Karen sedang sibuk menulis sebuah kisah ketika guru mata pelajaran PKN sedang menjelaskan materi. Dari belakang, salah seorang temannya memanggil. Karen melirik.
“Kau sudah tahu acara Indonesian Top Model akan di tayangkan di TV?”
Karen menggeleng. “Di stasiun TV mana?” tanyanya berbisik.
Temannya membungkuk dan berbisik. “Kalau tidak salah di RTTI, tapi masih segera, sih.”
Karen mengangguk perlahan. Bibirnya ia kulum. “Oh ya? Terima kasih atas infonya.” Karen kembali berbalik menghadap ke dapan, ia berpikir sejenak. Hatinya seperti ada yang kosong. Cepat kembali jeniusku, aku sungguh merindukanmu.
Bell sekolah berbunyi. Ia sesegera mungkin untuk pulang, ia ingin menyelesaikan tulisannya karena akan menunjukan kepada Roby bila ia pulang nanti. Akhirnya ia tiba di rumahnya, Karen langsung memasuki kamar dan berbaring di kasur empuknya. Karen tiba-tiba meneteskan air mata. Rindu. Di ambilnya kardus yang ada di bawah tempat tidur dan mengambil diarynya. Ia terus memandangi diary itu. Aku sudah berjanji tidak akan pernah menuliskan apapun kisahku kepadamu, tapi untuk sekali ini saja aku ingin memelukmu. Aku harap kau mampu mengerti isi hatiku, bisik Karen dalam hati.***
Semua finalis sedang bercanda gurau di kolam renang, Roby tampak tenang dengan celana pendeknya sambil berjemur. Tiba-tiba Shinta menghampiri.
“Boleh aku melukismu?” tanya Shinta tiba-tiba.
Roby melepas kacamata hitamnya. “Kau akan melukisku?”
Shinta mengangguk. “Iya, aku sedang ingin melukis seseorang, aku harap kau bersedia.”
Senyum Roby mengembang, matanya mendelik. “Lalu apa aku harus diam mematung?” kata Roby bercanda.
Sirat di mata Shinta sangat jelas. Roby menatapnya sesaat, lalu memejamkan matanya. Shinta mulai membangun konsentrasinya. “Tidak usah, kau cukup diam saja sambil berjemur.”
“Oh, ok!” Roby kembali berjemur dan memakai kacamata hitamnya.
Shinta sibuk dengan pensil dan kertasnya. Tak ada sedikitpun percakapan selama Shinta melukisnya.
Tiba-tiba Shinta memecah keheningan diantara mereka. “Jam dua nanti kita akan berkumpul di ruang serbaguna, kau sudah tahu?”
Roby mengangguk.
“Apa yang akan kau tampilkan nanti?”
Roby kembali melepas kacamatanya.
“Pantomim,” singkatnya.
Kertas yang sedang ia lukis kini dipeluknya. Shinta menatap wajah Roby yang terpejam. “Ide yang bagus, kau sudah pernah melakukan sebelumnya?”
Roby membuka matanya perlahan. Silau. “Tidak, tapi aku meminta Dave mencontohkannya untukku. Dia anak teater.”
Shinta mengangguk pelan. Ia menyimpan kertasnya di meja. “Pantas saja pertunjukan kemarin ia sangat hebat,” ucap Shinta seraya melihat ke arah Dave.
“Ya,” jawab Roby singkat.
Senyum Shinta merekah, ia mencoba untuk menekan rasa malunya. “Boleh aku mengajarkanmu?” pinta Shinta.
Roby hanya menoleh sesaat. “Kau bisa akting?”
“Ya, kalau kau ingin tahu, sebenarnya aku juga dulu masuk komunitas teater, bahkan sempat menjadi sutradara dalam sebuah pertunjukan kecil.”
Roby bangkit, melepas kacamatanya dan memandang wajah Shinta fokus. “Kalau begitu ajarkan aku.”
“Tentu.” Shinta tersenyum.
Tepat jam dua siang semua finalis berkumpul. George memegang kendali.
“Kemarin pak Presiden meminta kita untuk menampilkan semua bakat kita dalam satu pertunjukan. Untuk itu bila ada yang memiliki ide, silahkan angkat tangan.”
Roby angkat tangan, ia memberikan ide yang akan di tampilkan nanti. Semua finalis setuju dengan ide Roby.
Setelah acara berkumpul selesai, tak lama Pak Guntur datang, ia adalah fotografer yang akan memontret mereka. Semua peserta di berikan kostum masing-masing. Roby memakai celana katun hitam, sepatu pantofel dan memakai kemeja putih dengan dasi hitam.
“Roby, coba kau buka kemejamu hingga pusar, ok, lalu tanganmu yang kanan memegang siku sebelah kiri, ok, tajamkan pandanganmu, fokus, ya, seperti itu, tahan... ok!” pak Guntur melihat hasilnya, tersenyum. “Roby coba sekarang kau tegap, iya, kemejamu agak dibuka sampai ke bawah pundak, bagus, lalu jempolmu memegang bagian bawah bibirmu, iya, sempurna, tahan... ok!” pak Guntur kembali melihat hasilnya, kerutan di dahinya nampak terlihat. “Oh iya, untuk semua peserta yang selesai di foto, kalian silahkan masuk ke ruangan serbaguna, untuk langsung berlatih catwalk bersama kak Yoki.”
Roby bergegas masuk ke ruang sebaguna, di sana sudah ada Shinta, Angel, Thomas, dan Tubagus. Ia melihat Shinta yang sedang berlatih berjalan mengenakan pakaian bekas pemotretan tadi. Pandangannya tertuju kepada Shinta. Tersenyum. Kini giliran Roby, ia berjalan dengan penuh percaya diri.
“Stop!” kata kak Yoki.
Ia menggeleng-geleng sambil memegang dagunya. “Coba kakimu agak lebih lebar.”
Roby mengikuti apa yang diperintahkan kak Yoki. “Seperti ini?”
Senyumnya mengembang. Kak Yoki mengangguk perlahan. “Benar, coba sekarang berjalan.”
Roby kembali berjalan.
“Stop, coba kau pasang wajah cool.”
Roby nampak kikuk, ia tidak tahu cara memasang wajah cool seperti apa.
Kak Yoki kembali tersenyum. Kak Yoki menghampiri Roby dan berdiri tepat di depan Roby. Ia mencontohkan ekspresi wajah yang kak Yoki maksudkan. “Kalau kau bingung coba kau naikan sedikit alismu, pandanganmu tajam seolah ingin menerkam mangsa.”
Roby mencobanya dengan perlahan.
“Bukan seperti itu,” kak Yoki menggeleng, “begini saja, kau pasang wajah sombong.”
Roby paham. Ia memasang wajah sombongnya sambil berjalan.
“Ok, bagus,” kak Yoki mundur, “ke arah kanan, iya, selesai.” Kak Yoki menghampiri Roby “Coba kau lebih sering melatih mimik mukamu, agar terlihat nampak natural, ok?” Roby mengangguk.
Shinta mendengar percakapan mereka dan menghampiri Roby.
“Butuh bantuan?”
“Untuk apa?” tanya Roby heran.
“Kau nampak kesulitan dengan mimikmu,” Shinta menyipitkan matanya, “aku bisa mengajarkanmu.” Kedua alis Shinta terangkat.
“Boleh, nanti malam bisa?” pinta Roby.
“Baiklah.” Shinta lantas pergi ke luar.
Setelah serangkaian acara selesai dan semua finalis kembali keperaduannya, Roby bersama dengan Shinta pergi berlatih di ruang serbaguna.
“Pertama-tama kau atur dulu nafasmu, tarik perlahan dan hembuskan lewat mulut.”
Roby mengikuti apa yang dikatakan olah Shinta.
“Setelah itu coba lakukan ini.” Shinta menggerakan seluruh wajahnya.
Roby menatapnya dengan tatapan aneh, tubuhnya seperti digelitiki, ia tertawa.
Shinta menghentikan mimiknya yang terlihat aneh bagi Roby. Ia mengerutkan dahi. Matanya mendelik tajam. “Mengapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?”
Tanpa dosa dan masih tertawa lantang Roby menjawab. “Kau, kau yang lucu.”
Bogem mentah mendarat di lengan atas Roby. Ia mengaduh kesakitan. “Kau ini, yang aku lakukan ini adalah latihan mimik,” Shinta menarik nafas panjang dan mengenduskannya perlahan. “Kau mau mencobanya tidak?” Roby hanya mengangguk pelan, ia menghentikan tawanya saat Shinta memukulnya, namun rasa gelinya masih menggelitik. “Lakukan itu selama dua menit!” perintah Shinta.
Masih dengan sedikit tawanya kini Roby mengikuti apa yang dikatakan oleh Shinta, menggerakan wajahnya, dua menit telah berlalu, kini wajah Roby nampak pegal.
“Pipiku pegal,” katanya sambil memegang pipinya.
“Itu artinya kau melakukannya dengan benar.”
“Apa tidak ada dampak apapun?”
“Tidak ada, justru ini bagus untuk otot wajahmu. Wajahmu akan nampak lebih kencang dan awet muda.” Shinta memegang wajahnya, “seperti wajhku ini yang awet muda.” Ia cekikikan sendiri.
Roby menyipitkan matanya. “Apa benar?”
“Iya, sudahlah, kau bisa latihan ini setiap hari, kau akan lihat hasilnya nanti. Ayo kita kembali ke rumah,” ajak Shinta yang berjalan pergi meninggalkan Roby.
Terlihat Roby tersenyum simpul. “Terima kasih.”
Shinta meliriknya sesaat, lalu tersenyum. “Sama-sama.”
“Selamat malam,” ucap Shinta ketika mereka mulai memasuki kamarnya masing-masing.***
Karen berhenti tepat di depan pelataran rumah Roby. Ia mengetuk pintu rumah Roby. Seseorang dari dalam rumah membukakan pintu.
“Eh ada Karen, ada apa?” tanya ibu Roby dengan senyuman yang manis.
“Maaf tante aku mengganggu,” Karen memegang kedua tangannya, “aku hanya ingin berada di sini saja.”
Ibu Roby tersenyum. Ia tahu anaknya menjalin hubungan khusus bersama Karen. Ibunya setuju karena ia tahu kalau Karen memang benar-benar mencintainya. “Silahkan masuk.” Karen masuk dan duduk di ruang tamu.
Tak lama Karen duduk dan menatap ruangan sekitar. Ibu Roby izin kebelakang untuk mengambil minum untuk Karen, lalu duduk di hadapan Karen. Melihat ekspresi wajah Karen yang nampak tidak bergairah membuat ibu Roby iba. “Kau pasti merindukan Roby?”
Karen mengangguk.
Mata ibu Roby melembut. Ia memberikan senyuman hangat kepada Karen. “Dia pasti kembali, kau sabar saja.”
Kedua tangannya ia remas. Karen benar-benar tidak dapat mengendalikan rasa rindunya. “Entahlah tante, semenjak Roby pergi, perasaanku menjadi tidak karuan.”
Beliau mendekati Karen dan merangkulnya. “Kau pasti sangat mencintainya.”
Karen termenung. “Apa di sana dia merindukanku?”
Ibu Roby tersenyum. “Pasti ia juga merindukanmu.”
Senyumnya mengembang namun hanya sesaat. Ia memegang tangan ibu Roby, mengelusnya. “Tante, boleh aku masuk ke kamar Roby?”
“Silahkan saja, kalau kau mau tidur di sana juga tidak apa-apa.”
Lantas Karen berdiri. Sesaat ia tersenyum ke arah ibu Roby. “Terima kasih, tante.” Langkah kakinya perlahan namun pasti. Kamar Roby terletak di lorong yang menghubungkan antara ruang tamu dan ruang keluarga. Ia duduk di samping tempat tidur Roby dan melihat foto mereka yang Roby simpan di pigura. Ia memeluk erat.
“Entah di mana dirimu berada, hampa terasa hidupku tanpa dirimu, apakah di sana kau merindukan aku, seperti diriku yang selalu merindukamu, selalu merindukamu...” Karen bernyanyi. Air matanya kembali terurai. Hei jeniusku, aku merindukanmu, teriaknya dalam hati.***
Tinggal satu minggu lagi. Kini Roby semakin dekat dengan Shinta, mereka bak pinang dibelah dua. Kemanapun Roby berada, Shinta selalu ada di sampingnya, begitupun sebaliknya. Roby seolah melupakan orang yang telah membuatnya berada di sini. Tak pernah sekalipun ia mengingat Karen. Sosoknya tergantikan oleh Shinta.
Pak Guntur kembali datang dan memberikan arahan.
“Hari ini kita akan belajar cara berbicara di depan kamera sekaligus mempublikasikannya sebagai media promosi,” ucap pak Guntur. Ia berdiri tepat di depan semua finalis yang duduk di ruang serba guna.
Semua finalis nampak senang tak terkecuali Roby. Pak Guntur bersama rekannya, akan merekam mereka semua satu persatu.
“Di sini kalian akan hanya akan menyebutkan nama lengkap kalian, usia, asal sekolah atau universitas, dan alasan mengapa kalian berhak menjadi juara di ITM ini, paham?”
“Paham,” jawab semua finalis.
Roby menjadi peserta terakhir yang akan di rekam. “Hai, perkenalkan nama saya Roby Arizka, usia saya delapan belas tahun, asal sekolah, di SMA Negeri satu Jakarta. Saya berhak menjadi juara karena saya memiliki kemampuan daya saing yang tinggi, karena itulah saya menjadi finalis termuda di sini, sebab kemampuan bukan dilihat dari seberapa tuanya kita namun bagaimana cara kita bertindak dan menyelesaikan masalah. Sekian dari saya, terima kasih,” ucap Roby dengan penuh percaya diri. Roby puas dengan apa yang diucapkannya. Ia tahu video ini akan dijadikan iklan di TV, maka dari itu ia melakukannya dengan sangat baik.
“Tadi bagaimana?”
Shinta tersenyum. Ia mengangkat kedua jempolnya. “Bagus, kau tak terlihat gugup, tidak sepertiku.”
“Apanya yang gugup, tadi aku melihatmu sangat lancar dan asik ketika kau berbicara.” Roby menatap Shinta dengan pandangan yang berbeda. Ada gejolak yang mendidih di hatinya.
“Bagaimana dengan latihanmu?” Shinta membuka suara.
“Benar apa yang kau katakan, sekarang aku sudah lebih baik.”
Mata Shinta terlihat hangat. “Nanti setelah acara ini selesai, aku boleh main ke rumahmu?” pinta Shinta.
Roby tersipu. Wajahnya memerah. “Tentu saja, kau boleh main kapanpun kau mau.”
“Aku ingin menemui ibumu,” kata Shinta tiba-tiba. “Kau selalu bilang tentang ibumu yang luar biasa, untuk itu aku ingin melihat sosok yang menurutmu sangat luar biasa itu. Beliau pasti sangat cantik dan pintar karena bisa melahirkan anak yang sempurna sepertimu.”
Roby kembali tersipu malu. Wajahnya kian memerah bak tomat yang matang. “Ibuku memang cantik,”kali ini wajahnya tidak begitu merah. “Kau mau melamarku?” tanya Roby bercanda.
“Mana ada wanita melamar pria, harusnya kamu yang melamarku.”
Roby memasang wajah imutnya. “Kau mau aku lamar?” rayu Roby.
Shinta tersenyum melihat tingkah Roby yang terlihat kekanak-kanakan. “Kalau kau berani,” tantang Shinta.
“Ok, akan aku coba.”
Shinta membelalakan matanya. Ia merasa kini Roby tidak main-main. “Kau serius?”
“Menurutmu?”
Shinta tak menanggapi perkataan Roby.
“Ayo makan, sudah waktunya makan siang,” ajak Shinta yang beranjak pergi keluar ruangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Model Berkisah
RomantikKetika kesetiaan dengan cita-cita saling berbenturan. Ketika cinta dan godaan saling berpandangan. Ketika pilihan harus di tetapkan. Ketika harus menerima kenyataan. Ketika keterpurukan melumpuhkan semangat hidup. Hanya kau yang mampu menjalaninya...