Senja menyerbu siang, burung-burung beterbangan kembali kesarangnya. Roby menginjakkan kaki di depan rumahnya.
Tok Tok Tok
Ibunya dari dalam rumah membukakan pintu.
“Mamah, aku rindu mamah.” Roby memeluk ibunya.
Ibunya hanya tersenyum hambar, tak ada kata yang terucap darinya.
Roby masuk ke dalam kamar, ia tidur, lalu melihat pigura yang terletak di laci samping tempat tidurnya. Karen. Ia sadar ia melupakannya, tapi dia tetap acuh. Ia beranjak dan mengambil piala dan pergi ke dapur, di sana ada ibunya yang sedang memasak.
“Mah, aku menang. Piala ini untukmu.” Roby mengulurkan piala yang ia pegang.
Tak ada respon dari ibunya. Roby bingung.
“Mamah kenapa, sakit?” tanya Roby yang merasa aneh melihat sikap ibunya yang berbeda kepadanya.
Roby hendak memegang dahi ibunya, namun di tepis kencang.
“Mamah kenapa, marah kepadaku, aku sudah lama tidak melihat mamah, aku rindu mamah, tapi aku melihat mamah berbeda, ada apa sebenarnya, mah?”
Ibunya menyimpan pisau yang ia pegang. “Selamat atas keberhasilanmu, tapi mamah tidak bangga kepadamu.”
Mendengar ucapan dari ibunya membuat Roby terpukul.
“Tapi mengapa?” mata Roby berlinang. “Roby melakukan semua ini untuk mamah, Roby ingin mamah bangga kepada Roby, lihatlah piala ini, Roby mempersambahkannya hanya untuk mamah.”
“Mamah lebih bangga dengan kau yang dulu. Kau yang sekarang telah berubah, mamah menyesal memberikanmu izin mengikuti acara itu.”
Roby terdiam, ia bingung dengan penjelasan ibunya, ia merasa tak ada yang berubah dalam dirinya.
“Apa yang membuat mamah berpikir kalau Roby berubah?”
“Sifatmu. Kau melupakan siapa dirimu dulu, melupakan siapa yang merubahmu menjadi seperti sekarang ini,” ujar ibunya yang kembai sibuk dengan masakannya.
“Maksud mamah aku melupakan mamah?”
Ibu Roby terdiam. Kemudian ia berbalik melihat ke arah Roby. “Kau ini pura-pura bodoh atau bagaimana, siapa yang merubah fisikmu seperti sekarang ini? Karen! Dialah seharusnya yang kau berikan ucapan terima kasih, bukan gadis yang baru kau temui.” Ibunya mulai kesal.
Tiba-tiba ia teringat Karen. “Jadi hanya karena itu mamah marah?”
“Hanya, Kau bilang hanya? Dia memiliki cinta yang tulus untukmu, tak sepatutnya kau berkata seperti itu.”
“Aku akan meminta maaf kapadanya, itu tidaklah sulit, ayolah, mah, jangan terlalu berlebihan,” pinta Roby.
“Mamah itu wanita, jadi tahu perasaan Karen, kau tahu, ia selalu datang ke rumah ini sebelum kejadian malam itu, hingga kau tiba-tiba manghancurkan hatinya seketika.”
“Mah, Karen pasti akan mengerti, tidak usah mamah khawatirkan dia.” Roby berusaha membuat ibunya tenang.
“Mamah ingin bertanya kepadamu, apa kau masih mencintainya?”
Roby terdiam. Bahkan ia lupa kalau Karen masih menjadi kekasihnya.
Ibunya menggeleng. “Kau memang sudah berubah, secepat itukah hatimu berpaling kepada orang lain?” ucap ibunya sambil berlinang air mata.
Ibunya mengusap air mata yang mengalir di pipinya dan kembali memasak. Roby masih terpaku, ia sadar ia telah melupakan seseorang yang ada salam hidupnya. Ia mengambil handphone yang ada di saku celananya. Mencoba menghubungi nomor Karen. Dari jauh ia mendengar deringan suara handphone, ia mencarinya. Suara itu datang dari dalam kamarnya, ia masuk ke dalam kamar dan melihat handphone Karen ada di sana.
Ia terduduk lemas, ia sadar, kali ini benar-benar sadar. Ia melupakan orang yang sangat berarti dalam hidupnya, orang yang selalu ada untuknya, memberi semangat untuknya, mencintainya dan rela melakukan apapun untuknya. Ia beranjak untuk pergi ke rumah Karen. Motor di ambilnya, ia mengendarai motor dengan sangat kencang tak peduli dengan apapun bahayanya.
Tuhan, bila memang dia bukanlah yang terbaik untukku hilangkanlah perasaan ini, maafkan aku yang lebih mencintai dia, hati ini tak dapat kukendalikan, nafsu untuk mencintainya jauh lebih besar, bisik Karen dalam hati.
Dari luar ada suara ketukan pintu. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan melihat dari balik jendela. Roby. Ia bersandar di balik pintu.
“Karen aku tahu itu kau, tolong bukakan pintunya,” ucap Roby lirih.
Sesaat Karen masih tidak memerdulikannya. Hati kecilnya tak dapat dibohongi ia merindukan Roby. Ia mencoba membuka pintu perlahan, nampak Roby dengan wajahnya yang kusut. Karen mencoba untuk terlihat acuh. Tak disangka tak dinyana, Roby langsung memeluk Karen. Sesaat ia terbuai dengan pelukan hangat Roby.
“Lepaskan aku!” bentak Karen perlahan.
Roby masih memeluknya, menangis. Air mata Roby membasahi baju Karen.
“Maafkan aku,” sesal Roby masih dalam pelukannya.
Karen memberontak tapi usahanya sia-sia, tenanga Roby jauh lebih besar darinya. “Aku bilang lepaskan aku!” bentak Karen agak keras.
Roby melepaskan pelukannya. Karen menatapnya tajam, namun dalam dirinya iba melanda.
“Sudah puas kau bermain-mainnya?” Karen menyindir.
Roby menatap wajah Karen dan menundukan kepalanya. Ia sadar ucapan maafnya tidak akan bisa mengembalikan rasa sakit hati Karen yang sudah terlanjur besar.
“Aku harap kau pergi dari sini, ini sudah malam, tidak baik seorang lelaki bermain ke rumah perempuan hingga larut malam.”
Disela-sela tangisanya, Roby mencoba untuk berbicara. “Aku tahu kau pasti sangat kecewa kepadaku, aku mengerti. Ini adalah kebodohan terbesarku, aku terlalu angkuh, aku lupa siapa diriku. Aku sadar kaulah yang selalu ada untukku, di saat aku bukan siapa-siapa, kaulah yang selalu ada, di saat aku terpuruk, hanya kau yang menyemangatiku, di saat tak ada yang mempercayaiku, kaulah yang percaya dengan kemampuanku, di saat aku di bawah, kaulah yang selalu bersamaku bahkan membuatku melesat tinggi, namun di saat aku...”
“Cukup! Apa kau tidak dengar apa yang tadi aku ucapkan, pergi!” Karen membentak Roby kencang.
Roby mencoba memegang tangan Karen. “Aku tahu kau butuh waktu untuk bisa memaafkanku. Aku tahu kau masih mencintaiku.”
Karen kesal, matanya mulai berkaca dan ia menutup pintu rumah. Karen terdiam, bersandar ke pintu, ia menangis. Dari luar Roby mendekat ke depan pintu.
“Maafkan aku, aku mencintaimu, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”
Roby pergi meninggalkan Karen yang masih dibanjiri tangisnya. Dari balik jendela ia melihat Roby. Sesungguhnya di dalam hati kecilnya, ia ingin mencegah Roby untuk pergi, ingin memeluknya, ingin memaafkannya, namun rasa sakit hatinya mencegah ia untuk melakukan semua itu.
Dalam perjalanan Roby menangis, ia sangat menyesali semua perbuatannya. Kali ini ia lebih memilih untuk tidak mengejar cita-citanya dari pada ia harus kehilangan orang yang ia cintai. Ia sadar keangkuhan dan kebodohannya sangat besarnya, ia merasa pantas untuk diperlakukan seperti ini. Roby mengendarai motor tanpa tujuan, ia tidak ingin pulang, udara malam yang dingin tak menyurutkan rasa bersalahnya.
Roby berhenti di depan stadion. Ia memarkirkan motornya dan masuk ke dalamnya. Ia berjalan pelan dan duduk di bangku penonton. Roby mengingat saat-saat indah bersama Karen, semua kenangan itu secara beangsur masuk dan semakin membuat Roby tak bisa menghalangi air mata untuk membasahi pipinya. Sudah tiga jam ia duduk di sana. Setelah itu ia beranjak ke lapangan, membuka jaketnya, membuka celana panjangnya dan berlari, ia ingin berlari sekencang-kencangnya. Ia ingin membuat dirinya lelah, terluka dan mati lemas, kakinya tergelincir saat putaran ke enam, ia terjatuh. Roby meremas tanah, menangis, berteriak dan kembali berlari dengan kaki yang sedikit agak pincang. Saat putaran ke delapan Roby tumbang, tapi ia masih sadar, mencoba berdiri dan terjatuh lagi, ia merangkak ke samping arena dan tergeletak di sana. Nafasnya menderu sangat kencang, ia lelah, benar-benar lelah. Pandangannya sedikit kabur, kepalanya berat, akhirnya ia kehilangan kesadaran.***
Kring Kring Kring
Karen mengangkat telepon. Ia nampak pucat pasi, berlari dan mengambil kunci motornya. Ibu Roby menelepon Karen, karena dari semalam Roby tak kunjung pulang, ia menanyakan kepada Karen apakah Roby berada di sana semalam. Karen merasa cemas, karena semalamlah Roby terakhir kali bersamanya. Karen benar-benar panik. Ia tidak ingin terjadi apa-apa kepada orang yang sangat ia cintai. Karen memacu motornya semakin cepat, ia tidak tahu kemana Roby pergi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Mungkin dia di sana, ya, pasti di sana! Karen semakin cepat melawan angin, rambutnya terurai panjang tidak berhelm, ia masih mengenakan baju tidur. Stadion adalah tujuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Model Berkisah
RomanceKetika kesetiaan dengan cita-cita saling berbenturan. Ketika cinta dan godaan saling berpandangan. Ketika pilihan harus di tetapkan. Ketika harus menerima kenyataan. Ketika keterpurukan melumpuhkan semangat hidup. Hanya kau yang mampu menjalaninya...