ENAM ~ HUJAN

7.3K 418 28
                                    

Gelap mulai turun saat bibir Ravaz mengecup lembut bibir NaGeen. Bibirnya memagut bibir bawah, bibir atas, bibir bawah lagi. Setelahnya, pria itu mendongak dan melihat reaksi NaGeen.

Wajah eksotis NaGeen merona. Napasnya terengah dengan jantung yang berdegup sangat cepat. Mulutnya membuka, lalu lidahnya menjilati bibirnya sendiri. "Paman ...."

Ravaz kembali mencium bibir lembap itu, menikmati rasa manisnya. Manis, harum, dan muda. Bibir itu terasa sejuk seperti hujan. Kedua tangannya mencengkeram wajah NaGeen, menahannya agar ia leluasa menciuminya. Lidahnya membujuk gadis itu agar membuka mulutnya. Saat mendengar desahan NaGeen, ia tahu ia bisa saja menyetubuhi gadis ini, tetapi ia tidak melakukannya. Dengan gairah yang menggelegak lidahnya memasuki mulut NaGeen, mencari titik-titik rangsang, membuat gadis itu mengerang di dalam mulut Ravaz.

Ravaz merasakan kedua tangan NaGeen mencengkeram erat bagian depan kausnya. Ia melepaskan ciuman mereka, melihat bibir gadis itu yang basah dan sedikit bengkak, dengan mata sayu berlumur ketakutan dan gairah belia. Napas mereka terengah-engah.

"Apa yang kaurasakan?" tanya Ravaz.

"Aku merasa nyaman, meskipun sedikit takut."

"Apa kau merasa jijik?"

NaGeen menggeleng dengan senyum. "Tidak, Paman. Aku ... menikmatinya," jawab NaGeen jujur.

Ravaz tersenyum. Tiba-tiba pria itu bangkit dan meninggalkan NaGeen, membuat gadis itu beringsut duduk dan seketika badai rasa malu menghantamnya. Ia menunduk dalam-dalam sambil memainkan kedua tangannya. Gugup.

"Pantas dingin. Jendelamu masih terbuka," ucap Ravaz sambil menutup  jendela serta tirai putih dan pink, mencegah angin malam memasuki kamar NaGeen. Ia lantas kembali ke tempat tidur keponakannya. "Paman akan membantumu. Paman berharap kau sembuh dan tidak takut lagi dengan sentuhan lelaki." Punggung tangan besarnya mengelus pipi lembut dan kencang NaGeen.

Napas NaGeen terasa tercekat di tenggorokan. Ia masih menunduk.

"Sekarang ... kau makan ya. Kulihat di meja makan, makananmu belum habis. Mau Paman buatkan spageti?"

Perut NaGeen tiba-tiba berbunyi keras. Ia lapar. Di benaknya terbayang sepiring spageti lengkap dengan saus dan daging cincang serta bawang bombay dengan taburan keju parmesan. Makanan favoritnya. Air liurnya menetes. Ia langsung mendongak dan mengangguk senang. "Mau!" serunya.

Ravaz terkekeh. "Kau memang masih anak-anak." Tangan besar itu mengacak-acak rambut NaGeen, membuat gadis itu cemberut.

"Apa ... terjadi sesuatu tadi dengan ... Clara? Di mana dia?"

"Tidak terjadi apa-apa. Dia masih di bawah. Kutinggalkan dia ...."

"Clara masih di bawah? Lantas kenapa Paman ke sini?"

"Paman ingin minta maaf soal tadi, makanya ke sini, dan ternyata kau memang marah dan akan pulang."

"Aku yang seharusnya meminta maaf. Aku tahu ... tidak ada wanita seistimewa ibuku." NaGeen menjauh dari Ravaz lalu turun dari tempat tidur. "Cepat, Paman, aku lapar!"

Ravaz hanya menggeleng-gelengkan kepala kemudian menyusul NaGeen.

***

Cinta? NaGeen pikir terlalu cepat rasa itu. Selama delapan belas tahun, ia memang belum pernah jatuh cinta pada seseorang. Suka? Mungkin pernah. Tetapi rasa suka biasa, bukan yang menggebu-gebu. Mungkin sebatas simpati dan kagum. Mungkin seperti terhadap idola. NaGeen iri pada pamannya yang mempunyai cinta begitu dalam pada ibunya. NaGeen iri pada ibunya yang dicintai begitu dalam oleh pamannya. Meskipun, tentu saja, cinta ayah dan ibunya sama-sama dalam.

NaGeen memandangi rintik-rintik hujan yang menampar-nampar jendela kamarnya. Malam telah larut, tetapi ia belum bisa tidur. Dibukanya jendela, lalu ia duduk di birainya, menikmati hujan.

Dalam dinginnya hujan, ia tiba-tiba merindukan kehangatan pelukan. Dan, Ravaz muncul di benaknya, mendekapnya dari belakang, menghujaninya dengan kecupan-kecupan ringan. Lalu ciuman itu berubah menjadi cumbuan panas dan bergelora. Tanpa sadar NaGeen mengerang membayangkannya.

NaGeen menggelengkan kepala, mengusir fantasi liarnya. Sebaiknya ia tidur, pikirnya.

***

NaGeen terjaga dalam kegelapan kamarnya. Hujan masih menampar-nampar jendela kamar. Ia merasa sekujur tubuhnya merinding dan bagian bawah tubuhnya basah. Ia bangkit duduk dan menyalakan lampu di nakas di samping tempat tidur. Ia menyibak selimut, dan tangannya menyelinap ke balik gaun tidurnya, menyentuh celana dalamnya yang terasa basah. Apa ia haid?

Masih mengantuk, NaGeen beringsut turun dari tempat tidur lalu menurunkan celana dalamnya. Basah kuyup oleh cairan lengket. Aromanya seperti ... air tebu?

Apa ia ... sakit? Tubuh NaGeen terasa panas dingin dan lututnya gemetar. Ia menaikkan celana dalamnya kemudian buru-buru keluar dari kamarnya menuju kamar Ravaz dengan bertelanjang kaki. Ia mengetuk pintunya dengan tidak sabar.

"Paman! Paman, tolong aku!"

Ravaz membuka pintu dan mempersilakannya masuk. Pria itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana piama putih. Otot-otot tubuhnya tampak sungguh menawan.

NaGeen memandang lantai saat berkata dengan panik, "Sepertinya aku sakit! Saat bangun tidur, aku ... celana dalamku penuh dengan cairan lengket!"

Ravaz terdiam.

"Bagaimana ini, Paman?" NaGeen mengguncang kedua lengan Ravaz sambil mendongak memandangi wajahnya yang kaku. "Apa karena seniorku dulu memasukkan jari-jarinya, makanya ... makanya ...!" Napas NaGeen tersengal, wajahnya basah oleh air mata ketakutan. "Paman, tolong aku!"

"Boleh kulihat?" tanya pria itu datar.

NaGeen mundur. Tanpa berpikir macam-macam, ia menurunkan celana dalamnya lalu menyerahkannya pada Ravaz.

Ravaz menerimanya tanpa melihat celana itu. Ia menaruhnya di tempat tidurnya, kemudian berlutut di hadapan NaGeen. Ia menengadah sambil kedua tangannya mengangkat gaun tidur NaGeen. "Aku akan memeriksanya."

NaGeen menatap cemas ke arah Ravaz. Meskipun ia sungguh malu karena pamannya kini dapat melihat kewanitaannya, ia menahan diri.

"NaGeen ...."

"Bagaimana, Paman?" NaGeen menggigit bibirnya.

"Ini ... spermaku."

Mata NaGeen membelalak terkejut menatap Ravaz yang tengah memandangi vaginanya dengan terang-terangan. "Ap ... pa? Maksud Paman?"

Mata cokelat Ravaz menatapnya dan bibirnya mengulas seringai. "Cairan ini ... adalah cairanku. Kau sekarang tahu kan bagaimana atau ... pada siapa aku membuang spermaku?"

Lutut NaGeen gemetar.

***ENAM ~ HUJAN***

moccamocca, 31 Januari 2017, Selasa

LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang