Nyaman

20 2 0
                                    

Roby resah. Hari ini adalah hari di mana perlombaan akan berlangsung, ia berangkat sekolah tidak seperti biasanya, semangatnya mendadak hilang karena ia tahu hal yang mustahil baginya bisa memenangkan lomba tersebut.
“Hei ndut,” ucap Karen dengan kebiasaannya yang selalu hadir saat Roby berangkat sekolah.
Dua sebutan yang berbeda. Ndut dan Jenius. Roby sesaat berpikir. Gadis ini, selalu saja tidak konsisten memanggil nama orang! Huh! Roby menoleh. Lemas. “Hai Karen.”
“Mau ikut denganku?”
Roby menggelengkan kepalanya. “Tidak usah.”
Karen penasaran dengan prilaku Roby yang tidak biasanya. Mata Roby seolah memberikan isyarat kalau ia tidak ingin hari ini tiba. “Kenapa wajahmu murung begitu?”
Roby tetap acuh. Ia mencoba untuk tidak mengatakan perihal ketidak siapannya. “Tidak apa-apa.”
Karen tahu Roby menyimpan sesuatu darinya. Ia tidak yakin walaupun ia sebenarnya tahu ada apa dengan Roby. “Kau menyembunyikan sesuatu?”
Akhirnya Roby membuka suara. Lirih.“Aku takut.” Matanya sayu. Baru kali ini ia takut melakukan sesuatu.
Karen heran. Matanya tak lepas dari Roby yang memang saat itu merasa tidak bersemangat. Lunglai. “Takut kenapa?”
Roby memandangi alam sekitar, masih banyak pohon yang rindang. Udaranya masih asri walaupun ia tinggal di tengah kota. “Aku takut gagal.”
Karen membentuk huruf ‘O’ di mulutnya. “Baru kali ini aku melihatmu pesimis seperti itu, kemana Roby yang kukenal?”
“Ini berbeda, aku tidak akan sepesimis ini kalau urusan belajar,” Roby meyakinkan kalau dirinya memang bersemangat kalau menyangkut masalah pelajaran.
“Kau melupakan satu hal.”
Roby menoleh ke Karen. “Apa?”
Karen mengentikan motornya. “Olah raga juga termasuk belajar, yang membedakannya ialah olah raga dilakukan di luar ruangan dan harus menggunakan fisikmu. Coba kau lihat pemain bola basket, mereka tidak mendadak bisa memainkannya, tapi mereka juga belajar, belajar cara membawa bola, cara melempar bola, dan sebagainya. Aku ingin kau mampu belajar bukan dari sience saja, tapi juga olah raga,” tutur Karen dengan cepat.
Roby termenung dalam diam. Keraguannya membuatnya seperti orang tak tentu arah. Mungkin kata yang bisa di ucapkan untuk menggambarkan perasaan hati Roby saat ini adalah ‘galau’.
“Tapi aku tidak menguasainya.”
Karen mencoba memberikan semangat kepada Roby. Ia turun dari motornya. Memegang jemari Roby yang buntet dan mengepalkannya. “Kau tidak akan pernah tahu kalau kau belum mencobanya.”
Karen melirik jam yang ada di tangannya. “Ayo ikut denganku, sebentar lagi bel berbunyi.”
Semua anak sudah masuk ke dalam ruang kelas, mereka sudah berganti pakaian mengenakan baju olah raga.
Pak guru datang ke dalam kelas. Ia mengenakan pakaian dinasnya. Tidak seperti hari biasanya yang selalu mengenakan pakaian olah raga. “Anak-anak, sepertinya perlombaan yang bapak janjikan akan diundur sampai  tiga bulan kedepan, karena bapak beserta guru-guru yang lain sepakat akan mengadakannya sehabis ujian sekolah.”
Semua anak bersorak, ada yang sedih, ada pula yang senang. Roby tersenyum, ia bersyukur dan melirik ke arah Karen. Tak ada ekspresi apapun dari wajah Karen.
Selepas pulang sekolah Roby menghampiri Karen yang sedang bersiap untuk pulang ke rumah. Ia melihat wajah Karen yang nampaknya agak sedikit pucat. “Kenapa tadi kau diam saja?”
“Tidak apa-apa,” jawab Karen sekenanya.
“Tadi aku yang murung, sekarang kau. Kamu tidak senang acaranya diundur?” Nada bicara Roby sedikit mengejek. Tapi, ia tahu ada yang tidak beres dengan gadis ini.
Helm berwarna putih ia kenakan. “Aku senang.”
Tatapan Roby tajam ke arah Karen. Ia seperti menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang tidak ingin orang lain tahu. “Lantas mengapa?”
Wajah pucat Karen nampak terlihat nyata. Ia berpikir. “Kau tahu kan kalau gadis sedang berhalangan mood-nya seperti apa?”
Roby mengangguk. Sebenarnya ada rasa yang tidak percaya atas ucapan Karen barusan. “Oh, maaf aku tidak tahu kau...”
“Tak apa, jadi kita ada waktu banyak untuk latihan,” ucap Karen dengan sedikit tersenyum. Memaksakan.
“Latihan lagi?”
“Iya, kenapa?” mata Karen menyipit. Sinis.
“Beri aku waktu istirahat satu hari saja.” Sambil memegang tangan Karen. Memohon.
Karen menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa!”
Roby berusaha mengeluarkan argumennya yang sebenernya sia-sia. Karen pasti akan membantah. “Otot juga perlu istirahat, lagi pula seminggu ini aku latihan terus,” keluh Roby.
Karen memegang rambut Roby dan mengacaknya. “Nanti saja istirahatnya hari minggu.” Roby hanya terdiam. Tumben Karen tidak bersungut-sungut bila Roby mengeluh. Ia merasa ada yang berbeda dari Karen. Suaranya nampak lirih namun terkesan bijak (apanya yang bijak?)
“Tapi kan.”
Karen memotong ucapan Roby yang belum sempat ia utarakan.“Tidak ada tapi-tapi.” Karen menyalakan mesin motornya dan memacu motornya pergi meninggalkan Roby sendiri.
Pukul lima sore. Roby masih menunggu Karen. Tidak biasanya Karen datang terlambat, biasanya sebelum ia selesai mengemasi barang-barangnya Karen sudah tiba, tapi kini, hampir satu jam Roby menunggu Karen di rumah namun, Karen tak kunjung datang.
Kring Kring Kring
Suara telepon yang terletak di ruang keluarga berbunyi. Roby beranjak, ia mengangkat telepon itu. “Halo.”
“Hai Rob, ini Karen.” Suara Karen dari seberang sana nampak lirih. Pelan.
“Karen, kau di mana? Aku sudah menunggumu.”
Suara Karen nampak berbeda dari sebelumnya. Terdengar sedikit serak. “Hari ini aku tak bisa datang, maaf, kau bisa berlatih sendiri kan?”
Kerutan di wajah Roby terlihat ketika mendengar ucapan Karen. “Kenapa mendadak?”
Suaranya nampak kurang jelas. Mungkin karena efek sedang sakit jadi terucap pelan. “Perutku sakit.”
Roby nampak cemas. “Mau aku antarkan ke rumah sakit?” Entah sejak kapan Roby kini agak perhatian kepada gadis yang selama ini ia tak sukai. Mungkin kebersamaanlah yang membuat hal itu muncul.
“Tidak usah, aku sudah biasa kalau datang bulan, selalu seperti ini,” elak Karen.
“Oh, begitu, tapi kau yakin tidak apa-apa?” sekali lagi Roby meyakinkan.
“Iya, maafkan aku, ya?”
Roby memeras batang teleponnya dengan kencang. Rasa cemas ini begitu menyiksa Roby. Mungkin ia memang sedang datang bulan. “Tidak apa-apa, kau cepat sembuh, ya?”
“Terima kasih Rob, bye.”
Bye...”
Roby tidak langsung menutup teleponnya, ia gelisah. Roby merasa kasihan kepada Karen. Apa bisa aku berlatih tanpa Karen? pikirnya. Aku sudah berjanji kepadanya bahwa aku akan melakukan ini, kali ini harus aku tepati. Roby mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Roby keluar rumah, membawa tas kecil dan handuk kecil. Ia pun olah raga sendiri di sekitaran rumahnya.

Model BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang