Hanya

15 2 0
                                    

Siang itu cuaca sangat terik, Karen yang biasa mengenakan jaket pun melepasnya. Semua siswa keluar dari kelas ketika waktu sekolah telah berakhir. Roby menghampiri meja Karen.
“Bisa antar aku ke Mall?” tanya Roby tiba-tiba. Karen mendelik penuh tanya.
“Kapan?”
Roby menyimpan kepalanya di ujung atas kursi depan Karen. “Sekarang, ada yang harus aku beli.”
“Apa yang akan kau beli?” tanya Karen penasaran sambil merapikan buku-bukunya.
Roby berdiri sambil memegang perutnya. “Tidak perlu tahu, nanti juga kau akan tahu sendiri.”
Tanpa banyak basa-basi, Karen yang sudah membereskan bukunya langsung berdiri. “Ok, ayo!”
Roby dan Karen pergi bersama menuju Mall di kawasan Jakarta utara. Selama dalam perjalanan Karen tampak tidak begitu bersemangat walaupun ocehan-ocehan Roby sebenarnya terdengar lucu. Ada rahasia yang ingin Karen utarakan kepada Roby tapi ia masih ragu. Takut.
“Sebenarnya apa yang akan kau beli?” tanya Karen saat memasuki Mall.
“Ikut saja denganku,” ujar Roby sambil memegang jemari Karen.
Ada perasaan senang saat Roby memegang tangannya. Rasa yang sulit untuk ia ungkapkan. Ia mengikuti apa mau Roby. Dan, mereka tiba di toko boneka.
“Kau mau beli boneka, untuk siapa?” tanya Karen penasaran. Tanpa mementingkan jawaban dari Roby, Karen langsung masuk dan memilih-milih boneka yang lucu. Karen memang sangat benyukai barang lucu itu.
Roby menghampiri Karen yang nampak asik memilih boneka. “Untuk saudaraku, coba tolong kau pilihkan boneka mana yang menurutmu lucu.”
“Menurutku semua boneka di sini lucu, aku menyukai semuanya,” ujar Karen tanpa melihat pandangan mata Roby. Boneka bisa membuatnya lupa diri.
“Pilihlah yang menurutkmu lebih bagus.”
Karen menghampiri boneka berbentuk hati. Ia mengambilnya dan memilihnya. “Kurasa ini bagus.”
Bola mata Roby membesar. Jantungnya berdegup kencang. Pilihan yang di pilih Karen setidaknya mewakili perasaan Roby kala itu –cinta- meski ia sering menepis perasaan itu. “Kenapa itu yang kau pilih?”
Karen membelai boneka hati itu dengan pelan. Lembut. “Ini ada filosofinya.”
Roby ikut memegang boneka yang Karen pilih, membelainya. “Apa filosofinya?” tanya Roby penasaran.
“Ini selalu di ibaratkan hati kita, perasaan jatuh cinta, dan kasih. Kau berikan ini kepada suadaramu dengan maksud bahwa kau sangat menyayanginya dan mencintainya, aku yakin dia akan menyukainya.”
“Kau yakin?”
“Sangat yakin,” sambil memberikan bonekanya kepada Roby.
Roby menatap boneka berbentuk hati itu dengan penuh arti. Arti yang sebenarnya ia alami, perasaan yang menyelami hatinya hingga ia pun tak sadar perasaan itu telah bersarang dan beranak pinak di hatinya. “Baiklah kalau begitu, kita beli yang ini.”
Roby membayar boneka yang dipilih oleh Karen dan mampir di sebuah restoran makanan jepang. Hoka Hoka Bento. Suasana nyaman saat bersama Karen tak dapat ia pungkiri. Hatinya berkecambuk, memberontak. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Inikah cinta? Lagi-lagi terbesit dalam pikiran Roby tentang pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuat ia tidak bisa menjawabnya.
“Kita langsung saja ke rumahku, setelah itu ke rumahmu,” kata Karen.
Roby menyalakan mesin motornya. Karen sibuk mengatur posisi duduknya. “Baiklah kalau begitu, pegangan yang erat.”
Akhirnya mereka sampai di rumah Karen.
“Ibu masih belum datang, kau mau minum?” tanya Karen sesaat setelah mereka memasuki rumah Karen yang selalu tidak ada siapa-siapa.
“Air putih saja.”
“Tunggu sebentar.” Karen pergi ke dapur.
Roby meletakan tas dan bonekanya di bawah kursi. Sesaat Karen datang sambil membawa air minum.
“Tunggu sebentar, aku akan ganti pakaian dulu,” ujar Karen seraya pergi masuk ke dalam kamarnya.
Satu menit. Dua menit. Akhirnya Karen keluar dari kamarnya.
“Sudah siap?” tanya Roby sambil berdiri.
“Sudah, ayo!”
Roby mengambil tasnya dan pergi bersama Karen.
Setelah sampai di rumah Roby, mereka bergegas untuk pergi ke stadion, Roby mengendarai motor dengan sangat kencang. Ada perasaan senang dalam dirinya dikala mereka bersama, tertawa, dan bercanda. Sebenarnya Roby sadar kalau Karen sudah menjadi bagian di hidupnya. Namun, logikanya tak pernah ia tanggapi.
Selama olahraga pun mereka tak henti-hentinya bergurau, saling mengejek dan tak luput semprotan air minum pun dilakukan mereka. Roby senang, begitu pula dengan Karen. Hingga tak terasa waktu cepat berlalu dan mereka harus bergegas untuk pulang.
Setelah selesai mengantarkan Roby pulang, Karen tersenyum-senyum sendiri, ibunya yang melihat keanehan itu mengerti. Saat ia hendak duduk, tak sengaja ia menendang bungkusan yang ada di bawah kursi. Karen mengambilnya dan kaget setelah tahu bahwa bungkusan itu adalah milik Roby. Segera ia menelepon Roby.
“Hallo tante, ini Karen, Robynya ada?”
“Ada, tunggu sebentar ya?” ibunya Roby meninggalkan telepon yang masih tersambung. Dan, pergi ke kamar Roby untuk memberitahukan anaknya tentang siapa yang meneleponnya.
Tak lama Roby datang.
Suara Roby nampak pelan. Sepertinya ia baru saja bangun dari tidur singkatnya. “Iya, ada apa Karen?”
“Hei jenius yang pelupa, kau melupakan sesuatu,” ujar Karen dengan nada yang selalu bersemangat.
“Melupakan apa?”
“Coba tebak apa?” Karen mencoba untuk mengajak Roby bercanda.
“Apa?” tanya Roby malas.
“Ih, coba tebak,” paksa Karen.
Roby menghela nafas panjang. Ia sebenarnya sedang malas untuk bermain-main. “Ya, apa?”
Karen mulai kesal, tapi ia terus saja memancing Roby untuk menjawabnya. “Yang tadi siang kau beli.”
“Apa? aku tidak melupakan apapun.” Kali ini Roby tersenyum simpul. Sebenarnya ia tahu apa yang sedang diucapkan oleh Karen.
“Dasar pelupa! Boneka untuk saudaramu,” ujar Karen ketus. Menyerah dengan permainannya sendiri.
“Boneka apa?” ejek Roby.
Karen menaikan alisnya. Menggigit bibir bawahnya. Kali ini ia yang merasa dipermainkan. “Ya ampun, kau benar-benar lupa atau apa, sih? Tadi kau beli boneka bersamaku dan kau bilang boneka itu untuk sau..”
Belum sempat Karen melanjutkan ucapannya, Roby memotong dengan nada pelan tetapi jelas. “Itu untukmu.”
Karen terdiam. Ia tak mampu mengatakan apa-apa. Kedua bibirnya ia kulum ke dalam. Pipinya merona merah. Ada perasaan senang dalam dirinya tapi, ada pula perasaan bingung menyelimuti pikirannya.
“Kau tidak salah...”
“Itu untukmu.” sekali lagi Roby menjelaskan.
Boneka yang masih terbungkus kado itu ia pegang erat. “Untukku?” lalu Karen membuka bungkusan kadonya, “kau yakin?”
“Sangat yakin,” jawabnya singkat.
“Kenapa kau memberikannya padaku? Apakah karena perkataanku tempo hari?” tanya Karen kebingungan.
Roby semakin mendekatkan batang teleponnya ke dalam telinganya. “Tidak usah banyak tanya, aku hanya ingin membelikanmu saja.” Roby senyum-senyum sendiri.
“Ulang tahunku sudah lewat beberapa bulan lalu, jadi ini untuk apa?”
Roby menarik nafas panjang. Dan, sedikit meninggikan suaranya tapi, masih terdengar lembut. “Dasar cerewet, hm.., anggap saja itu sebagai ungkapan maafku kemarin-kemarin.”
“Kau yakin?” Karen memastikan.
“Kau tidak suka?” uji Roby.
“Eh, ah, Iya, aku suka. Terima kasih,” ucap Karen lirih. Hati Karen berbunga-bunga, ia sadar kalau ia menyukainya. Bahkan sudah lama. Namun, tak pernah ada usaha darinya untuk mencoba mendekati Roby yang dingin. Hingga tekadnya yang kuat membuat ia berani mendekatinya. Bukan dengan cara langsung, ia melakukan dengan tahapan-tahapan perlahan. Menarik ulur perasaannya. Hingga ia yakin Roby mulai memiliki perasaan yang sama kepadanya.
“Sama-sama,” ujar Roby singkat. “waktunya tinggal beberapa hari lagi,”
Karen terhenti dari lamunan singkatnya. “Waktu apa?” Karen tidak mengerti apa yang dikatakan Roby.
“Lomba lari.”
Karen menarik nafas. Hopeless. Ia pikir waktu yang Roby katakan adalah waktu untuk Roby mengutarakan hatinya. Dan, ternyata. “Oh, iya, kau sudah siap?” tanya Karen dengan suaranya yang kembali biasa.
“Siap,” Roby mengetukkan jarinya ke meja kaca tempat menaruh telepon rumahnya, “tapi, bila nanti aku kalah pun tidak apa-apa, setidaknya aku sudah berusaha.”
Karen tersenyum. “Ya, usahamu sangat keras, aku bangga padamu, Rob.”
Hening sesaat. “Terima kasih,” ucap Roby tiba-tiba.
Karen memeluk boneka hati yang ia pegang. “Untuk apa?”
“Terima kasih, kau dengan sabar melatihku, terima kasih kau sudah mau merelakan waktumu hanya untukku, terima kasih atas dukunganmu, terima kasih untuk semuanya,” ujar Roby lirih.
“Jangan dibesar-besarkan, aku sudah bilang padamu kalau aku ikhlas melakukan semua ini.” Karen semakin mempererat pelukannya.
“Kau adalah teman terbaikku.”
Jleb! “Teman?” mendadak dada Karen sesak.
“Iya, mungkin kalau kau tidak ada, aku tidak akan bisa seperti ini, yah, walaupun berat badanku masih 75 kilo gram, tapi atas usahamu, sekarang perutku sudah lebih langsing, kau selalu memberikan perhatian dan semangat untukku,” ucap Roby dengan ringan.
Karen tak dapat berucap apa-apa. Air matanya tiba-tiba menetes, ia sendiri bingung mengapa ia bisa mengeluarkan air mata.
Hanya sebatas teman? Hey! Kamu itu siapa? meminta lebih kepada Roby? Itu tidak mungkin.
Tak ada suara dari Karen. Roby nampak bingung. “Hallo, Karen, kau masih di sana?”
Lamunannya buyar seketika. “Ah, Iya aku masih.”
“Kenapa kau?” tanya Roby. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Karen.
“Tidak, tidak apa-apa, aku mendadak terkena flu.” Suara Karen nampak berubah, lebih berat dan sumbang.
“Kau harus cepat minum obat, agar sakitmu tidak semakin parah, ibumu sudah datang?”
Sesaat karen masih diam dalam lamuannya. Masih sempat perhatian seperti itu? Batinya berucap tanya. “Sudah, tidak apa-apa hanya flu ringan saja.”
“Kau yakin tidak apa-apa?” Roby meyakinkan.
“Iya, tidak apa-apa. Terima kasih untuk bonekanya.” Karen menutup telepon, ia kembali memasukan bonekanya, air matanya berlinang dan membasahi pipinya yang mulus.
Apa tidak ada sedikitpun perasaanmu padaku? Hatimu memang masih tertutup bak gembok yang tidak memiliki kunci. Mungkin aku hanyalah kunci yang salah, sehingga aku tidak akan bisa membuka gembok hatimu.

Model BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang