"NaGeen? Kau di kamar mandi?" Ravaz mengetuk pintu perlahan. Ia mendengar isakan keponakan tirinya.
"Paman! Paman Ravaz!" isak NaGeen dengan tubuh gemetar ketakutan. Air mata telah membasahi wajah manisnya yang berlesung pipit. "Maafkan NaGeen, Paman! NaGeen janji tidak akan nakal lagi, jadi kumohon Paman memaafkan aku!"
"Iya, iya, kau memang keponakan yang nakal. Tapi, Paman sudah tidak marah padamu karena semalam kau merusak tanaman bunga Paman dengan bola sepakmu. Ayo, keluarlah." Ravaz mencoba membuka pintu, tetapi terkunci. "Na, buka pintunya."
Isakan NaGeen makin mengeras. "Sebentar lagi kurasa aku akan mati!" Jantung gadis berusia sembilan tahun itu berdegup dengan sangat cepat. Ia masih berdiri di tengah kamar mandi seraya memandang ngeri celana dalamnya yang penuh darah di lantai kamar mandi berwarna hijau pupus.
"NaGeen!" Panik, Ravaz mendorong pintu kayu bercat hijau pupus itu dengan bahu tegapnya. "Kau baik-baik saja? Buka pintunya!"
"Ak-aku akan membukanya," ujar suara serak NaGeen. Dengan gemetar dan lemas, ia memutar anak kunci, lalu membuka pintu. "Aku akan mati ...."
Ravaz terkejut mendapati keponakan tirinya hanya mengenakan atasan piama, dengan wajah basah dan rambut ikal sebahu yang tampak kusut. Kedua tangan rampingnya memegangi perutnya, dan ia tampak kesakitan.
"Apa yang terjadi?!" Ravaz berusaha keras tidak melirik ke arah paha kecokelatan NaGeen yang telanjang. Atasan piamanya hanya menutupi pangkal pahanya. Shit, dia hanya bocah! geram Ravaz mengingatkan dirinya.
"Paman ... perutku sakit sekali dan ... dan waktu aku mau buang air kecil tadi, celana dalamku penuh darah!" tutur NaGeen masih menangis sambil memegangi perutnya. Lututnya terlihat gemetar.
Ravaz akhirnya melihat onggokan celana dalam putih yang kini memerah itu. Pria itu menghela napas lega dan tersenyum. Lalu ia mendekati NaGeen dan memeluk gadis itu. Dibelainya lembut rambut ikal lebatnya. "Sayang, kau akan baik-baik saja. Kau tidak akan mati. Itu ... pasti haid pertamamu."
"Haid?" tanya NaGeen bingung. "Aku ... tidak akan mati??"
Ravaz melepaskan pelukannya dan menatap lembut keponakannya. "Benar. Memangnya kau tidak diajarkan di sekolahmu?" Ravaz melanjutkan saat gadis itu menggeleng bingung, "setiap perempuan pasti akan mengalami hal ini. Hmm, memang sih terlalu dini karena kau masih kelas empat SD ... tetapi tidak apa-apa. Jadi, mulai saat ini, kau akan mendapatkan haid setiap sebulan sekali, selama beberapa hari."
Mata bulat NaGeen membelalak takut. "Sampai seumur hidup?"
Ravaz tersenyum lembut. "Tidak, Sayang, nanti ada masanya haidmu berhenti." Kini Ravaz mundur, menjauh. "Sebaiknya kau cuci celanamu. Aku akan meminta Mbok Yu membelikan pembalut haid untukmu."
Setelah pintu ditutup Ravaz, NaGeen baru menyadari ketelanjangannya. Wajahnya merah padam dan ia luar biasa malu. Aduh, dasar NaGeen bodoh!! rutuknya dalam hati.
Tadi saking paniknya, tidak sadar jika dirinya hanya mengenakan atasan piama! Meskipun Ravaz adalah pamannya, tetapi tidak ada hubungan darah karena Ravaz merupakan adik tiri ayah NaGeen. Jadi, tidak seharusnya NaGeen bersikap ceroboh! Bukankah ibunya sudah memperingatinya?
Tapi, berkat Ravaz, ia sedikit lega. Ia baru tahu yang namanya haid. Sambil mencuci celana dalamnya, NaGeen mengingat-ingat perkataan Ravaz. Tadi pamannya menyebut-sebut soal pembalut haid. Seperti apa bentuknya dan bagaimana cara pakainya??
NaGeen masih berdiam di kamar mandi sampai Mbok Yu mengetuk pintu kamar mandi.
"Non NaGeen, ini pembalut dan celana dalamnya. Biar Mbok bantu pasang pembalutnya, ya?"
NaGeen membuka pintu kamar mandi sedikit. Ia hanya melongokkan kepalanya. "Bagaimana, Mbok caranya?"
Mbok Yu menunjukkan cara memasang pembalut pada celana dalam dan NaGeen mengangguk-angguk. Setelah itu ia menerima celana dalamnya. "O ya, Mbok, tolong ambilkan celana panjangku ya, soalnya celana piamaku ... kotor."
Mbok Yu tersenyum mengerti. "Siap, Non."
***
Karena NaGeen sakit perut, Mbok Yu membawakan sarapannya ke kamar. Bubur ayam dan susu.
"Terima kasih, Mbok." NaGeen berdeham. "Omong-omong, Paman Ravaz di mana, Mbok?"
"Tadi pergi, Non. Kenapa?"
NaGeen menggeleng dan mulai menyuap buburnya. Ia sebetulnya tidak berselera makan, tapi ia tidak mau semakin sakit perut. Karena itu ia memaksakan diri untuk menelan bubur ayam buatan Mbok Yu.
Menjelang sore, Ravaz belum juga pulang. NaGeen yang sudah tidak terlalu sakit perut, entah kenapa merasakan adanya dorongan untuk pergi ke ruang kerja pamannya. Sejak tinggal di sini enam bulan yang lalu, baru kali ini NaGeen memasuki ruang kerja pamannya, yang ternyata tidak terkunci——mungkin Ravaz lupa menguncinya.
Jantungnya sedikit berdebar saat melakukan hal terlarang ini——Ravaz memang tidak mengizinkan NaGeen untuk masuk ke ruangan pribadinya. Saat membuka pintu, aroma jeruk segar langsung menyergapnya. Matanya takjub kala disambut rak-rak kayu tinggi menjulang yang disesaki buku-buku yang menempel pada seluruh dinding bercat broken white. Tepat di hadapan NaGeen, terdapat meja dan kursi kayu yang tampak kokoh. Di atas mejanya terpasang sebuah komputer.
Telapak kakinya menyentuh karpet lembut berwarna cokelat tua saat ia melangkah menuju meja. Mata gadis kecil itu membelalak terkejut kala mendapati foto ibunya yang terpajang di bingkai ukuran kecil di samping komputer.
Di dekat foto, terdapat sebuah novel bersampul hitam berjudul "My Love, Angelica". Tidak ada gambar, hanya judul dan nama penulisnya, "Ravaz".
Angelica? Itu kan nama ibunya. Tapi ... apa maksud judul novel ini? NaGeen bertanya-tanya dalam hati.
Dengan tangan gemetar dan jantung berdegup sangat cepat seperti saat akan mengikuti ujian di sekolah, jari-jemari ramping NaGeen membuka sampul novel dan mendapati tulisan di halaman pertama.
"Novel ini hanya ada satu di dunia, khusus kubuat untukmu, Angelica."
*** PROLOG ***
moccamocca, Jumat, 6 Januari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE STORY
RomanceNaGeen Anjani, gadis muda yang mengenal cinta begitu prematur. Ia menjatuhkan hati pada Ravaz, penulis yang merupakan paman tirinya. Namun, sebuah kenyataan masa lalu yang kelam atas dirinya tercemari oleh pamannya sendiri .... Akankah rasa cinta it...