dikerjakan di rumah.”
Roby merasa tidak enak hati. “Kalau begitu kita pulang saja.”
“Aku kan sudah berjanji padamu sehabis olah raga ini kita langsung belajar, aku tidak mempersiapkan buku sebelumnya jadi, kau saja yang belajar.”
Roby merobek bagian tengah bukunya “Biar kita belajar bersama.”
Karen tersenyum. Ia tidak ingin larut dengan pesona Roby yang walaupun bertubuh gemuk namun memiliki wajah yang tampan. “Kebetulan ada soal yang tidak kumengerti kalau tidak salah soal nomor empat, bisa kau ajarkan aku?”
Roby tersenyum hangat. Kali ini ia mencoba untuk membalas usaha Karen yang rela membantunya. Setidaknya dengan mengajarinya. “Tentu.”
Malam yang gelap tak menyurutkan semangat dua insan ini untuk belajar. Stadion yang megah ini menjadi saksi dari canda dan gelak tawa yang mengalir di sela-sela belajar.
“Kau belum punya pacar?” tanya Roby tiba-tiba saat perjalanan pulang.
Karen menatap Roby dari spion motornya. “Aku? Belum.”
“Oh...”
“Kenapa, kau suka padaku?” tanya Karen sambil sedikit mendekatkan kepalanya ke bahu Roby.
“Hah? Bisa gila kalau aku suka padamu.”
Karen mencubit pinggal Roby. “Memangnya kenapa, ada yang salah denganku?”
Roby mengaduh pelan. Ia sedikit tertawa. “Tidak ada, aku hanya belum memikirkan hal itu.”
Karen menatap Roby yang sedang serius mengendarai motor.“Terus, kenapa kau tanyakan itu padaku?”
Roby diam sejenak. Ia pun tak sadar dengan apa yang ia ucapkan barusan. “Aku hanya bertanya saja, tidak ada maksud apapun,” Roby berpikir sebentar. Bulu kuduknya sedikit merinding, dingin. “kenapa kau lakukan semua ini kepadaku?”
Karen tak menjawab. Dalam renungan Roby, ia bertanya-tanya. Namun, Roby mencoba untuk memberanikan diri bertanya. “Kau menyukaiku?”
Karen memeluk Roby dari belakang. Rasa hangat mengalir di aliran darah Roby dan Karen. Ia tidak menjawab perkataan Roby. Hanya senyum sungging yang entah apa artinya menghiasi wajahnya yang putih bersih. Ia membenamkan kepalanya di bahu Roby. “Aku hanya tidak suka bila anak-anak yang lain menggunjingmu.”
Sesekali Roby menatap Karen dalam kaca spion. “Aku tidak apa-apa.”
“Mungkin kau merasa seperti itu, tapi tidak denganku, aku tidak suka orang lain meremehkanmu, kau itu terlalu baik untuk dilecehkan.”
Roby tersenyum. Namun, ia terheran-heran dengan apa yang di ucapkan oleh Karen. Jelas, gadis ini seperti menyimpan rasa kepada Roby. “Aku, baik?”
“Ya, kau pria yang baik, sudahlah sebenar lagi kita akan sampai di rumahmu.” Karen sengaja mengentikan ucapannya. Ada perasaan gugup saat mereka bersama. Perasaan yang dirasakan oleh mereka berdua.
Roby terdiam. Baru kali ini ada seseorang yang memujinya, ia tersenyum senang. Namun, rasa penasarannya masih menjalar disetiap denyut jantungnya tentang pertanyaan Roby yang tidak Karen jawab.
“Ingat pesanku, kau jangan makan malam, ok?” ujar Karen saat sudah sampai di halaman rumah Roby.
Roby memberikan hormat layaknya saat upacara bendera.
“Siap bu!”
Karen tersenyum, matanya yang bening membuatnya nampak begitu anggun. Roby merasakan sesuatu dalam hatinya. Perasaan nyaman yang membuatnya senang berada di sisi Karen. Walaupun kadang perasaan itu hilang bila Karen sudah menunjukan sifat keras kepalanya.
Selepas pulang dari stadion Roby bergegas tidur tapi, pikirannya tentang Karen tak berhasil membuatnya untuk segera tidur, ini merupakan kali pertama Roby memikirkan seorang gadis. Satu kali. Dua kali. Roby mencoba untuk memejamkan mata. Namun, hasilnya nihil. Bayangan Karen selalu ada di dalam benaknya. Ia berpikir Apakah ini cinta? tapi ia bantah jauh-jauh pemikiran itu.
“Masih belum waktunya untukku memikirkan hal itu!” gumamnya dalam hati.

Model BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang