Sayang

25 2 0
                                    

Tiga bulan telah berlalu. Roby menjadi perbincangan hangat diantara teman-teman satu sekolah. Perubahan fisik dari tubuh Roby benar-benar terlihat nyata. Banyak teman-temannya yang mulai mendekatinya, termasuk teman wanitanya. Roby dengan fisiknya yang sekarang ini -walaupun belum di bilang ideal- membuat semua gadis di sekolah banyak yang menyukainya. Roby menjadi artis dadakan. Tak jarang juga teman dari kelas lain yang sebelumnya tidak mengenal Roby mendadak mengenalnya dan mau menyapanya. Sekedar meminta resep diet dan bla bla bla...
Di ruang kelas. Roby nampak sedang asik dengan buku-bukunya. Walaupun ia sudah berubah secara fisik, tetapi semangat belajarnya tak pernah luntur. Menurutnya satu-satunya hal yang membuat ia senang adalah membaca buku, entah itu buku pelajaran atau hanya sekedar buku sastra.
“Rob, tinggal sedikit lagi untuk membentuk perutmu,” ujar Doni yang berdiri di samping tempat duduknya. “kita fitness bersama yuk?”
Roby merasa aneh. Bukannya selama ini Doni tidak begitu dekat bahkan terbilang kurang menyukai Roby. Ada setan apa yang merasuki Doni sehingga mau mengajaknya olah raga bersama. “Fitness di mana?” tanya Roby tanpa memperhatikan Doni yang berdiri di sampingnya.
Roby tahu saat ini ia menjadi perbincangan hangat di antara teman-teman sekolahnya dan sikap Doni yang mendadak baik kepadanya bukan tanpa alasan. Ia ingin ikut populer seperti Roby.
“Nanti akan aku beri tahu, pulang sekolah kau ikut saja denganku,” ajak Doni.
Helaan nafas Roby menunjukan bahwa ia sedang berpikir. Lalu ia menutup buku paket bahasa Indonesia yang ia baca dan menatap Doni dengan ekspresi bingung. “Tapi aku harus latihan bersama Karen.”
Doni membungkukan badannya. Menyamaratankan dengan Roby yang kembali asik membaca buku. “Latihan bersamanya bisa dilain hari,” Doni agak sedikit memaksa dan mengambil buku yang sedang Roby baca.
Roby nampak berpikir, ia tidak enak menolak ajakan Doni tapi, ia juga tidak bisa meninggalkan Karen walau satu hari. Bersama Karen walaupun awalnya membosankan tapi lama kelamaan membuat Roby nyaman. Karen selalu ada ide untuk membuat Roby bersemangat tiap kali ia mulai merasa putus asa dengan urusan yang satu ini –mengecilkan perutnya-. “Bagaimana, ya, aku sudah janji kepadanya.”
Doni kembali berdiri dan menyimpan buku Roby yang ia pegang. “Tinggal batalkan saja, bilang saja kau sedang ada urusan denganku,” lalu Doni berbisik ke telingan Roby perlahan. “kau tidak malu bermain dengan anak perempuan terus?”
Roby menaikan alis seraya mengerutkan dahi. Ia paham dengan maksud dari perkataan Doni barusan ke telinganya. “Maksudmu?” Roby menggigit bibir bawahnya, iamencoba mengklarifikasi tentang kedekatannya dengan Karen “teman wanitaku hanya Karen saja, tak ada yang lain,” ia nampak memain-mainkan pulpen yang ia pegang, “dan, aku masih normal.”
“Kau pacaran dengannya?” tanya Doni penasaran.
“Tidak!” kata Roby membantahnya.
Doni tersenyum entah dengan arti apa, tapi yang pasti Roby tidak menyukai senyumnya itu. “Ya, sudah, aku tunggu pulang sekolah, ya.” Doni pergi meninggalkan Roby yang belum sempat berkata apa-apa.
Tak lama Karen datang dengan beberapa temannya dan menghampiri Roby yang masih terdiam. “Hei, jenius, seperti biasa, aku akan datang jam empat.”
Roby masih belum bisa berkata apa-apa. Ia masih terpaku di tempat duduknya. Ia berpikir harus mmemilih mana, ia merasa tidak enak dengan ajakan Dony yang sebenarnya terkesan memaksa. Namun, ia juga tidak enak tiba-tiba membatalkan jadwal rutinnya bersama Karen. Roby menarik nafas dalam dan menghampiri Karen.
“Karen, ada yang harus kita bicarakan.”
Tatapan Karen penuh dengan tanda tanya. Namun, ia membawanya santai. “Ada apa jenius?”
Tiba-tiba seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokannya, Roby sulit berkata apa-apa. “Aku tidak...”
Bel tanda masuk sudah berbunyi dan guru mata pelajaran pun sudah datang. Roby belum sempat membicarakan hal ini dan harus segera duduk di kursinya.
Hari itu Roby sangat bingung, ia tidak konsentrasi belajar, di pikirannya hanya ada pertanyaan apakah ia harus ikut Doni atau masih harus bersama Karen. Tak terasa jam pelajaran terakhir telah selesai, semua murid bergegas untuk pulang. Roby merapihkan bukunya lalu ia menoleh ke belakang. Karen sudah tidak ada di dalam kelas, ia bergegas ke luar kelas untuk mencari Karen, tapi Doni menghentikannya.
“Rob, mau kemana? Ayo ikut denganku.” Ajak Doni sedikit memaksa.
Roby gelagapan. Matanya terus memandang ke arah parkiran motor. Mencari sosok yang ia kenal. Karen. “Tapi aku belum bilang,”
Doni memotong perkataan Roby yang masih sibuk mencari sosok Karen. “Ah, tidak usah kau bilang pada orang tuamu dulu, kita tak akan lama.”
Roby menarik nafas dan membuangnya berat, ia tak dapat menolak ajakan Doni, perubahan di dalam tubuhnya membuat ia banyak di dekati oleh teman-temannya yang dulu hanya membutuhkannya saat ada ulangan saja.
Doni dan Roby tiba lima belas menit kemudian. Mereka memasuki gedung yang bertuliskan Gold Gym. Banyak orang di sana yang dominannya adalah laki-laki. Roby nampak sedikit canggung. Pasalnya ia belum pernah sama sekali datang ke tempat seperti ini. Karena dulu baginya olah raga bukan hal yang ia sukai. Ia mengikuti Doni yang pergi ke locker room.
“Di sini kita bisa memakai alat apa saja, untuk pemula sepertimu lebih baik kau mencoba angkat beban, tapi jangan terlalu berat.” Doni membuka suara setelah mereka kembali dari ruang ganti. Roby terkesima melihat tubuh Doni yang eksotis dan kekar berotot. “Coba latih biceps-mu (otot lengan sebelah atas) biar terlihat besar dan berotot.”
Roby menatap Doni, ia ragu. “Kamu bantu aku, ya?”
Doni tersenyum hangat. Baru kali ini ia melihat Doni tersenyum hangat kepadanya. Mungkin, ini memang sifat asli Doni di luar sekolah. Ramah. “Ok.” menepuk pundak Roby.
Roby dan Doni pun latihan bersama. Doni sangat telaten membantu Roby yang masih sangat amatir, ia sangat sabar membantu Roby menyelesaikan semua set yang menurut Doni baik di lakukan oleh pemula. Setelah selesai Dony mengajaknya untuk ke sauna.
Mereka kembali ke ruang ganti. Doni melepas semua pakaiannya dan hanya mengenakan CD dan menutupnya dengan handuk. Roby yang tak mempersiapkan apa-apa nampan mengerutkan alis. Doni paham maksud dari Roby, lalu ia membuka lokernya dan meminjaminya handuk. “Sebaiknya setelah latihan kita di sini,” ujar Doni setelah mereka berdua memasuki sauna “ini berfungsi setidaknya membakar sedikit lemakmu.”
Roby mengangguk. “Kau tahu banyak tentang ini?”
Doni menutup matanya dan menikmati mandi uapnya. “Tentu, aku member di tempat ini sudah hampir satu tahun,” ujar Doni jujur.
“Pantas saja badanmu bagus.” Jelas Roby yang sedang asik melihat bentuk tubuh Doni yang menurutnya sempurna.
Mata Doni kini terbuka. Ia menatap Roby dengan antusias. “Kalau kau mau berlatih keras, kau juga akan sama sepertiku,” Doni melihat tubuh Roby, “lihat dirimu, kau itu tampan, kalau kau sudah ideal nanti, maka akan samakin banyak gadis-gadis yang mendekatimu,” ujar Doni sambil menyenggol Roby.
Roby tersenyum hambar. “Oh ya?”
“Tentu saja, kau bisa pilih sesukamu.”
Roby mengerutkan dahi. Baginya, perkataan Doni sedikit melecehkan kaum perempuan. Roby sendiri adalah pria yang sangat menghargai wanita karena menurutnya wanita adalah manusia yang kuat. Di balik kelembutan wanita tersimpan kekuatan yang besar. Maka dari itu Tuhan lebih mempercayakan wanita untuk mengandung ketimbang laki-laki. “Hahaha, kau gila, memangnya mereka itu barang yang bisa dipilih sesuka hati,” ujar Roby sekenanya.
Doni kembali menutup matanya. Kedua tangannya kini di belakang kepalanya. “Aku hanya mengibaratkan saja.”
Hari sudah semakin senja. Doni mengantarkan Roby sampai di rumah. Ia masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Ia lelah, tak lama pandangannya mulai kabur, semuanya serba hitam dan ia pun tertidur pulas.
“Sayang, bangun.” Suara khas terdengar dari mulut ibunya yang baru tiba di rumah. Roby tidak sadar kalau ia sudah tertidur di ruang tamu. Ia melirik jam. Sudah pukul 17.42.
“Eh mamah.”’
Ibunya sibuk membuka sepatu. “Kau tidak olah raga hari ini?”
Roby menguap. “Sudah, tadi Roby diajak fitness sama Doni.”
Kini ibunya beranjak dari kursi dan berjalan masuk ke kamarnya. “Tumben kamu tidak bersama Karen,” ujar ibunya. Lalu ibunya masuk ke dalam kamar.
“Karen?” tiba-tiba Roby teringat Karen, lantas ia bergegas untuk segera menelepon ke rumahnya.
“Hallo, maaf tan, ini Roby, Karennya ada?” tanya Roby sedikut cemas.
“Bukannya dia bersama kamu, memangnya tidak ada?” Roby bingung. Kemana Karen pergi?.
“Oh, iya, tan, ini dia baru datang, maaf mengganggu.” di tutupnya telepon. Roby memikirkan sesuatu yang ia takutkan, ia takut Karen menunggunya di stadion. Ia lantas berlari keluar, memberhentikan tukang ojek dan pergi menuju stadion.
Dibutuhkan waktu dua puluh menit untuk bisa sampai ke sana. Roby cemas. Ia berpikir kalau Karen ada di sana dan menunggunya. Semoga saja ia ada di sana.
“Stop bang!” ojekpun berhenti, ia lekas membayar dan segera berlari, masuk ke dalam stadion.
Ia melihat Karen sedang berlari. Sendiri. Roby memperhatikan dari jauh.
Roby menghampiri Karen yang kini sedang istirahat. Karen menatapnya tanpa ekspresi apapun. Roby merasa bersalah. “Maaf aku tadi tidak ada di rumah.”
“Kemana saja kau? Ayo ganti bajumu, kau kehabisan banyak waktu, aku akan segera selesai,” kata Karen dengan wajah yang sedikit tidak bersahabat tapi, tetap dengan nadanya yang riang.
Roby menatap Karen dalam-dalam. Ia benar-benar merasa bersalah karena telah membuat Karen lama menunggu. “Aku minta maaf.”
Karen menunjukan wajah polos. Sebenarnya ada rasa kesal kepada Roby tapi ia mencoba untuk menyembunyikannya. “Untuk apa?”
Roby terlihat kikuk. Ia takut salah bicara dan akan membuat Karen marah. Namun, ia juga tak dapat berbohong, tak pernah ia berbohong untuk hal-hal kecil semacam itu. “Sebenarnya tadi aku pergi bersama Doni.”
Entah mengapa tiba-tiba perasaan Karen mendadak mengganjal. Tapi Karen berusaha untuk tidak terlihat kesal. “Oh, memangnya ada urusan apa?”
Roby ragu, mulutnya seperti tertahan sesuatu. Nafasnya memburu agak kencang, ia tahu Karen kurang menyukai Doni. “Aku diajaknya ke tempat fitness.”
“Kenapa kau tidak bilang padaku?”
Roby mencoba memperlambat tempo ucapannya. Suaranya lirih. “Aku tidak sempat, tadinya aku akan bilang padamu tapi, kau terlalu cepat pulang sehingga aku tidak sempat mengatakan apapun.”
“Terus untuk apa kau kemari?” ujar Karen yang seolah-olah tidak menginginkan keberadaan Roby di sana.
“Aku mencemaskanmu,” ucap Roby dengan suara yang agak lirih.
Karen menatap Roby tajam. “Aku bukan anak kecil yang perlu kau cemaskan.” nada bicara Karen agak meninggi.
Roby tahu Karen marah, apalagi mendengan Roby lebih memilih untuk pergi bersama Doni dari pada bersamanya.
“Kau marah padaku?”
“Tidak!”
“Kau marah.” Roby meyakinkan perasaan Karen yang memang benar marah.
“Aku tidak marah, sudahlah aku akan kembali berlari.” Karen beranjak dari duduknya. Dan, meminum tegukan terakhir dari botol minumnya.
Karen kembali berlari dan meninggalkan Roby sendiri. Roby membuka pakaiannya dan melepas sepatunya. Ia berlari mengikuti Karen.
“Untuk apa kau berlari?”
Roby sekuat tenaga mengejar Karen. “Aku akan menemanimu.”
Karen semakin mempercepat larinya. “Tidak usah.”
Roby pun ikut mempercepat larinya dan menyusul Karen. Mereka berlari saling berkejaran.
“Kau tidak akan pernah menang melawanku.” kata Karen melecehkan.
Roby nampak tertinggal jauh. Ia lelah, tapi terus mencoba menyeimbangi Karen. “Kalau sering berlatih aku pasti akan berhasil mengejarmu.”
Akhirnya Karen berhenti dan berjalan ke samping stadion. Roby menyusul.
“Coba saja,” Karen melempar handuknya. “usap dulu keringatmu.”
Roby mengambil handuk yang di lempar Karen, menciuminya. “Bau,” ejek Roby sambil melempar handuk.
“Wajar saja bau, ini penuh dengan keringat, ya, sudah kalau tidak mau, biar saja mukamu penuh keringat seperti itu,” ujar Karen sambil kembali mengelap keringat di lehernya.
“Kemarikan.”
Karen mendelik. Sedikit tersenyum penuh kepuasan. “Tidak mau!”
“Pelit.”
Senyum Karen merekah. Senyum di wajah Karen nampak sejuk. Roby selalu menyukai senyum yang tertempel di bibir tipis Karen. “Suruh siapa tadi menolak.”
Roby berlari kearahnya dan mencoba untuk mengambil handuknya, tetapi, Karen sebisa mungkin menahannya agar tidak diambil Roby. Roby menggelitiki Karen, tertawa, menggeliat, dan jatuh bersama-sama Roby.
“Hahaha... kau gila,” tukas Karen sambil terus mempertahankan handuk yang ada digenggamannya.
“Memang aku gila.”
“Kemarikan handuknya,” pinta Roby di sela nafasnya yang memburu kencang.
“Tidak mau!”
“Kalau tidak aku akan...”
“Apa?” bentak Karen. Roby selalu tahu kelemahan Karen. Ia paling tidak suka bila di ancam seperti itu.
“Memelukmu.”
Karen melemparkan handuknya. Di iringi tawanya yang khas.
“Mana mugkin kau berani,” lalu beranjak meninggalkan Roby yang masih terduduk lemas. “Ayo kita pulang,” ajak Karen sambil melirik jam tangannya.
Roby menatap Karen dengan penuh rasa sayang. Sayang? Mungkin itulah yang bisa di gambarkan dalam suasana hati Roby saat ini. “Kau sudah tidak marah padaku?”
“Aku tidak akan marah kalau kau mau membelikanku boneka,” ucapnya sambil membereskan barang-barangnya ke dalam tas.
“Apa?”
Karen menatap Roby penuh arti. Sepersekian detik ia melemparkan senyum simpulnya. “Becanda, aku tidak marah, ayo kita pulang.”
“Ayo.” Roby menyusul Karen yang sudah terlebih dulu berjalan pulang.

Model BerkisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang