Dear diary
Aku tak pernah membohongi perasaanku tentang seorang yang aku cintai. Mungkin kali ini cintaku terlalu besar seperti langit yang tak berujung. Seperti bintang yang tak dapat dihitung. Maafkan aku karena kali ini aku lebih memilihnya daripada dirimu. Diary, bila kau bisa marah, kau pasti akan marah besar kepadaku karena aku termakan ucapanku sendiri, tapi itu adalah hakmu. Akupun memiliki jawabanku sendiri bila suatu saat kau akan meminta penjelasaku tentang beribu pertanyaanmu.Aku berjanji padamu bahwa aku tidak akan menuliskan kesedihanku lagi bila aku bersama dia. Di sini, untuk terakhir kalinya aku menuliskan tentang perasaanku padanya bahkan mungkin semua kisahku di masa mendatang tak akan kutulis lagi di sini, sudah cukup aku berbagi kisah denganmu. Aku memiliki Roby yang bisa mendengar keluh kesahku, kesedihanku, amarahku, senangku, semuanya... semuanya akan kuceritakan kepada Roby, karena ialah si jeniusku. Kekasihku.
Karen menatap catatan hariannya lalu menyimpannya di kardus. Di bawah kasur.
Selamat tinggal Diaryku, selamat datang Roby.
Mega nampak terlihat orange memerah. Keringat mengalir di sela-sela leher Roby yang basah, ia tersenyum. Karen menyeka keringat yang ada di tubuh Roby, perhatiannya nampak nyata terlihat.
“Aku pikir kau tidak akan pernah menyatakan perasaanmu kepadaku.”
Roby tersenyum, ia menatap wajah Karen. “Aku tidak tahu mengapa keberanian itu bisa muncul, aku sadar aku menyukaimu tapi, hatiku berat untuk mengatakannya. Perkataanmu membuatku sadar, aku benar-benar tidak ingin kehilanganmu, cukup sekali kau menghilang dari hidupku. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi, tak adanya kau di sampingku membuatku frustasi.”
“Cinta membuat orang berubah, kau tahu, sebelum bertemu denganmu, aku adalah gadis yang tidak percaya adanya cinta. Aku berkata seperti itu karena aku melihat orang tuaku, ibuku, dia bisa hidup tanpa cinta.”
“Dia memiliki cinta. Kamu.” ujar Roby seraya mengusap keringat yang ada di kening Karen.
“Ya, aku tahu, cintanya hanya untukku. Ayah mencampakan ibu begitu saja, aku pikir cinta adalah antonim dari nafsu, tapi aku salah setelah aku mengenalmu.” Karen nampak bahagia, matanya bening indah.
Sesaat Roby menatap Karen dengan penuh cinta. “Aku, ada sesuatu untukmu.” Roby mengambil sesuatu dalam tasnya, dan mengeluarkan kotak kecil.
“Apa ini?” tanya Karen penasaran.
“Buka saja.” Roby melirik bungkusannya.
Karen membuka kotak kecil yang terbungkus oleh kado. “Handphone?” Roby tersenyum. “Ini pasti sangat malah, dari mana kau mendapatkan uang sebanyak ini untuk membeli handphone?”
“Ini adalah hasil dari pemotretan kemarin.”
“Kau sengaja membelikannya untukku?” Karen menatap handphone yang ia pegang dan menyerahkannya lagi kepada Roby, “bagaimana aku bisa menerimanya kalau kau sendiri tidak punya.”
Roby mengeluarkan kotak yang kedua, kali ini tidak dibungkus dengan kado. “Aku membeli dua, yang ini untukmu dan yang ini untukku. Aku juga membeli kartu perdananya, nomor ini hanya berbeda satu angka dibelakangnya.”
“Tapi ini, ini terlalu bagus untukku, aku tidak bisa menerimanya.”
“Kau lebih tega aku memberikannya kepada orang lain?” ujar Roby dengan mimik datar. Roby selalu melakukan itu bila keinginannya tidak dipenuhi. Hal yang konyol tapi itulah keunikannya.
Karen tersenyum. Ia selalu tersenyum tiap kali melihat mimik datar di wajah Roby. “Bukan itu, tapi kau tahu aku tidak terbiasa dengan ini.” Karen menatap HP yang ia pegang.
“Agar komunikasi kita lebih baik, mengapa tidak?” Roby memegang tangan Karen dan menyimpan handphone ke dalam genggaman Karen, “lagipula semua ini berkat kau juga.”
“Semacam balas budi?”
“Bukan itu maksudku...”
“Aku terima, terima kasih, sayang.” Karen memeluk Roby erat.
Roby memasukan handphonenya dan mengambil minum. “Aku ingin tahu mengapa kau menyukaiku?” ujar Roby sambil menyapu air minum yang ada di bibirnya.
Karen menatapnya sayu. Ia memandangi langit sore yang terlihat indah hari itu. “Entahlah, dulu kau sangat gemuk, tak menarik, dan sombong. Itu pendapatku sebelum mengenalmu, tapi ternyata tidak, kau orang yang mau berusaha, pantang menyerah dan cerdas,” ucap Karen jujur dan kembali menatap Roby penuh makna.
“Sejelek itukah aku di matamu dulu?”
Karen mencoba menahan tawanya. “Tidak jelek, buktinya aku sudah mulai menyukaimu ketika kau masih gemuk, aku tidak pernah memandang cinta dari fisik. Kau gemuk, aku tetap menyukaimu, kau kuruspun, sama. Aku merubahmu karena aku tidak ingin kau di hina oleh teman-teman. Dan, bukan hanya itu, aku memperdulikan kesehatanmu. Kau pasti tahu resiko pria gemuk seperti apa.”
“Aku tahu dan aku sangat berterima kasih kepadamu yang telah menyadarkanku betapa pentingnya kesehatan, dulu saat masih gemuk berjalan sedikit saja sudah berkeringat banyak, berdeda dengan sekarang.”
“Aku tahu kau memiliki potensi untuk berubah,” ujarnya lirih.
“Aku pikir kau lebih mengenalku daripada diriku sendiri,” kata Roby tiba-tiba.
Lapangan luas menjadi objek penglihatan Karen selanjutnya. “Tidak, tetap kaulah yang mengenal dirimu sendiri, aku hanya mencoba untuk paham akan kondisimu.”
“Kau membuatku sadar akan keharusanku memedulikan kesehatan.”
Mata Karen kosong. Ia seperti meragukan sesuatu. “Semoga kau tidak berubah dan tetap menjadi dirimu yang seperti ini.”
“Waktu yang akan menjawabnya.”
Karen memandang Roby, membelai pipinya yang basah oleh keringat. “Waktu tak dapat menjawab, kitalah yang akan menjawab waktu.”
“Kau benar-benar gadisku.” Roby mencubit pipi Karen dan kembali berlari. Karen yang tidak terima lantas mengejar Roby. Canda dan tawa hadir diantara mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Model Berkisah
RomanceKetika kesetiaan dengan cita-cita saling berbenturan. Ketika cinta dan godaan saling berpandangan. Ketika pilihan harus di tetapkan. Ketika harus menerima kenyataan. Ketika keterpurukan melumpuhkan semangat hidup. Hanya kau yang mampu menjalaninya...