Ravaz membawa NaGeen ke sebuah kamar hotel di mall. Tetapi, meskipun gairah sudah berada di puncak dan ingin dipuaskan, pria itu tidak melakukan apa pun. Ia hanya duduk di tempat tidur berseprai putih berlapis bedcover merah marun, menatap NaGeen yang duduk di sebelahnya. Tangannya menggenggam tangan NaGeen erat.
"Paman ..." akhirnya NaGeen memulai percakapan, "kenapa terus-menerus menatapku?"
Ravaz mengulas senyum. Ia menggeleng bingung. "Aku ... tidak bisa menulis beberapa hari ini."
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku membuka laptop, tetapi yang kupikirkan itu kau, NaGeen. Aku tidak bisa melakukan hal yang selama ini kusukai. Kukira ... menulis dan membaca buku akan menghilangkanmu dari benakku, seperti yang selama bertahun-tahun ini kulakukan, tetapi aku salah besar. Sekarang hal itu sama sekali tidak berhasil."
NaGeen terdiam. "Mungkin karena baru beberapa hari. Setelah minggu berganti, bulan berganti, tahun——"
Ravaz tersenyum sendu. "Entahlah, mungkin saja," jawabnya tidak bersemangat. Ia kembali terdiam sebelum bertanya, "Ayah dan ibumu belum tahu soal perbuatan Cakra padamu?"
"Belum," NaGeen menggeleng, "aku malu dan takut mengatakannya pada mereka."
"Oh," gumamnya. Pria itu lalu melepaskan genggamannya. "Sepertinya kau juga merahasiakan perbuatan brengsekku pada orangtuamu, y?"
NaGeen mengangguk.
"Seandainya orangtuamu mengetahui perbuatanku padamu dulu ... aku pasti akan dibunuh Reeve." Mata itu penuh kesedihan. "Aku terlalu pengecut untuk mengakui hal itu——"
NaGeen menghentikan ucapan pamannya dengan jari-jemarinya yang bebas. Gadis itu tersenyum seakan ingin menangis. "Biarlah itu menjadi rahasia di antara kita berdua. Hanya aku dan Paman yang tahu."
"Kau sudah memaafkanku?"
NaGeen menggeleng. "Belum, Paman, tapi ... meskipun begitu, aku merindukan Paman."
Ravaz menunduk, mengecup bibir ranum NaGeen, seringan angin yang mengembus pucuk dedaunan di sore hari. Lalu bibirnya beralih ke pipi gadis itu, mengecupnya dengan sayang. "Aku takut Cakra akan menyakitimu," bisik pria itu di pipinya.
NaGeen menggeleng. "Aku belum akan menerimanya. Aku akan berkencan dengannya beberapa kali sebelum aku memberi keputusan untuk menerimanya atau tidak."
Genggaman Ravaz mengetat, membuat NaGeen mengaduh. Pria itu buru-buru melepaskan tangannya. "Maaf."
NaGeen mengalungkan kedua lengannya pada leher kokoh pria itu, matanya menatap lembut. "Paman, bercintalah denganku, biarkan saat ini aku hanya mengingatmu, dan kau mengingatku. Sekarang, hanya ada kita."
Ravaz menggeleng. "Aku tidak membawa pengaman."
NaGeen meneteskan air mata karena gairah yang sangat ingin dipuaskan pamannya. Ia sedikit merengek, "Bukankah Paman tahu caranya supaya aku tidak hamil?"
"NaGeen, aku ... merasa bersalah pada Reeve."
"Please, Paman, untuk terakhir kalinya, sebelum aku berkencan dengan Cakra."
Kata-kata NaGeen membuat Ravaz ingin menenggelamkan dirinya di danau atau lautan terdalam. Terakhir kali, pikir Ravaz tersenyum pahit. Ia merangkum wajah mungil NaGeen, mencium bibirnya dengan gairah yang tidak ditahannya. Ia menyelusupkan lidahnya dengan mudah tanpa meminta NaGeen, sebab mulut gadis itu dengan sukarela telah membuka dan menyambut lidahnya, menguarkan aroma harum yang lembut.
Ravaz terkejut saat NaGeen mendorongnya telentang dan menindihnya, lalu menciuminya dengan keliaran yang tak disangkanya. Lidah gadis itu menjilati bibirnya, dagunya yang tak bercukur, lalu meraih telinganya, membuat Ravaz mengerang. "NaGeen!" Ia mencengkeram pinggul gadis itu saat lidah panas NaGeen menggoda telinganya. "Ah, NaGeen, NaGeen." Kedua tangan pria itu merambat naik, menyelinap ke balik kaus merah mudanya, merayapi punggungnya, mencari kaitan. Tidak berhasil membukanya, ia mendorong bra gadis itu ke atas, lalu menangkup kehangatan kenyal itu, memberikan sensasi luar biasa yang merambat dari telapak tangan ke sekujur tubuhnya. Ia senang mendengar rintihan NaGeen. Diremasnya sepasang gundukan yang masih tersembunyi di balik kausnya.
NaGeen sepertinya tidak sabar karena ia melepaskan kausnya sendiri, lalu mencium bibir Ravaz sementara kedua tangan pria itu meremas-remas payudaranya, memberikan kenikmatan pada NaGeen.
"Paman, Paman!" desah gadis itu seraya membuka satu per satu kancing kemeja pamannya.
Ravaz senang NaGeen begitu bergairah terhadapnya, tetapi ia juga cemburu memikirkan bahwa gadis ini mungkin akan melakukan hal yang sama pada pasangan hidupnya nanti. Hentikan, Ravaz, jangan merusak suasana! Nikmati saat-saat yang ada, sebelum semuanya berakhir! seru suara hatinya.
Ravaz mengerang dan terengah saat mulut dan lidah NaGeen bermain pada salah satu putingnya sementara tangan gadis itu telah menyelinap masuk dan mengusap kejantanannya yang mengeras. Rupanya gadis itu telah membuka kancing dan ritsleting celana jeans-nya. Ia sudah tidak bisa menahan diri lagi. Digulingkannya NaGeen sehingga gadis itu berada di bawahnya, sepasang matanya menatap Ravaz penuh damba. Diciumnya mulut gadis itu dengan gairah yang menggelegak. Ciumannya menuruni leher mulusnya, lalu kedua payudaranya. Dilahapnya salah satu puting merah mudanya yang keras dan mencuat, lalu puting yang sebelahnya, membuat NaGeen meremas-remas rambut lebat Ravaz.
"Sebentar, Sayang." Ravaz turun dari tempat tidur untuk membuka celana jeans-nya. Matanya mengawasi NaGeen yang juga berkutat dengan celana jeans dan celana dalam merah mudanya, terlihat buru-buru dan frustrasi. Pria itu tersenyum senang, lalu naik ke atas tempat tidur. "Biar kubantu." Ravaz menarik turun celana jeans dan celana dalam gadis itu, seraya menciumi kulit eksotis yang terasa mulus di bibirnya.
Ravaz berusaha keras menahan kesedihannya. Ia akan memberikan yang terbaik untuk NaGeen, agar gadis itu selalu mengingatnya. Masa depan tidak ada yang tahu kecuali Sang Pencipta. Ia hanya bisa pasrah. Ia tidak mau lagi menyakiti Reeve. Jadi, ia akan merelakan NaGeen, kecuali ... NaGeen mengandung bayinya.
Jantung Ravaz berdegup kencang memikirkan hal itu. Tetapi, ia tidak berharap terlalu banyak.
"Paman ...." NaGeen langsung membuka kedua kakinya saat tubuhnya telah terbebas dari semua pakaian yang seolah mengurungnya. Bagian bawah tubuhnya terlihat kemerahan, lembap oleh cairannya, dan berkedut, membuat Ravaz menahan napasnya tanpa sadar.
Ravaz mendekat, lalu mulai menjilati kewanitaan NaGeen, menjilati cairan gadis itu. Lidahnya membelai-belai dengan cepat permukaannya, naik-turun, lalu menekan titik rangsangnya agak kuat, membuat gadis itu menggelinjang nikmat dan menjerit keras seraya mencengkeram kedua bahu kokoh Ravaz.
Ravaz bangkit, lalu meminta NaGeen menungging. Melihat NaGeen malu, pria itu tersenyum. "Berbaliklah, Cantik," bisiknya parau. Saat NaGeen telah menungging, Ravaz langsung mengangkat bokong eksotis dan kencang gadis itu, membuat NaGeen mendesah.
"Paman ...."
Sambil berlutut dengan posisi membungkuk, Ravaz kembali menjilati kewanitaan NaGeen dari belakang. Kini, lidahnya melesak masuk ke dalam, menjilati dinding-dinding vagina gadis itu yang terasa hangat dan sempit. Jarinya juga ikut membelai-belai dan menekan titik rangsang NaGeen, membuat bokong NaGeen bergerak-gerak liar. Lidah Ravaz tiba-tiba merasakan remasan kuat dinding-dinding vagina dan siraman cairan NaGeen saat erangan gadis itu memenuhi ruangan kamar yang remang-remang, menyambut klimaksnya.
Tubuh gadis itu bergetar sementara Ravaz memeluk bokongnya. Napas keduanya terengah-engah. "Paman, masuki aku, Paman, cepat!" rengeknya.
Ravaz juga sudah tidak sabar, seperti dirinya. Ia lantas mengarahkan kejantanannya yang tegang dan besar ke arah vagina sempit NaGeen yang telah siap.
🐇🐇🐇
moccamocca, 22 Februari 2017
Silakan tinggalkan kritik dan saran untuk NaGeen dan Ravaz.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE STORY
RomansaNaGeen Anjani, gadis muda yang mengenal cinta begitu prematur. Ia menjatuhkan hati pada Ravaz, penulis yang merupakan paman tirinya. Namun, sebuah kenyataan masa lalu yang kelam atas dirinya tercemari oleh pamannya sendiri .... Akankah rasa cinta it...