Dadanya terasa sakit. Aneh sekali. Mungkin lapar, pikir NaGeen seraya menjauh dari jendela dan pergi keluar dari kamar, menuju ruang makan. Ia mengambil makanan yang disimpankan Mbok Yu, lalu duduk di meja makan. Namun, entah kenapa makanan yang digigitnya terasa hambar. Sebutir cairan bening membasahi pipi kirinya. Tanpa sadar ia menyekanya. Cairan itu jatuh lagi, kini mengaliri kedua pipinya. Kemudian, saat ia mendengar suara tawa Ravaz dan tawa seorang wanita--mungkin wanita yang tadi--NaGeen dengan tergesa menghapus air matanya. Ia mendengar suara mereka menghilang ke bawah tangga.
Siapa wanita itu? pikir NaGeen. Ia benar-benar kesulitan menelan makanannya. Akhirnya ia meminum segelas air putih kemudian menyimpan makanannya kembali ke meja makan, di dalam tudung saji. Ia terlalu penasaran dengan wanita itu.
Perlahan ia menuruni tangga, menyusuri lorong yang dingin untuk mencapai pintu ruang kerja Ravaz. Lalu ia mendengarnya. Desahan dan erangan itu. Dengan tangan gemetar NaGeen meraih pegangan pintu dan membukanya. Ia mengerjapkan mata.
Ravaz tengah mengetik di laptop sementara si wanita bergaun putih memunggungi NaGeen, sepertinya juga mengetik sesuatu--di meja yang sama. Di layar televisi di sebelah kanan NaGeen, dekat sofa set, terpampang adegan percintaan sepasang wanita dan lelaki, polos tanpa busana.
"NaGeen?" Ravaz buru-buru mengambil remot dan mematikan televisi. "Bukankah kau sedang membaca buku itu?"
Wanita berambut ikal sebahu itu menoleh dan tersenyum malu pada NaGeen. "Hai, selamat sore," sapanya ramah.
Jantung NaGeen berdegup kencang. Ada rasa tidak suka di hatinya, membuat sekujur tubuhnya panas membara.
"Siapa wanita itu? Apa yang kalian lakukan di sini?!" NaGeen tidak menjawab pertanyaan pamannya. Matanya tajam menusuk pada si wanita.
Ravaz mengerutkan dahinya. "Kau tidak sopan, Na." Pria itu meminta maaf pada wanita yang duduk di hadapannya. Ia melangkah mendekati NaGeen lalu menarik lengan gadis itu keluar dari ruang kerjanya. Ia menutup pintu di belakangnya. "Apa-apaan, NaGeen?"
NaGeen menyentakkan lengannya. "Siapa dia? Kenapa wajahnya mirip ibu? Apa dia pengganti Angelica?" Mata NaGeen memandang ke dinding bercat broken white di belakang pria itu.
"Dia ... temanku. Dia sedang belajar menulis novel. Dia minta diajarkan cara menulis adegan dewasa, makanya kuputarkan blue film agar ia mendapat inspirasi untuk tulisannya," jawab Ravaz.
"Paman pasti senang sekali," sindir NaGeen tajam, "apa wanita itu belajar berciuman juga pada Paman? Aku tadi melihat di dekat pintu pagar depan."
Ravaz mengangkat alisnya. "Oh, kau melihat kami? Itu hanya salam. Lagi pula hanya di pipi." Pria itu berdeham sebelum bertanya, "Omong-omong, Na, kau sudah selesai membaca novel Angelica?"
"Sudah," jawab NaGeen singkat.
"Apa kau ... jadi jijik pada Paman setelah mengetahui soal perbuatanku pada ibu dan ayahmu?"
"Jijik? Tidak. Aku hanya ... marah," jawab NaGeen cepat.
"Kenapa?"
"Kurasa hal itu wajar mengingat Paman sangat mencintai ibuku. Lagi pula Paman sudah menyesal kan. Aku ... tidak jijik." NaGeen kini menatap wajah pamannya yang balas menatapnya dengan kening berkerut.
"Na, kau tidak membenci Paman?"
"Tidak," jawab NaGeen tegas. Ia mendongak dan mata hitamnya menatap langsung Ravaz. "Apa Paman masih mencintai ibuku sampai sekarang?"
Ravaz terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Aku ... tidak bisa memberi tahumu."
"Baiklah, tidak masalah. Hmm, apa aku masih boleh membantu Paman untuk membalas e-mail para pembacamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE STORY
RomanceNaGeen Anjani, gadis muda yang mengenal cinta begitu prematur. Ia menjatuhkan hati pada Ravaz, penulis yang merupakan paman tirinya. Namun, sebuah kenyataan masa lalu yang kelam atas dirinya tercemari oleh pamannya sendiri .... Akankah rasa cinta it...